13. Ketika Ego Menguasai

1360 Kata
Coba tanya hatimu sekali lagi, sebelum kau benar-benar pergi. Senandung lagu Fiersa Besari yang berjudul April terngiang dalam benak Rahi. Dulu, Rahi memang pernah mengesampingkan ego dan harga diri saat dia bilang cinta kepada lelaki. Dulu, Rahi juga pernah meluangkan waktu sekedar untuk menunggu. Dulu, Rahi bahkan rajin mensugesti diri bahwa penantiannya tak akan berakhir semu. Berpikir positif tentang apa yang jelas terlihat ketidakmungkinannya. Namun, sekarang Rahi mengerti. Cinta dan obsesi tiada beda karena saling menyakiti. Hanya saja, jika cinta pasti terselip obsesi. Tapi apabila obsesi belum tentu ada cinta di dalamnya. Lantas, ada di posisi mana perasaan Willis padanya? “Rahi!” Gadis itu tersentak, tubuhnya tertarik ke belakang. Cekalan tangan seorang lelaki yang sukses mencegat langkahnya. Napas Willis memburu penuh arti, tatapannya yang juga sulit Rahi mengerti. Willis berucap, “Gak ada yang ngizinin kamu pergi.” Egois. Rahi berdecih, memandang sengit sosok Willis di depannya. “Lo siapa?” “Ra—” Tak Rahi izinkan untuk Willis bicara. Wanita itu berucap memangkasnya.  “Karena gue kekanakan, bisa lo lepasin tangan gue dan ayo lupakan all of us?” Bahkan Rahi tak membiarkan Willis membalas perkataannya, gadis itu terus berucap, “Gue emang bodoh bahasa Inggris, tapi gue tahu tiga kata tentang kita tentang kita. Love and memories, bullshit. Semuanya omong kosong.” Ketika Willis menggeleng pun Rahi tak mau percaya apa pun lagi, dia menarik tangannya. Menjadi pusat perhatian adalah hal yang paling Rahi hindari, tapi saat ini dia sadari ada something yang lebih tak Rahi sukai dari yang paling tidak disukai. “No, and us will never end. Apa pun yang kamu katakan dan yang kamu anggap omong kosong, it’s up to you. But for me, you remain mine, whatever happens you belong to me. Remember it!” Willis Wiliam yang berucap penuh penekanan. Rasanya kebencian Rahi semakin tumbuh dan kian memuncak, meskipun hati tak mampu berdusta bahwa dia masih sangat mencintai. Rahi hendak pergi, memilih mengabaikan segala lontar kata milik Willis. Namun, tubuhnya terlambat menjauh. Karena Willis sudah menariknya lagi hingga Rahi memekik, terangkat, dan melayang di udara. Pundak Willis cukup lebar untuk menampung pinggang Rahi yang digendong di sana bagai karung beras. “Turunin gue!” Percuma. Rahi menendang-nendang tubuh Willis dengan kaki yang menggantung pun tak ada respon berarti dari lelaki itu. Keterlaluan memang, karena Bian Banyumas hanya diam memerhatikan kedua insan yang berdebat di sana. Tapi Bian tidak sebodoh Kenzo yang melihat dan lalu pergi tanpa reaksi. Menyaksikan Rahi yang Willis bawa menuju mobilnya, Bian ikuti. Hanya sekedar memastikan bahwa gadis itu akan baik-baik saja setelah apa yang terjadi hari ini. Karena Bian merasa bersalah telah menyebarkan berbagai jenis foto dan rumor tentang Willis di parkiran pagi tadi, bahkan segala yang pernah terjadi di media sosial Bian lah pelakunya. *** Karena bahagiamu adalah bahagiaku. Itu yang Rahi sematkan dalam dirinya untuk Willis Wiliam. Rahi percaya jika Willis adalah bahagianya. Alasan mengapa dia mundur dan mengakhiri