14. Gagal Move On

1060 Kata
Bagi yang tidak merasakan sindrom gagal move on memang mudah berkata, “Bego banget sih, Ra. Selama ini lo buang-buang air mata cuma buat cowok j*****m kayak dia.” Contohnya itu Hara, yang datang setelah beres dengan kesibukannya. “Selama gue gak ada, ternyata banyak sinetron melankolis yang terjadi.” Saat ini mereka kumpul bersama di gazebo. “Lo gak tahu, yang namanya bener-bener cinta itu gak bisa bedain mana bodoh, mana sayang.” Karena yang Rahi anggap bukti dia sayang sama Willis, di mata orang-orang itu bodoh sekali. Marine setuju dengan Rahi, tapi Hara tetap pada pendiriannya. “Lo sayang, boleh. Free, it’s okay that’s love. Tapi haram hukumnya buat jadi b***k cinta.” Hara benar-benar muak kepada Willis. Di zaman sekarang ini ternyata banyak sekali produksi lelaki berengsek yang kelewat egois. Rahi hanya diam saja. Dia mengamini perkataan Hara, tapi sejujurnya Rahi lebih setuju dengan Marine yang katanya, “Gak selamanya mantan pantas untuk dikenang. Tapi jangan munafik, di masa lalu kalian pernah sayang-sayangan.” *** Mengertilah, ucapan Willis hanya testingan untuk kawan-kawannya. Dia tidak benar-benar serius untuk kembali kepada Nabila. Eiy, gila saja! Saat hati murka karena kedekatan Rahi dengan seorang pria di halte bus pinggir jalan, mana bisa Willis tenang dan diam membiarkan. Tentu, tidak akan. Bagaimanapun ucapannya akan Willis realisasikan, bahwa dia tak akan melepaskannya, and will never end.  Egois? Iya, Willis akui. Psycho? Tidak, dia hanya seorang cowok dengan jiwa posesif dan pencemburu yang tinggi. “Gue pesan bunga mawar, tapi jangan ada durinya,” ucap Willis kepada seseorang yang dia hubungi setelah para temannya pergi. “Berapa?” “Jangan banyak-banyak, setangkai aja. Cewek gue cuma satu,” kata Willis lagi. Lelaki di seberang sana tertawa, seorang penjual bunga yang dulunya pernah satu SMA dengannya. “Oke, warna apa?” “Item aja.” “Emang dasar orang gila. Masih belum waras juga lo?” Willis terkekeh. “Gue pengin dia tahu, gak selamanya tanda cinta itu disimbolkan dengan mawar merah, atau bunga kesukaannya. Itu aja.” “For who? Nabila?” Sejenak terdiam. Mengingat dulu dia tak pernah memberi bunga untuk seorang wanita, karena pacaran versi Willis cukup dengan status dan bukti bahwa dia sanggup untuk selalu ada buat ceweknya, tanpa bunga, tanpa dinner, atau hal romantis lainnya. “Yeah, I know it.” “Nggak,” refleks Willis tersadar dari lamunannya, “bukan Nabila.” Maka detik itu juga tatapan Willis redup penuh harap dan do'a. “She is my little girl, jauh sebelum Nabila ada. And you know who is she.” Seorang Ceryl Briansyah tak kuasa membendung rasa kejutnya. Lelaki itu berteriak heboh dalam panggilan yang Willis matikan tepat setelah keterkejutannya. “Seriously? Kok bisa? Tell me, please. Willis gue tahu dia bukan seseorang yang bakal mau sama lo.” Willis tertawa, membahas kisah baru dengan teman lama rasanya sungguh luar biasa. Menggantungkan sebuah cerita, itulah yang Willis lakukan. Dia memutus panggilan, memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Bahkan ketika Ceryl menyerbunya dengan puluhan SMS, Willis abaikan hanya dengan satu balasan pesan yang isinya: Gue tunggu my black rose. Sudah itu saja. Ceryl bukan siapa-siapa, tapi dia tahu banyak tentang Willis karena pernah berhasil mengorek informasi darinya. “Siapa yang tahu? Nyatanya, Rahi yang ngajak gue pacaran lebih dulu,” gumam Willis sambil terkikik sendiri. *** Kecewa. Kenzo sedang kecewa dari kemarin. Kecewa kepada Rahi, kecewa kepada Willis dan kecewa kepada dirinya sendiri. “Ra!” Yang dipanggil menghentikan langkahnya. Rahi berbalik, ada Kenzo yang berlari semangat ke arahnya. “Gue … maaf,” sangat ambigu. Rahi hanya mengeryit saja. “Pertama, karena gue sempat mengabaikan lo. I'm so sorry, gue marah dan kecewa,” kata Kenzo. “Yang ke dua?” Keryitan samar di kening Rahi semakin terlihat nyata. Kenzo menggaruk tengkuknya, dia meringis sebelum berucap, “Kita bicaranya di klub musik aja, yuk! Aku ada lagu buat kamu.” Sumpah, Rahi merinding sendiri di saat ucapan Kenzo yang tadinya lo-gue berubah jadi aku-kamu. Pasti ada maunya. “Gimana kalau nyanyi di sini aja?” “Ra—” “Oke, lo jalan duluan. Gue ada perlu sama seseorang dulu,” pangkas Rahi mengiayakan ajakan Kenzo. Meski sedikit kecewa dengan jawaban itu, tapi tidak apa-apa. Kenzo langsung berlari menuju peradabannya di klub musik. Menyiapkan diri untuk Rahi. *** “Chili, jangan tarik-tarik dong gue mau kencan!” seru Hara ketika tangannya Rahi seret entah mau ke mana. Yang Rahi sebut seseorang kepada Kenzo adalah Hara. Padahal pergi sendiri pun Rahi bisa, hanya saja dia trauma. Takutnya kejadian di parkiran saat itu terulang lagi, hingga kali ini wajib membawa Hara, karena jika Marine pasti tak mampu berkata-kata seperti saat itu. “Abis nemenin gue, mau berjam-jam kencan sama biji kopi juga bebas.” “Gue baru aja mau beraksi, lo udah rusak suasana happy gue aja sih, Ra, untung sobat!” sungutnya jengkel. Selama perjalan ke klub musik pun kedua gadis itu tak luput dari bisik-bisik cantik sekitar. Karena Rahi sedang jadi trending topik di kampus, Hara jadi terbawa-bawa. “Kalau nanti Kenzo macem-macem, please … sadarin gue.” Itulah tujuan Rahi membawa Hara kemari. Dengan mencoba siap akan situasi di kemudian waktu, Rahi membuka daun pintu. Maka di sana, senyuman Kenzo dan iringan gitarnya lah yang Rahi dapatkan secara cuma-cuma. Mematung karena sempat terpesona. Kenzo sedang bernyanyi. “Aku yang lemah tanpamu. Aku yang rentan karena. Cinta yang telah hilang darimu … yang mampu menyanjungku.” Rahi tahu ini lagunya siapa, dan Rahi juga tahu lantunan kata di dalamnya cocok untuk siapa. “Selama mata terbuka. Sampai jantung tak berdetak. Selama itu pun aku mampu … untuk mengenangmu.” Yang Kenzo kumandangkan, bernyanyi sambil menatap dalam mata Rahi. Sebuah lagu dari Samson yang berjudul Kenangan Terindah. “Darimu kutemukan hidupku. Bagiku kaulah cinta sejati.” Percayalah, seorang player bisa taubat hanya karena satu wanita, seperti Kenzo. Yang dulu gemar memacari kaum Hawa tanpa ada rasa cinta, kini Kenzo benar-benar terperangkap oleh pesona satu wanita secara tiba-tiba. Tidak tahu Rahi harus bilang apa, kakinya saja terpaku di pijakan pertama memasuki ruangan ini. Melihat Kenzo yang begitu piawainya memainkan gitar serta suara ngebas yang terlampau merdu itu sukses membungkam Rahi dengan sejuta pesona dari sosoknya. Senyum Kenzo, lesung pipit yang jelas Rahi lihat sampai dia ingin menyentuhnya. Lelaki itu rampungkan sebuah lagunya. Sampai pada akhir petikan gitarnya. Yang terngiang dalam benak Rahi adalah … “Darimu kutemukan hidupku. Bagiku kaulah cinta sejati.” Rahi baper, tapi bukan berarti dia cinta. “Be mine, please. Jadi pacar gue lagi.” Hening. Sampai pada titik di mana sebuah suara menginterupsi keterdiaman mereka.  “Ken, itu lucu.” Bukan Rahi, bukan juga Hara yang bicara. Hingga suasana berubah beku, tangan Willis yang merangkul Rahi dengan erat meski gadis itu terkejut dan sempat berontak. Willis tekankan, “No matter how hard you tease her, she remains my girl.” Tatapannya begitu tajam menghujam lensa cokelat milik Kenzo, seolah sedang mengancam. Anehnya, yang memekik justru Hara. Karena seorang Willis Wiliam yang datang tanpa undangan, bertutur kata seenak jidatnya, bahkan mengecup pelipis Rahi tanpa izin dari sosoknya. Satu kecupan Willis lemparkan dan satu kalimat Willis katakan, “Rahi punya gue. Lo cari yang lain aja.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN