Eryan membawa Axella masuk ke dalam rumah mewah yang menjadi tempat tinggal Zeo bersama dengan pekerja rumah tangga bernama Mbok Rum berusia 45 tahun. Xella cukup takjub melihat rumah yang akan menjadi tempat bekerjanya sebagai pengasuh.
“Mas Ian..” sapa Mbok Rum.
“Mbok, Zoe mana?” tanya Eryan dengan mata mencari sosok Zoe yang seperti sedang tidak ada di ruang tamu.
“Non Zoe ada di kamar, lagi belajar,” pandangan Mbok Rum beralih pada sosok Axella yang berdiri di sebelah Eryan dengan membawa sebuah koper besar. “Siapa, Mas?”
“Oh ini kenalkan namanya Axella, pengasuh Zoe.” Jawab Eryan.
“Halo saya Axella, bisa panggil Xella.” Sapa Xella ramah.
“Saya Mbok Rum, yang kerja di rumah ini.”
“Mulai hari ini, Axella akan tinggal sama Mbok Rum dan Zoe. Dan tolong bantu Axella kalau misal ada kesulitan ya, Mbok. Saya berharap Zoe bisa cepat akrab dengan Axella.”
“Tenang saja Mas, si Mbok pasti siap membantu Mbak Axella dalam mendekati Non Zoe.” Mbok Rum memegang tangan Axella, “Mbak pasti cepat akrab dengan Non Zoe karena anaknya baik dan penurut.”
Seketika hati Axella merasa tenang, setidaknya pekerjaannya akan lebih mudah. “Terima kasih ya, Mbok. Tolong tegur saya kalau misal ada yang keliru.”
“Uncle Ian..” suara teriakan bocah kecil dari arah tangga.
Axella menoleh dan yakin anak kecil ini yang akan ia asuh dan jaga. Mendadak jantungnya berdegub kencang, bak sedang bertemu dengan sosok Rio.
Eryan segera berlutut untuk menyambut kedatangan Zoe yang nampak begitu bahagia, “Zoe cantik, bagaimana belajarnya?”
“Lancar, aku suka belajar sama Miss Berta,” jawabnya.
“Oh iya, wah Uncle Ian ikutan senang” Eryan memeluk singkat Zoe dengan gemas, “Oh iya, Uncle Ian punya teman baru untuk Zoe, namanya Aunty Axella.”
Axella ikut berlutut agar bisa menjangkau tubuh Zoe, “Halo cantik, kenalkan namaku Axella boleh panggil Xella”
“Namaku Zoe, Aunty Axella. Hhhhmm, aku panggil Aunty Ella boleh?” sambut Zoe dengan antusias.
“Tentu, panggilan yang bagus,” jawab Xella senang.
Melihat bagaimana sambutan dari Zoe, tiba-tiba hati Axella merasa nyaman. Bocah cantik dan lucu ini begitu terbuka padanya. Yang ia tahu, anak kecil cenderung menutup diri dengan orang yang baru di kenal. Kekhawatirannya sejak kemarin ternyata tidak terbukti, ia optimis kalau bisa menyesuaikan diri dengan anak yang ada di hadapannya ini. Rasanya Xella tidak perlu khawatir dengan pekerjaannya ke depan.
Setelah perkenalan singkat, Zoe kembali ke kamar bersama dengan Mbok Rumi. Sedangkan Xella baru saja kembali dari kamar yang ia tempat dan meletakkan koper berisi barang miliknya.
“Bagaimana menurut kamu?”
“Maksud Mas?”
“Zoe, apakah kamu masih merasa khawatir tidak bisa beradaptasi dengan anak itu?”
Axella menghela napas pelan, “Awal yang baik, sepertinya Zoe sangat mudah dekat dengan orang baru.”
Eryan meletakkan cangkir berisi kopi di atas meja, “Iya, kamu benar. Tapi saya punya ketakutan kalau sebenarnya dia merasa kesepian. Apalagi di rumah ini hanya ada Mbok Rumi. Saya harap kamu bisa menggali bagaimana perasaan Zoe. Saya tidak mau dia memendam sesuatu yang bisa berakibat buruk bagi kesehatan mentalnya.”
Mata Xella menyipit, “Kenapa saya jadi curiga sama Mas Ian ya?”
“Maksud kamu?”
“Zoe ini sebenarnya anak Mas Ian ya? Ngaku deh, pasti sengaja kan cari pengasuh biar nggak ketahuan sama istri Mas Ian. Wah parah sih ini,” sungguh sikap Axella sangat santai kepada Ian.