hubungan tanpa cintanya dengan Kenzo. Begitu besar harapan Rahi setelah kedatangan Willis ke rumahnya terakhir kali, begitu besar harapan Rahi ketika bibir Willis mengukir satu senyuman yang selalu Rahi rindukan dan begitu besar keyakinan Rahi bahwa dia mampu untuk kembali dengan Willis-nya. Miliknya yang juga milik Nabila. Rahi lupa akan satu kenyataan itu. Sampai pada akhirnya dia merasakan muak yang sesungguhnya. “Kita mau ke mana?” Willis diam, dia fokus mengemudi. Sekesal apa pun Rahi kepada Willis, tapi gadis itu hanya mampu mendengkus dan mendumal dalam sedekap dadanya. Sekali lagi Rahi coba tanyakan, “Lo mau ajak gue ke mana?” Rahi takut Willis menculiknya, melakukan sesuatu yang buruk pada dirinya, atau bahkan menukar ginjalnya dengan uang. Apa pun itu, Rahi takut sekali. Pernah dengar, kan? Lelaki sakit hati lebih gila dari penderita sakit jiwa. It's that true. Dan Rahi benci ketika jantungnya berdetak penuh cinta untuk seorang pria yang sudah menyakitinya. Ini tidak adil. “Cukup. Berhentiin mobilnya!” titah Rahi. Willis tetap bisu. Lelaki itu kembali menjadi pribadi yang dulu, beku. “Dengan lo yang kayak gini, gue jadi punya alasan untuk menjauh,” gumam Rahi. “Secinta itu, ya, lo sama Nabila? Selamat, gara-gara tadi, berkat lo, gue jadi bahan pembicaraan nomor satu di kampus.” Lagi-lagi hanya Rahi yang berbicara. “Gue pikir b***k cinta itu adanya di cerita-cerita fiksi aja, tapi ternyata nggak.” Lirikan mata Rahi jatuh kepada Willis yang semakin mengatupkan rahangnya. “Nyatanya, itu real. Eksistensinya gue akui, bucin itu ada di samping gue,” bahkan gue sendiri. Karena kecewa, Rahi jadi sulit mengendalikan lisannya. “Dan gue pernah terjebak, pernah berpikir untuk lepas dengan cara nerima orang baru.” Willis tahu, ada Kenzo di dalam kalimat Rahi. Dia cukup diam mendengarkan. Hingga gadis itu terkekeh, matanya membentuk sabit kecil yang indah, tapi ada air mata. Rahi terpejam, namun bibirnya tak henti menghujam ucapan dengan sebuah nyanyian. Gadis itu bernyanyi dalam sunyi yang Willis dengarkan. “Kisah kita memang baru sebentar. Namun kesan terukir sangat indah. Kumemang bukan manusia sempurna. Tapi tak pernah berhenti mencoba … “... membuatmu tersenyum. Walau tak pernah berbalas. Bahagiamu juga bahagiaku.” Menurut Rahi, lagu itu memiliki lirik yang pas untuk perjalanan cinta mereka. Dan ketika dia akan menyambung lirik lagunya, Willis berucap menghentikan niatan Rahi dengan beberapa kata, “Nggak sesederhana itu.” Rahi refleks menoleh kepada sosok Willis yang juga meliriknya sekilas. “I know, you love me and me too. But, it’s hurt me,” ungkap Willis, suaranya lirih sekali, “karena yang kamu cintai bukan aku, tapi cuma cahaya aku.” Alasan mengapa Willis terkurung dalam dua hati, Nabila atau Rahi. Willis tidak mengerti. Tapi dia tahu bahwa, itu semua ada sebabnya yang tidak sesederhana itu. “Wil.” Tepat ketika mobil yang dikendarai berhenti. Sebuah pelataran rumah sakit yang menjadi pemberhentian mereka saat ini. Rahi membutakan sekeliling. Dia menatap dalam mata Willis yang juga balas menatapnya. “Aku benci rahasia,” kata Rahi dan menjeda, “aku juga benci pendusta.” Willis hanya