1. JADI ARTIS ?
“Lo yakin kabur dari rumah?” Anggi tidak percaya teman kampusnya kini hidupnya terlunta-lunta. Membawa koper besar dengan wajah kusut sungguh penampakan yang menyedihkan.
Axella menumpukan dagunya di atas tangan yang ia letakkan di meja, wajahnya murah tanpa ada semangat hidup. “Kenapa sih hidup gue begini amat? Kapan sih gue bisa merasakan hidup tenang tanpa perlu mikirin hal lain selain kuliah,” gurutunya.
Anggi menghela napas, “Gue kok miris banget lihat lo kayak gini. Kuliah tinggal skripsi tapi harus ngadepin cobaan berat. Lebih berat daripada nungguin kabar dari dospem.”
“Huuuaaa, gue pengen nangis” teriak Axella hingga membuat pengunjung kafe menoleh ke meja tempatnya duduk bersama Anggi.
Axella Analise Hermawan, berusia 23 tahun dan kini tengah berjuang keras menyelesaikan skripsinya. Ditengah perjuangannya, ia dihadapkan dengan keinginan ayahnya, Agustina Hermawan untuk menjodohkan Axella dengan pria kaya demi sebuah bisnis. Dengan kata lain, Agus ingin menjual putri semata wayangnya. Namun, Axella dengan lantang menolak dan kini ia tengah kabur dari rumahnya dan memilih untuk mencari tempat tinggal lain. Apesya, saat harapan satu-satunya sebagai sumber penghidupannya, justru Axella dipecat dari pekerjaannya di sebuah butik yang cukup terkenal. Agus datang dan marah-marah karena tidak suka putrinya bekerja sedangkan ia adalah pengusaha sukses hingga membuat pemilik butik bernama Madam An marah besar. Sejak dulu Axella memang sudah mencari uang sendiri walaupun kedua orang tuanya memberi kehidupan yang mewah. Tapi entah kenapa, sejak mulai kuliah Axella suka mencoba hal baru terutama bekerja. Nasib Axella memang cukup miris, tidak memiliki penghasilan sekaligus tempat tinggal serta skripsi yang menuntut untuk diselesaikan.
“Udah jangan nangis, lo malah bikin malu.” Anggi berusaha menenangkan Axella yang ternyata menangis sungguhan.
“Gue harus tinggal di mana, Gi? Kalau pulang, gue pasti langsung dikawinin sama itu akik-akik. Mau sewa tempat yang ada gue nggak makan selama sebulan dan tabungan gue auto ludes. Semua rekening yang gue punya disita sama bokap.”
Anggi menahan tawa, “Tenang, lo nggak akan nikah sama akik-akik. Untuk sementara, lo bisa tidur di rumah gue. Tapi nggak bisa lama, yang ada Mami gue curiga dan malah gue yang kena marah nampung anak kabur.”
Mendengar kabar baik membuat mata Axella berbinar, “Serius? Lo mau nampung gue? Nggak salah denger kan? Eh lo waras kan?” Axella langsung menyambar kening Anggi.
“Eh gendeng, lo kira gue lagi sakit?” protes Anggi.
“Kali aja, soalnya lo tumben baik,” gumam Axella.
“Xella, ingat ya. Gue nggak bisa nampung lo lama, jadi sebaiknya gue bantu lo buat cari kerja. Semakin lo cepat dapat kerja, hidup gue juga semakin cepat damai tanpa ada rengekan lo seperti malam ini.”
Axella mendengus, “Iya gue juga bakalan berusaha buat dapat kerja kok.”
“Kamu perlu pekerjaan?” dua anak manusia itu terkejut dengan suara dari seorang pria yang berdiri tepat di samping keduanya duduk.
“Iya..” jawab Axella ragu.
Si pria mengulurkan tangan, “Saya Eryan bisa panggil Ian.”
“Axella,”
“Anggi,”
Eryan mengeluarkan kartu nama, “Kalau kamu perlu pekerjaan, silakan hubungi kontak yang ada di kartu nama ini,” ucap Eryan dengan aura santai namun berwibawa, “Jangan lama, karena tawaran saya tidak berlaku lama,” imbuhnya.
Axella menerima dengan ragu, lalu matanya melirik tulisan yang ada di kartu nama, “Manager artis?” seru Axella tidak percaya.
“Yup betul, kalau kamu sudah yakin segera hubungi saya. Oke?” Eryan berlalu meninggalkan Axella dan Anggi yang masih terkejut dengan mulut terbuka.
Axella mengejapkan matanya berkali-kali saat membawa kartu nama yang diberikan oleh Eryan. “ Eryan W, manager artis?”
Anggi menyambar kartu nama yang ada di tangan Axella, “Gileee, lo mau ditawarin jadi artis, Xel?”
“Nggak mungkinlah, modelan gue menarik buat jadi artis,” Axella memandangi tubuhnya. “Tapi gue cantik sih, mungkin itu kali yang bikin orang tadi tertarik lihat gue.”
