Hampir seminggu Xella resmi menjadi pengasuh Zoe. Xella merasa lega karena sikap Zoe yang sangat periang dan selalu antusias saat gadis itu mengajaknya melakukan sesuatu. Seperti pagi ini, Xella mengajak Zoe belajar berenang sebelum nanti bocah ini melakukan home schooling.
“Gimana, seru kan belajar renang?” tanya Xella.
Zoe mengangguk. “Iya, makasih ya Aunty udah ajarin aku.”
“Sama-sama anak cantik.”Xella memandang Zoe yang tengah duduk di pinggir kolam sambil kedua kakinya masuk ke dalam kolam. “Aku boleh minta sesuatu sama kamu?”
“Apa Aunty?”
“Jangan panggil Aunty lagi, panggil Kakak aja gimana?” tanya Xella yang mencoba menawar pada bocah cantik itu.
Zoe nampak berpikir, manik cokelat nan indah itu menatap Xella penasaran. “Kenapa begitu?”
Xella mencari alasan agar bocah ini paham akan maksudnya. “Kan Kak Xella masih muda dan belum menikah, masih kuliah juga jadi lebih keren di panggil Kak Xella atau Kak Ella. Jadi kamu sama aku kelihatan seperti adik kakak. Gimana?”
“Nanti Uncle Ian marah kalau aku panggil Aunty, Kakak.”
“Ngga kok, nanti aku yang kasih tahu Uncle Ian biar nggak marah sama Zoe.”
Zoe mengangguk dengan senyum mengembang di bibirnya. “Jadi aku punya Kakak?”
“Betul, aku punya adik dan kamu punya kakak. Seru kan?”
“Asik, aku punya kakak cantik.”
Xella mengusap pucuk kepala Zoe, hatinya senang karena melihat wajah ceria bocah di hadapannya. Hampir setiap malam Xella melihat Zoe yang tertidur dengan kondisi mata yang basah seperti habis menangis membuat Xella kasihan.
“Kamu senang tinggal di sini?” tanya Xella.
Raut wajah ceria itu tiba-tiba menghilang. “Senang tapi Daddy nggak ada di sini.”
“Memang Daddy ke mana?” tanya Xella penasaran.
“Katanya kerja ke luar kota.”
“Nggak pernah telpon?”
Xella bukannya tidak tahu apa-apa, ia hanya ingin mencari tahu mengenai keluarga ini dari Zoe. Ia benar-benar buta informasi mengenai keluarga dimana tempatnya bekerja. Seakan banyak teka-teki yang disembunyikan sampai ART di sini tidak mau membagi informasi kepadanya. Saat Zoe menerima telepon dari pria yang dikatakan sebagai ‘Daddy’ bukannya lewat Xella, melainkan lewat Mbok Rum.
“Pernah, Kak Xella nggak tahu Daddy sering telpon?”
“Ah iya aku nggak tahu.” Sahut Xella bohong.
Setelah beres dengan Zoe yang sedang belajar dengan gurunya, kini Xella sudah siap dengan pakaian yang rapi. Ia mengenakan jeans hitam dengan kemeja motif kotak-kotak serta rambut yang diikat model ponytail.
“Mbok, aku berangkat ke kampus dulu. Kalau ada apa-apa, tolong telpon saja saya. Mas Ian juga sudah tahu kalau saya pergi ke kampus.”
“Siap Mbak, semoga bimbingannya lancar ya.”
“Amin, makasih ya Mbok. Semoga saja nggak lama biar saya bisa pulang dengan cepat. Kasian Zoe kalau nggak ada teman, pasti kesepian.”
Mbok Rum mendekati Xella, wanita yang sudah menampakkan banyak kerutan di wajahnya itu memegang tangan Xella dengan lembut. “Terima kasih ya Mbak sudah mau jadi pengasuh Zoe. Bukan pengasuh tapi lebih tepatnya teman. Mbok senang karena Nona Zoe makin ceria dan punya teman cerita.”
“Iya Mbok, saya juga bersyukur bisa bekerja mengasuh Zoe. Walaupun saya tidak tahu apa yang terjadi di rumah ini, tapi saya berharap saya tidak bekerja dengan orang yang salah.”
Mbok Rum menggeleng. “Tidak Mbak, Mbak Xella bekerja sama orang yang baik kok. Nanti Mbak Xella pasti tahu semuanya dari orang yang sepantasnya bercerita.”
“Iya Mbok. Saya pamit dulu ya, Zoe lagi belajar di kamarnya.”
“Hati-hati Mbak Xella.”
***
Xella sedang duduk di taman dekat dengan gedung tempatnya akan melakukan bimbingan skripsi. Ia memang datang tiga puluh menit sebelum waktu janjian yang ditentukan. Lebih baik ia menunggu daripada ia terlambat. Merasa ia yang butuh jadi ia yang akan berkorban, demi kelancarannya lulus kuliah.
“Mana nih si Anggi, bilang udah otewe tapi nggak nongol-nongol,” gerutu Xella. “Apa jangan-jangan otewe-nya ke kamar mandi dan belum berangkat?”
Sebuah map tebal mendarat di meja beton yang ada di depan Xella. Gadis itu menoleh dan mendapati Anggi datang dengan tampang tidak bersalah.
“Gue yakin lo pasti lagi menggerutu. Anggi kemana sih nggak nongol-nongol. Pasti bocah itu lagi molor, padahal sudah bilang otewe,” ucap Anggi menirukan logat bicara Xella.
“Ck. Lo emang biang telat. Coba sekali-sekali yang datang duluan elo, bukan gue. Rajin dikit kenapa sih, gimana mau sukses kalau nggak bisa tepat waktu.”
“Elah, cerewet banget sih babysitter ini.”
“Gue bukan babysitter tapi gue ini Kakaknya Zoe,” sahut Xella enteng.
Anggi terbelalak dengan pengakuan Xella. “Sejak kapan orang tua Zoe ngangkat anak modelan begini?”
“Kenapa dengan gue? Gue ini cantik, pintar, pekerja keras dan sebentar lagi sarjana. Nggak akan ada yang rugi punya anak seperti gue.”
“Maka dari itu orang tua lo mau jual ke akik-akik bangkotan buat jadi istri kesekian,” ucap Anggi sambil tertawa puas.
Mata Xella menyipit melihat betapa bahagianya Anggi menertawakan segala deritanya yang harus mengalami kejadian bak Siti Nurbaya.
“Bahagia banget sih lo liat teman menderita,” sindir Xella.
Anggi menghentikan tawanya yang sudah membuat air matanya keluar. “Sory beb, gue emang nggak habis pikir nasib lo begini amat.”
Ponsel milik Xella yang diletakkan di saku celana jeans-nya bergetar, ia segara mengambil karena takut jika itu pesan penting.
“Eh telpon, gue kira pesan masuk,” ucap Xella terkejut.
“Siapa?”
“Pak Rio,” sahut Xella.
“Buruan angkat.”
“Selamat siang Pak Rio.” Sapa Xella lembut.
“Xella, saya sudah berada di ruangan. Kalau kamu sudah ada di kampus, silakan datang ke ruangan saya sekarang. Tapi kalau misalnya belum, saya yang akan tunggu kamu.”
“Saya sudah di kampus, Pak. Sekarang saya ke ruangan Pak Rio.” Jawab Xella cepat.
“Baiklah.”
Xella kembali menyimpan ponselnya, kini ia masukkan ke dalam tas ransel miliknya.
“Ada apa?”
“Pak Rio sudah selesai ngajar jadi gue udah bisa ke ruangan dia.”
“Bukannya lagi lima belas menit ya?”
Xella tersenyum bangga kepada Anggi. “Itu sebabnya gue lebih senang datang mendahului daripada datang tepat waktu. Kalau gue ngikut elo tukang telat, yang ada sekarang gue kehilangan kesempatan buat bimbingan.”
Anggi berdecak, “Yang jelek selalu aja gue dijadikan contoh.”
Xella menjentikkan jarinya ke kening sahabatnya. “Udah ah, gue mau ketemu calon masa depan gue. Udah lama mata nggak dicuci sama pemandangan yang super bening.”
“Gue bilang kalau lo suka sama Pak Rio,”
“Eh, jangan gilee anda ya,” teriak Xella lalu pergi dari hadapan Anggi.
Kini Xella sudah berada di depan ruangan khusus dosen, dan sebelum masuk ia menarik napas lalu menghembuskan pelan. Jantungnya berdegup sangat kencang, bukan takut memikirkan skripsinya tapi malu bertemu dengan salah satu dosen terganteng di jurusannya.
“Berasa mau ketemu gebetan,” batin Xella.
Gadis itu mengetuk pintu dengan palan, lalu membukanya dengan hati-hati. Di ruangan tersebut nampak beberapa dosen dan salah satunya adalah Rio, dosen pembimbingnya.
“Permisi, selamat siang.”
“Siang, silakan masuk Xella,” ucap Rio.
Gadis itu melangkah dengan wajah tertunduk. Pesona dari Rio membuat nyalinya ciut seketika. Entah apakah ia akan bisa menjawab jika pria itu menanyakan mengenai isi dari skripsinya.
“Silakan duduk, Xella.” Ucap Rio kepada mahasiswinya.
“Terima kasih, Pak,” jawab Xella sopan.
Xella membuka ransel serta mengambil map berisikan hasil print out skirpsinya. Dengan hati-hati dan jantung berdetak cepat, Xellla menyerahkan berkas tersebut.
“Beberapa yang kemarin Bapak revisi sudah saya perbaiki.”
“Baik, saya baca dulu ya.”
Xella mencuri pandang ke arah pria yng tengah duduk di hadapannya. Wajah pria itu nampak serius dan berkharisma.
“Cakep banget, wajar banyak mahasiswi yang suka sama Pak Rio. Gue yang remahan krupuk seribuan mana dilirik sama dia. Terlalu banyak mahasiswi cantik di kampus ini yang bisa dijadikan pilihan sama Pak Rio.” Batin Xella.
Hampir setengah jam Xella melakukan bimbingan dengan Rio. Mendengarkan beberapa penjelasan pria itu, mencatat apa yang memang harus Xella revisi atau ditambahkan pada skripsinya. Sama sekali tidak merasa bosan atau tertekan karena Rio begitu sabar menjelaskan dan memberikan Xella pengertian.
“Kalau sudah selesai dengan apa yang saya minta, kamu bisa hubungi saya biar kita bisa melakukan bimbingan lagi. Tapi sebaiknya segera kamu revisi agar kamu bisa mengikuti ujian.” Ucap Rio.
Xella mengangguk. “Baik, terima kasih banyak Pak. Maaf kalau hasil revisiannya masih banyak yang kurang.”
Rio tersenyum, sungguh senyum yang nyaris membuat Xella berteriak histeris.
“Gila, untung gue nggak pingsan,” pikir Xella.
“Tidak masalah Xella, namanya juga belajar ya kamu harus siap jika menemukan kesalahan.”
“Kalau begitu saya permisi dulu Pak,” ucap Xella sebelum pergi.
“Hati-hati Xella,” sahut Rio manis.
Xella keluar dari ruang dosen dengan perasaan bahagia. Seolah tidak ingat kalau skipsinya banyak mendapat coretan dari Rio.
“Astaga, kok ada sih cowok ganteng dan manisnya kayak Pak Rio, mau banget bimbingan lama sama dia,” gumam Xella dengan mata berbinar.
Xella menggeleng, “Sadar Xel, saingan lo banyak jangan mimpi.”
Gadis itu segera mengambil ponsel untuk menghubungi Anggi yang melakukan bimbingan juga. Ia ingin tahu apakah sahabatnya sudah selesai atau belum.
AnggitoGelo : Xel, gue masih bimbingan. Miss Dora nggak ada di kampus jadi gue harus ke rumahnya. Doain agar gue pulang dalam keadaan waras ya.
Xella terbahak membaca isi pesan dari Anggi. Bukan tanpa alasan, dosen pembimbing Anggi judesnya tidak bisa ditawar dan suka sekali membuat nyali mahasiswa meNciut karena kata-katanya yang menyakitkan.
Xella : sabar ya, banyak-banyak berdoa agar Tuhan melindungi lo dari kuping yang panas dan hati yang remuk. Hahahaha.
Balas Xella sambil cekikikan karena senang melihat Anggi kesusahan. Bukan jahat, tapi hal seperti ini sudah biasa ia lakukan bersama sahabatnya itu.
“Kamu belum pulang?”
Xella melonjak saat suara berat dari seseorang terdengar di belakangnya. “Pak Rio? Belum Pak.”
“Lagi nunggu seseorang?”
Gadis itu menggeleng. “Tadi nunggu Anggi tapi ternyata dia belum selesai bimbingan.”
“Ya sudah kamu bisa ikut saya. Kebetulan saya mau pulang biar sekalian saya antar kamu.”
Xella menggeleng cepat. “Nggak usah Pak saya bisa pulang naik taksi online atau ojek.”
“Kamu malu pulang sama saya?”
“Malu? Siapa yang malu diantar dosen ganteng kayak Bapak. Ini berasa dapat durian runtuh tahu nggak,” batin Xella girang.
“Bukan begitu Pak, tapi saya yang tidak enak ngerepotin Pak Rio,” sahut Xella tidak enak.
“Kalau saya merasa direpotkan, saya tidak mungkin menawarkan bantuan.”
Xella berpikir sejenak, ia tidak ingin menolak tapi ia juga tidak enak dengan mahasiswa yang melihatnya satu mobil dengan dosen ganteng idaman penjuru kampus.
“Iya saya mau, Pak.” Jawab Xella dengan wajah malu.
"Bisa pingsan satu mobil sama calon masa depan," batin Xella.