mampu bungkam. Maka Rahi tambahkan, “Tapi karena itu kamu, aku jadi suka.” Dulu … dulu sekali, dua tahun selama Rahi menjalin kasih dengan seorang Willis Wiliam, dan sebelum dua tahun ketika Rahi masih menjadi penggemar rahasia pacar orang. Rahi suka, karena itu dia rela menjadi yang tidak terlihat, yaitu sebuah rahasia. Dan Rahi suka, ketika dirinya mensugesti diri sendiri dengan dusta: di hati Willis hanya ada dirinya. Jelas itu sebuah dusta yang Rahi lakoni untuk kebutuhan pribadi, hanya karena Rahi cinta. Tapi kini, menghela napas dalam dan lalu dia ucapkan, “Itu dulu.” Napas Willis tercekat, dia ulurkan tangannya untuk menyentuh wajah Rahi, namun gadis itu menolak dan menepis segala sentuhannya. “Sekarang, udah cukup. Pernah jadi i***t, pernah pura-pura bahagia, pernah buang-buang waktu untuk cinta … aku capek.” Willis menggeleng. “Ra, kamu pernah bilang won't leave me.” Sedikit paham dengan yang Willis ucapkan, Rahi tersenyum getir. “Marine pernah bilang, it's not same anymore. Aku simpulkan, itu kita.” “Nggak.” “Jangan egois.” Kini rasanya Rahi ingin menangis. Ketika hati bilang cinta dan bibir berkata tidak. Ketika jiwa raga masih bersedia menerima, namun lisan berucap lelah. Apa itu bukan egois namanya? Tapi kalau terus Rahi mengikuti maunya hati, sampai kapan dia bertahan untuk terus Willis sakiti? “Thanks, Wil. Aku rasa kita emang udah seharusnya masing-masing.” Rahi bergegas pergi dari lokasi. Membuka-tutup pintu mobil dengan tidak sabaran, Rahi ingin segera jauh dari pandangan Willis. Dan membiarkan orang lain melihat air matanya. Tanpa mereka sadari, ada Sedan milik seorang Bian Banyumas parkir di sebelah mobil mereka. Mengikuti ke mana langkah Rahi, sampai tiba di mana gadis itu berhenti dan berjongkok di halte bus. Bian ikuti dengan mobilnya. Bergerak cepat dan menarik tangan Rahi sampai gadis itu tersentak, Bian memberanikan diri merangkul anak orang di pinggir jalan. “Jangan nangis,” bisikan yang malah semakin mengundang air mata. Rahi tumpahkan segala rasa dalam rangkulan seorang Bian Banyumas. *** Maka di esok hari, singa jantan yang bangun dari tidurnya. Meminta seluruh temannya untuk berkumpul di atap seperti biasa. Willis datang setelah semua insan tampan ada di sana, melemparkan tas dan duduk sembarangan dekat Key. Yang katanya, “Gue mau balikan.” Semua tercengang. Apalagi Kenzo yang merasa dunianya akan segera berakhir. “Bagus! Gue suka gaya lo,” decakan kagum Key berkumandang penuh bangga. Dari sekian banyak orang, Key lah yang paling mendukung hubungan Willis dengan Rahi. Namun, tatapan Willis berubah mendung. “Dengan Nabila.” Bagai thunder menyentak jagat, semua bangkit dan menyerang lelaki Wiliam itu dengan rombongan tanda tanya. “Lo gila? Gue tarik ucapan yang tadi!” murka Key terlihat jelas ketidaksukaannya. “Lo waras apa sehat, Wil?” bahkan Lei sendiri pun tidak menyangka. Tapi khusus untuk Kenzo, yang Willis kabarkan hari ini adalah berita gembira luar biasa. Di saat Leon katakan, “Silakan terperosok di lubang yang sama.” Maka setelah itulah Kenzo kibarkan lontar katanya, “Yang penting lo bahagia, gue dukung.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN