12. Lemah

2381 Kata
“Gila lo!” Rahi langsung menjauhkan ponselnya dari telinga. Dia terkikik juga, rupanya pesan yang dia kirimkan kepada Dion dibacanya oleh Marine. Dua makhluk itu sedang berkencan sepertinya. “Gue iri sama lo, Rin.” Yang di seberang sana diam saja. Mendengarkan Rahi yang sepertinya butuh tempat curhat. Alasan mengapa Rahi iseng kirim SMS untuk Dion, karena hanya lelaki itu yang bisa memahami kegundahan hatinya. Masih ingat, kan? Jika Dion adalah titisan psikolog saat Rahi membutuhkan untuk berbagi kisahnya. Dulu juga Rahi sering curhat-curhatan bersama sosok Dion. Dalam hal ini, kalian pasti bertanya-tanya tentang bagaimana bisa Rahi menghubungi Dion, sementara konon katanya di dalam kontak Rahi hanya dua golongan yang disimpan, orang tua dan orang penting. “Lo pacaran adem-adem aja. Sementara gue? Dua tahun sama Willis, selama itu gue selalu tutup mata dan telinga soal Nabila. Gue tahu, Willis cinta sama gue. Tapi hati dia gak bener-bener buat gue. Dua tahun, loh...” kata Rahi. “Ra, lo gak tahu aja gimana jeleknya hubungan gue. Di mata orang-orang kami sepakat buat nutupin. Lo gak boleh iri dengan hal yang belum lo tahu isinya.” Perkataan Marine tak dapat Rahi terima. Bagaimanapun di mata Rahi, hubungan Marine dan Dion itu dapat disebut dengan relationship goals, selalu akur dan makmur. “Dan sekarang gue gak suka sama Kenzo, Rin. Tapi gue udah terlanjur main api dan percikannya lambat laun akan melukai Kenzo—suatu saat,” lirih Rahi sambil merebahkan tubuhnya di kasur. Tatapan matanya menerawang ke depan. Rahi sempat ganti kartu, tapi nomor ponsel yang Rahi simpan hanya nomor orang-orang penting saja, seperti kedua orang tuanya tanpa ada nomor keluarga yang lain, lalu Dion, dan Willis. Rahi tersenyum miris. Willis penting untuk dirinya, tapi apakah Willis juga menganggapnya penting untuk dia? Lantas, bagaimana dengan Kenzo saat ini? Rasanya kepala Rahi mau meledak memikirkan persoalan lelaki. “Mau lo apa sih, Ra?” Lama-lama Marine juga kesal mendengar keluh kesah yang Rahi buat sendiri gundahnya. Sambil tertawa Rahi berkata, “Kalau gue minta putus, kira-kira apa reaksi Kenzo nanti?” “Gila! Jangan sekarang, dengan lo yang kayak gitu nanti Kenzo ngira alasan putus lo itu adalah Willis. Kecuali, kalau lo emang mau ngibarin bendera perang di antara mereka.” “Guenya nggak suka Kenzo!” “Ya, terus kenapa lo terima?” Rahi bungkam sesaat. “Gue mau bicara sama Dion. Rin, bisa lo kasihin ponselnya ke dia dulu?” Hanya itu dan Rahi yakin Marine pasti semakin kesal padanya. “As always. Lo butuh dia, gue kasih. Tapi jangan digenitin, nanti dia baper, gue yang repot.” Tapi ternyata, Marine tidak marah. Rahi terkekeh. “Iya, iya. Lagipula, gue gak doyan pacar sahabat.” *** Hingga sore yang mereka gadang-gadangkan kemarin tiba. Di kost-an Key, komplotan pria tampan berkumpul saat ini. “Gue bawa pisang, lo doyan, kan?” celetuk Lei sambil duduk. “Simpen aja, sekarang lagi gak mood jadi Monkey,” balas Key. “Gue ada duit, mau lo pinjem buat otw Belanda?” tawar Kenzo yang baru saja tiba di sana. Key menggeleng. “Percuma, Ayah gue udah gak ada. Buat apa jauh-jauh ke sana tapi ujungnya hanya melihat muka ibu tiri?” “Senggaknya lo datang ke makam,” kali ini Willis yang bilang. Key terdiam. Bukannya tidak ada uang, sebenarnya Key adalah turunan orang berduit, lebih sugih