“Udahlah, nggak usah banyak mikir. Secepatnya lo harus hubungi Mas yang tadi. Lo dengar kan kalau tawarannya nggak berlaku lama. Gue bantu lo permak diri biar bisa tampil oke.” Mata Anggi berbinar, “Ya ampun akhirnya gue punya teman artis. Mimpi apa sih lo semalam, Xel,” ucapnya dengan bangga.
***
“Jadi kamu masih kuliah?” tanya Eryan Saat ini ia sedang bersama dengan Axella yang menghubunginya setelah 3 hari berlalu sejak pertemuan pertama.
Axella mengangguk, “Saya sedang menyelesaikan skripsi, Mas.”
“Kamu bisa bekerja saat sedang sibuk-sibuknya?”
“Bisa, saya bisa bekerja karena saya sangat membutuhkan uang. Kalau saya nggak bisa mendapatkan pekerjaan, saya juga nggak bisa kelarin skripsi.”
Kening Ryan mengkerut melihat ekspresi menyedihkan Axella, “Maaf kalau boleh tahu, kamu masih punya orang tua?”
“Orang tua saya lengkap.”
“Lalu kenapa kamu harus bersusah payah bekerja?”
“Karena saya kabur dari rumah.”
“Ah iya saya lupa soal itu, padahal saya sudah dengar tempo hari.” gumam Eryan yang menguping saat di kafe.
“Jadi pekerjaan apa yang mau Mas tawarin ke saya? Jadi artis?” tanya Axella tidak sabar.
Akhirnya Eryan menjelaskan pekerjaan apa yang akan ditawarkan untuk Axella. Wajahnya hati-hati dengan suara yang sedikit berbisik agar Axella paham dengan maksudnya.
Axella mengernyitkan alisnya, “Hah?”
Eryan tidak terkejut dengan ekspresi terkejut Axella. Siapapun pasti akan bereaksi yang sama.
“Mas nggak salah cari orang?” tanya Axella heran.
Ryan menggeleng, “Nggak, pertama kali lihat kamu saya sudah yakin kalau kamu bisa menjadi pengasuh Zoe. Kamu terlihat sabar, perhatian, anggun dan pintar.”
Axella melongo mendengar semacam pujian Eryan padanya. “Mas, dari mana bisa menilai saya seperti itu sedangkan kita baru kenal. Duhhh, saya nggak punya pengalaman mengasuh anak kecil.”
“Tapi Zoe sudah berumur 6 tahun dan dia sangat pintar serta penurut. Kamu nggak akan kesulitan kok ngasuh dia.”
“Emang orang tuanya mana sih, Mas? Kok repot cari pengasuh? Kalau cari pengasuh itu harusnya di tempat khusus bukan sembarangan seperti ini.” protes Axella.
“Kamu nggak perlu tahu orang tua Zoe di mana. Yang jelas kamu mau atau tidak?”
Axella berpikir sejenak, “Berapa yang saya dapat untuk pekerjaan ini? Oh iya, saya masih bisa kuliah kan? Jangan nyuruh saya cuti demi mengasuh anak kecil. Kalau seperti itu jelas saya akan menolak dengan tegas.”
Eryan dengan cepat mengeluarkan lembaran kertas yang sudah ia siapkan. “Ini adalah tugas selama menjadi pengasuh Zoe. Silakan kamu lihat disana berapa yang akan kamu dapat.”
Axella membaca dengan teliti, “Saya tinggal di rumah Zoe?”
“Yup, benar sekali.”
“Tapi kalau saya ke kampus, Zoe sama siapa?”
“Kamu kan tinggal nyusun skripsi, jadi intensitas ke kampus pasti tidak terlalu padat. Kalau kamu pergi, ada Si Mbok yang bantu jaga. Tapi ingat kamu harus menyelesaikan pekerjaan baru bisa meninggalkan Zoe.”
“Saya nggak dapat libur?”
“Tentu dapat, tapi kalau Zoe perlu kamu ya terpaksa libur harus ditunda.”
“Astaga, ini sih sama saja nggak bisa libur,” keluh Axella yang rasanya sulit menolak tawaran ini. Apalagi saat melihat nominal yang ia dapat serta tempat tinggal selama menjadi pengasuh rasanya ia patut bersyukur.
“Bagaimana? Kalau kamu mau, ikuti masa percobaan selama sebulan. Kalau Zoe menolak atau kamu tidak sanggup, kita bisa akhiri semuanya sesuai perjanjian yang akan saya buatkan.”
Sungguh situasi yang sulit bagi Axella, saat ia bahagia mendapat tawaran kerja tapi nyatanya pekerjaan ini jauh dari bayangannya. Bagaimana diusianya yang baru menginjak 23 tahun harus mengasuh anak kecil. Padahal ia tidak terlalu mudah dekat dengan anak kecil bahkan ia kadang cenderung cepat emosi jika menghadapi anak dari sepupunya. Tapi tawaran ini cukup menjanjikan kemakmuran untuk hidupnya sambil mencari pekerjaan lain dan menyelesaikan skripsi. Menolak kesempatan tidaklah baik tapi melakukan pekerjaan diluar keahlian juga bukan ide yang bagus.
“Baiklah, saya siap menjadi pengasuh Zoe,” jawabnya tegas.