“Jangan sembarangan kamu, Axella. Saya ini masih lajang dan belum menikah.”
“Terus Zoe anak siapa? Bahkan di rumah ini nggak ada foto satupun. Mas Ian juga kayaknya khawatir banget soal Zoe.”
“Iya karena saya disuruh sama orang tuanya Zoe, Xella.”
“Di mana sih orang tuanya? Kok Mas nggak mau kasih tahu,” protes Axella.
“Nanti juga kamu tahu. Sebulan lagi setelah masa percobaan, kamu pasti akan bertemu dengan orang tua Zoe,” jawab Ian tenang.
***
“Hai Zoe, aku boleh masuk?” Xella sedang mengintip di balik pintu kamar Zoe. Gadis itu tengah asik bermain puzzel.
Zoe mendongak, “Aunty Ella, sini masuk,” jawabnya dengan ramah sambil tangan mungilnya melambai.
“Kamu lagi asik main ya. Gimana kalau kita makan malam dulu, setelah itu baru lanjut main. Atau nanti Aunty Ella nemenin Zoe belajar.” Sejujurnya Xella bingung harus memulai dari mana. Tapi ia akan melakukan hal yang biasa ia lihat terhadap anak kakak sepupunya. Atau ia bisa mencari informasi cara mendidik anak berusia 6 tahun.
“Ayuk, Zoe juga sudah lapar.”
“Lho kenapa nggak bilang kalau Zoe sudah lapar?”
“Hhhmm, karena Mommy ngajarin Zoe sebelum ditawari tidak boleh langsung minta. Jadi aku nunggu dipanggil Mbok Rumi dulu baru makan.”
Xella menangkup pipi cubby Zoe, “Ya ampun sayang. Ajaran Mommy kamu bagus sekali. Tapi ini kan rumah kamu jadi jangan nunggu dipanggil dulu baru makan, apalagi kalau kamu sudah lapar.” Xella benar-benar takjub dengan pemikiran Zoe.
“Iya Aunty, Ella,” jawabnya patuh.
Xella mengajak Zoe makan malam, bercerita banyak hal mengenai apa saja yang disukai oleh bocah ini karena Xella juga harus mengenal Zoe lebih dalam. Zoe juga bertanya tentang Xella walaupun ia yakin bocah itu tidak terlalu paham tentang kehidupan orang dewasa. Namun melihat antusias bocah itu Xella merasa nyaman. Hari pertama bertemu Zoe tidak terlalu sulit dan semoga seterusnya bocah itu bisa bekerja sama dengannya.
“Belum tidur Mbak?” tanya Mbok Rum yang melihat Xella duduk di meja makan.
“Belum Mbok, baru saja abis temenin Zoe belajar dan sekarang sudah tidur,” jawabnya sambil mengaduk cangkir berisi teh hangat.
“Syukurlah kalau Zoe langsung tidur. Biasa dia nangis karena kangen sama mommy dan daddy-nya.”
“Mbok, saya boleh tanya sesuatu?”
“Apa Mbak?”
“Sebenarnya orang tuanya Zoe dimana?” tanya Xella hati-hati.
Mbok Rumi yang tengah membereskan makanan di meja makan, memilih duduk di sebelah Xella, “Mas Ian nggak ada cerita apa-apa soal orang tua Zoe?”
“Nggak, Mbok. Makanya saya penasaran banget, masa saya ngasuh anak kecil nggak tahu siapa orang tuanya,” gumam Xella.
“Ya sudah tunggu sampai Mas Ian cerita langsung deh Mbak. Si Mbok takut salah ngomong dan berakibat fatal.”
Xella menghela napas pelan, sepertinya keluarga Zoe penuh dengan rahasia, “Ya udah, nggak apa-apa Mbok. Semoga saya bisa bekerja dengan baik dan saya bisa dapat gaji.”
Sebelum tidur Xella datang ke kamar Zoe untuk memastikan kembali bocah itu sudah tidur. Dilihatnya Zoe meringkuk dengan selimut menutupi badan serta boneka dolpin dalam pelukannya. Xella mengamati wajah Zoe yang nampak seperti malaikat yang sedang tidur tenang, namun tiba-tiba Xella terkejut melihat sudut mata gadis itu yang basah.
“Zoe, kamu nangis?” gumam Xella, ia berharap Zoe sudah tidur dan tidak bangun karena kedatangannya.
Tangannya terangkat membelai lembut pucuk kepala bocah itu, “Sebenarnya ada apa dengan keluarga ini,” pikir Xella. Namun apa daya, tugasnya hanya mengasuh Zoe tanpa boleh tahu mengenai keluarga anak ini.