dari Kenzo. Hanya saja itu kehidupannya di Belanda, bukan di Indonesia. “Pikirkan lagi Key, jangan lihat dari sisi ibu tiri. But, look your father.” Sambil menepuk pundak kiri Key, Willis bertutur demikian. Leon hanya merebahkan diri di atas kasur Key, diikuti Lei di sebelahnya. Mereka berkumpul bersama di ruang kecil itu, dan Key merasa bersyukur memiliki teman seperti mereka. “Gue laper,” celetuk Kenzo tiba-tiba. “Ada keripik singkong sih, mau?” tanya Key. Kenzo mendesah, “Ya udah, sini!” Nasib anak kost memang seperti ini. “Itu gue bawa pisang, makanin aja. Sayang kalo dianggurin.” Lei yang bilang. “Gue mau beli makan, mau pesan apa?” Willis memberi penawaran. Leon langsung bangkit. “Yuk, sama gue!” Mereka langsung mengucapkan jenis makanan yang mereka inginkan, Willis mencatat pesanannya dengan mengetik memo di ponsel. Soalnya, pesanan mereka benar-benar kurang ajar. Contohnya Key, “Chicken perempatan tuh enak, gue mau dua, terus siomay Mamang pengkolan depan kampus. Eh, seblak pinggir indomaret juga top banget, boleh deh gak pakai telur, wajib pedes. Sama minumnya capcin, atau buble gum rasa tiramisu. Udah itu aja.” Untungnya Willis sabar, dan Leon pun siap antar. *** Hingga saat malam tiba, Rahi baru menyimpan nomor Kenzo di ponselnya. Dan ketika dia hendak menghubungi lelaki itu, satu notifikasi pesan masuk membuatnya urung. Karena pesan itu dari Willis. Udah makan? Rahi tersenyum. Padahal isinya hanya itu, tapi Rahi merasa senang sebab Willis masih begitu perhatian padanya. Rahi tidak berniat untuk membalasnya. Dia harus membuat batasan agar hubungannya dengan Kenzo tidak menjadi rumit. Seperti kata Dion sebelumnya: “Lo udah milih Kenzo, nerima dia sama aja dengan nerima risiko bahwa lo wajib jaga jarak dengan mantan.” Sekarang sudah Rahi putuskan, Willis Wiliam akan terdaftar dalam buku kenangan. Namun, kenapa sekarang Rahi malah menjawab panggilan dari Willis? “Apa?” ketusnya. Willis menghubunginya lewat telepon karena Rahi tidak membalas pesan singkat itu. “Udah makan?” Dua kata yang sama seperti isi pesan singkatnya Willis lontarkan. “Udah.” “Aku lagi di jalan, habis dari kost-an Key sekalian mau pulang. Kamu mau titip apa?” “Loh, emang gue nanya?” Padahal dalam hati Rahi senang, dan bibirnya tersenyum-senyum sendiri. Setelah sekian lama tak ada kabar dari Willis, akhirnya lelaki itu memberikan laporan yang cukup merinci. “Masih suka cup cake vanila dan cokelat, kan?” Willis tak mengindahkan ucapan Rahi. “Gue diet!” “Udah kurus, mau diet sampai jadi tulang semua apa gimana?” “Sialan!” “Mulutnya dijaga, Ra.” “Woi, lo siapa larang-larang gue?” “Udah nyampe. Turun, gih, aku di luar.” Rahi terlonjak, dia refleks bangkit dan turun dari ranjang lalu berlari menuju jendela kamar. “Eh, anjir!” lisan Rahi tak bisa berhenti mengumpat, kebiasaan buruknya ketika berada dalam posisi kesal dan senang. Willis ada di sana. “Turun, Ra.” Tidak. Tidak boleh. Rahi menggeleng, dia langsung menutup sambungan teleponnya. Rahi mensugesti diri dengan puluhan kalimat yang sama maknanya.  Tak boleh turun. Tidak, jangan turun. Tak boleh lihat Willis. Ingat, jangan ketemu mantan! Iya, jangan. Tapi, “Ngapain sih malem-malem ke sini? Udah jam sembilan, ngapain masih keluyuran?!” Dan faktanya tidak bisa. Nyatanya Rahi tetap menuruni anak tangga. Nyatanya Rahi berdiri di depan gerbang dengan dampal telanjang saking rindunya. Willis tersenyum. “Ini cup cake-nya,” sambil memberikan sebuah paper bag. “Aku gak minta,” kata Rahi. Willis memaksa, dia menarik tangan Rahi dan memberikan kue itu kepada Rahi meski Rahi sedikit enggan. “Besok aku jemput.” Rahi menggeleng. “Aku ... nggak, aku udah sama Kenzo.” Matanya memberanikan diri menatap Willis. Yang Rahi lihat, raut pria itu berbuah keras, rahangnya menggertak tak suka, dan Willis pun memberikan pandangan tajamnya. “Maaf,” cicit Rahi. Dia menunduk merasa bersalah entah karena apa. “Kalau aku nyanyi lagu Gamma One, kamu mau pilih yang mana? Kenzo … or me?” Ucapan Willis yang terasa menohoknya. Dulu Rahi juga pernah mengusik lagu tersebut saat menuntut Willis untuk pilih Nabila atau dirinya. Jika sudah seperti ini, lantas apa bedanya dia dengan Willis? Tanpa sepatah kata Rahi memilih untuk kembali memasuki rumahnya dan meninggalkan Willis yang masih berdiri di sana. Hingga waktu berlalu, sampai tiba di mana matahari menunjukkan sinarnya. Di sinilah Kenzo berdiri untuk menjemput kekasihnya. “Ken.” Rahi memanggil, yang Kenzo balas dengan senyum lebarnya. Namun, kenapa? Sapaan pagi dari gadis itu adalah dua kata yang Demi Tuhan tak Kenzo suka. “Putus aja, yuk!” Kenzo kecewa. Karena memang sudah sepantasnya seperti itu, dan jika Kenzo murka maka bukanlah salahnya. “Yang kamu ajak putus masih punya hati loh, Ra,” kata Kenzo. Rahi menunduk. “Maaf.” “Susah banget, ya, buat suka sama aku?” Rahi menggeleng. “Bukan begitu.” “Apa karena Willis?” “Ken—” “It’s okay,” Kenzo memangkasnya, dia berucap lagi, “tapi aku marah.” Dan lalu Kenzo pergi. Menyisakan Rahi dalam diam yang merasa serba salah. Pagi yang buruk. *** Brak! Semua terlonjak. Leon, Lei, dan Key refleks menoleh pada sumber suara. Di atap seperti biasa. “Willis mana?” Yang Key dengar nada suaranya seperti menahan gumpalan emosi. “Kenapa?” Lei balas bertanya. Kenzo tekankan sekali lagi, “Gue nanya, Willis mana?” Benar-benar penuh gelora nafsu berperang. Tatapan Kenzo pun terkesan tajam dan seolah ingin menerkam. “Belum datang, tapi tadi bilangnya mau jemput Nabila dulu,” jawab Leon. “Sialan!” geram Kenzo. Key bangkit, dia jadi penasaran dengan mood Kenzo yang terlihat turun ke jurang. “Ada yang salah?” Key menjeda, “cerita aja, Ken, tell us why.” *** Terpaksa Rahi naik ojek, karena Rahi tidak bisa mengendarai kendaraan apa pun, naik sepeda saja Rahi tak mampu. Persis seperti perasaannya saat ini, Rahi tak bisa untuk mencintai siapa pun lagi, karena untuk move on saja Rahi tak mampu. Hingga tiba di parkiran, Rahi jalan sendirian. Mengembuskan napas pelan, dia melangkah dan menatap lurus ke depan. Sampai pijakannya terhenti, Rahi mematung. Karena bagi Rahi, ciuman Nabila di pipi Willis itu rasanya nyelekit sekali, seperti di tampar bolak-balik. “Gini, ya, rasanya jadi Kenzo?” gumam Rahi, “cinta sama orang yang gagal move on.” Serius, tidak enak! Tanpa Rahi tahu, Willis berdecak, dia meringis sambil mengusap kasar bekas kecupan adik tirinya. Kata Nabila, tadi itu ciuman terima kasih karena sudah menjemputnya di rumah teman. Selama ini Nabila menginap di rumah Jolly, alasan mengapa Willis betah di rumah. Tapi Willis tidak tahu apa sebab Nabila meninggalkan rumah berhari-hari dan mendadak minta dijemput seperti tadi. Singkat cerita, Willis tersentak melihat jam di tangan. Mata kuliahnya sudah di mulai sejak tadi. Dengan tergesa Willis berlari menuju ruang kelasnya, dia sedang memburu waktu sampai tak menyadari jika sosok Rahi berdiri di ujung dekat gerbang sambil memerhatikannya. Dan mungkin, pagi hari ini adalah awal dari sebuah drama. *** “Hara sibuk mulu, kapan coba kita kumpul-kumpul bareng lagi?” gerutu Marine saat dosen itu selesai dengan tugasnya. Rahi mendesah, sesungguhnya dia sedang bad mood sekedar untuk bicara. “Mentang-mentang udah semester atas, sahabat sendiri dianggurin dan jarang ngasih kabar.” Lagi-lagi Marine yang curhat. Lalu Dion datang, “Ke kantin, yuk!” “Lupa apa gimana? Masih ada mata kuliah, cinta!” Dan itu bukan Marine yang jawab. Untuk itu sekarang Marine berdecak dan menoyor kepala Rahi. “Chili setan lo, Ra!” Setidaknya, Rahi masih bisa tertawa di atas kerunyaman hatinya. Hingga ketika kini dia melihat sebuah foto laknat, Rahi merasa ciut dan murka. *** Kata Leon: Boleh aja lo putus cinta, tapi persahabatan kita jangan lo bawa-bawa. Kalau rusak, nanti susah lagi diperbaikinya. Terus, Lei juga turut berkumandang: Bukan teman makan teman sih, bukan juga nyalip pacar orang. Tapi tetap aja, perbuatan lo kelewat menyimpang. Yang sialnya, lisan Key jauh lebih tepat sasaran. Lelaki itu pun turut berucap: Terima aja, risiko macarin mantan teman … sedap, kan? Kenzo jadi malas bertemu orang-orang. Tapi apa daya? Dia lapar sekarang, alhasil Kenzo duduk di kantin bersama kawan-kawan. “Lo balik lagi sama Nabila?” Uhuk … Uhuk! Yang tersedak bukan Willis, melainkan Kenzo. Celetukkan Key itu memang mantap sekali, topik terhangat hari ini. “Di medsos udah banyak yang bahas soal kissing scene kalian di parkiran,” tambah Key. Yang Willis kira sepi, nyatanya tidak sama sekali. Tapi siapa yang memotret momen kecupan Nabila dan mengunggahnya di media sosial? “Bagusnya lagi, foto itu di-vote sama Rahi.” Cukup. Willis hentikan kunyahannya. Kalimat terakhir yang berasal dari Leon sukses membuat Willis tak bisa diam. “Mana sini gue lihat!” Belum apa-apa ponsel Lei lah yang Willis sambar duluan. “Pasta ikan!” pekik Lei, detik itu juga ponselnya terbang melayang. Brak! Retak. Tepat terbentur dinding hingga raganya tak tertolong. Lei berlari menghampiri jasad ponselnya. “Biasa aja dong, Wil, ngamuknya! Ini ponsel cicilannya belum lunas, udah lo lempar duluan. Anying!” Jelas lah, Lei marah. Dia memunguti retakan ponselnya, lalu menatap nanar benda itu dan melemparnya ulang ke dalam tong sampah. Seisi kantin jadi membicarakan mereka. Sampai tiba di mana Rahi datang bertepatan dengan Nabila. *** Bruk! “s**t! Kalau jalan pakai mata dong!” omel Nabila, “baju gue kotor kan jadinya!” Karena Rahi menumpahkan kuah bakso di baju gadis itu. Dengan tatapan datarnya Rahi berkata, “Sorry, gue biasanya jalan pakai kaki.” Lantas, Rahi pergi tanpa peduli. Membuat Nabila naik pitam dan langsung mengambil ancang-ancang merengkas perjalanan Rahi, sudah merasa cukup untuk beramah-tamah dengan Rahi, sampai kini Rahi Dinata jatuh dan lututnya terbentur lantai. Dia meringis, tapi dalam hati tertawa dengan situasi yang terjadi saat ini. Terlalu dramatis. “Jangan kayak sinetron!” tegur Marine yang tiba-tiba datang lalu membantu Rahi untuk bangkit berdiri. Seluruh pasang mata memandang mereka, pusat perhatian yang semula tertuju pada gerombolan orang tampan kini berpindah haluan. “Kenapa?” tanya Nabila. Dia menatap Rahi yang diam saja, namun tak lepas memandangnya dengan raut yang sedang menahan segala rasa. Baik Kenzo, Key, Lei, Leon dan juga Willis, bahkan Bian sekalipun memerhatikan dua most wanted kampus mereka. Nabila dan Rahi yang sama-sama mengibarkan bendera perang. Karena sudah tak tahan, karena memang dia muak. Akhirnya Rahi putuskan unduk bertindak. “Sialan!” jerit Nabila kelepasan. Wajahnya basah kuyup sebab segelas es jeruk purut Rahi guyurkan di sana. Hingga cairan asam itu membasahi bagian kerah baju Nabila. Rahi tersenyum sebelah bibir, namun saat mulutnya hendak berkata seseorang mencengkram tangannya dari belakang. Dan semua tahu, itu Willis. “Buka,” kata Willis penuh penekanan, “buka baju lo.” Kepada Rahi, Willis katakan. “Hah?” 99% seluruh wanita di kantin berkata sama dengan Rahi. “Kalau gak ada tanggung jawab, jangan macem-macem!” seru Willis sambil melepas kemejanya. “Childish.” Sakit. Sakit sekali, Rahi tercubit hatinya. Ketika Willis melepas kemeja untuk dipakaikan pada Nabila, ketika Willis memakinya di depan umum, dan ketika Willis menunjukkan sebuah perbandingan yang jelas tertera bahwa Nabila berada jauh di atasnya. Karena Willis cinta Nabila, bukan Rahi yang sedang menatap tak percaya dengan apa yang terjadi kini. Lantas, selama ini apa maksudnya? Rahi bertanya-tanya: apa bedanya cinta dengan obsesi? Dan apa bedanya Nabila dengan Rahi? Satu sisi Rahi tidak terima, dia terkekeh dan menatap mata Willis menantang. “Gue? Kekanak-kanakan?” sambil menyeka air mata lambang kemarahan yang tiba-tiba jatuh, Rahi berdecak. “Terus, lo apa?” Seriously, its hurt. Hingga dunia terasa milik mereka, Rahi akui dia memang childish sekali. “Wil, lo kalau gak tahu apa-apa mending jangan ngomong deh. Ada baiknya lo ngaca dan ajak Nabila,” sinis Rahi dalam berucap. Willis bungkam, Rahi juga tidak mengizinkan orang lain bicara selain dirinya sendiri. “Pernah buang-buang waktu buat orang yang gak penting,” tatapan Rahi menajam tepat kepada sosok Willis yang berdiri tanpa kata, Rahi tekankan, “itu gue.” Lantas, Rahi berbalik dan mengabaikan seluruh mulut manusia. Bisik-bisik menertawakan, bisik-bisik mencemooh, dan bisik-bisik kutukan Rahi dapatkan. Namun, lebih daripada itu banyak juga yang nyinyir teruntuk Nabila, bahkan untuk Willis sekalipun. Rahi mendengarkan tanpa peduli apa yang orang lain sematkan untuk dirinya. Rahi benar-benar tidak peduli, bahkan teriakan Marine yang menyebut namanya. Di tempat semula, Kenzo terdiam dalam dilema. Kejar Rahi atau tidak? Namun, karena kecewa masih mendominasi rasa di hatinya, Kenzo putuskan untuk tetap diam di tempat. Yang menjadi pertanyaan, apa kabar dengan hati Willis saat ini? Saat Nabila bilang, “Thanks, aku seneng kamu bela aku di depan orang-orang. Cewek itu emang j*****m banget.” Sedikit pun tak Willis dengar. Telinganya seolah tuli oleh kalimat Rahi. Pernah buang-buang waktu buat orang yang gak penting. Willis tercekat, dia merasa tertohok. Rentetan kata itu seperti meninju dasar kalbunya. Bagai ditampar luar-dalam. Willis bergumam, “It’s me.” Karena itu, Willis langsung berlari mencari hal yang mungkin sudah lepas di tangan. *** NOTE:JADWAL UPDATE CERITA INI DI DREAME: MINGGU & SELASA.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN