Rinai gerimis yang tengah menari-nari di luaran sana seakan menambah dingin yang menusuk di relung hati Illyana. Sudah pukul dua dini hari tapi mata Illyana masih belum bisa terpejam juga. Hati Illyana tak karuan rasanya, setelah Diftan merenggut haknya dengan cara yang melampaui dugaannya, kini Illyana menerima sendiri. Illyana tergugu dalam tangisnya.
Illyana beranjak ke kamar mandi. Mandi guyuran dibawah Illyana dikeluarkan yang sudah puas sedari tadi. Hatinya menjerit mengingat apa yang sudah Diftan lakukan mengingat. 'Memberikan apa yang menjadi hak-nya adalah kewajibanku ya Allah, tetapi haruskah dengan cara seperti ini.' jerit Illyana dalam hati.
Illyana terduduk lesu di bawah guyuran air shower, tidak peduli sudah lama dia tidak disitu dan tidak peduli sudah menggigil bahkan terlihat pucat, namun ia masih enggan untuk beranjak dari tempat itu.
Diftan mengerjapkan sementara saat memakai pakaian dingin. Tidak seperti biasanya, hawa dingin AC sangat menusuk sampai ke tulangnya. Perlahan besar sekali. Diftan selimut yang hanya berbalut selimut itu. Ia segera tergagap bangun saat menyadari tubuh di bawah selimut itu polos tanpa sehelai benangpun. Matanya pun bercinta bercak darah yang tertinggal di sprei atas tempat tidurnya. "Sial !! Apa yang udah aku lakuin!" ucapnya merutuki sendiri sendiri.
Diftan segera meraih petinju dan kaos berhasil dan memakainya mungkin berhasil. "Illyana," gumamnya saat menyadari Illyana tidak ada disitu.
Diftan mendengar suara rintihan dari dalam kamar mandi. Segera ia mengetuk pintu kamar mandi yang diambil dari dalam. "Illyana, apa kamu di dalam. Bukalah pintunya," Diftan menggedor pintu kamar mandi dan memanggil-manggil Illyana namun tidak ada yang sah dari dalam.
"Bukalah pintunya Illyana, aku mohon." Diftan mulai merasa khawatir karena masih belum mendengar suara Illyana.
'Braaaaak !!'
Diftan akhirnya mendobrak pintu kamar mandi. Matanya tertegun melihat sosok yang tergeletak tak berdaya di bawah guyuran air shower. "Illyana, heii..buka mata kamu," ucapnya menepuk-nepuk pupi Illyana dengan lembut. Diftan segera menggendong tubuh basah kuyubicara itu dan membaringkannya di ranjang dengan hati-hati. Illyana masih belum dibuka juga.
'Ya Tuhan, apa yang udah aku lakuin sama Illyana,' batin Diftan mengusap kasar kekerasan.
Diftan jadi bingung sendiri dengan masalah ini. Illyana terlihat semakin pucat dan menggigil, mau tak mau Diftan harus meminta pakaian itu.
Mau minta tolong bik Sum, yang ada nanti malah curiga, suami istri kog masih sungkan. Seharusnya memang tidak perlu saling bertukar satu sama lain. Lagi pula ini tengah malam, bik Sum juga mungkin sedang istirahat. Akhirnya Diftan sendiri yang mengeluarkan baju Illyana setelah terlebih dahulu mengelap tubuh basah Illyana dengan handuk.
Diftan menatap wajah pucat Illyana dengan rasa bersalah. Tidak perlu ia melakukannya. Meskipun Illyana adalah hak cipta dan itu adalah hak-nya, tetapi tidak sesuai dengan persyaratan Diftan. Sebenarnya Diftan masih sadar dan tidak benar-benar mabuk, tetapi karena begitu kuatnya pengaruh obat yang telah dicampurkan ke minumannya lah yang membuatnya tidak bisa mengendalikan nafsunya.
"Maafkan aku," ucapnya mengelus kepala Illyana yang masih terpejam. Setelah menarik selimut untuk menarik tubuh Illyana, Diftan beranjak keluar kamar dan memilih untuk tidur di kamar Zidan.
Illyana membuka mata sepeninggal Diftan dari kamar mereka. Sebenarnya Illyana sudah terbangun sajak Diftan menerima pakaiannya, namun ia pura-pura masih terpejam karena gugup dan gemetar saat Diftan membahas lagi terkait setelah penyatuan yang tidak Illyana harapkan seperti apa pun yang terjadi.
Tangan Illyana bergerak memegang pucuk kepala yang sempat di usap oleh Diftan tadi. 'Adakah Cinta di hatimu untukku Mas,' ucapnya dalam hati sebelum beranjak untuk mandi dan siap-siap menyiapkan tahajud.
Sesusai tahajjud dan menunggu waktu subuh, Illyana menerima badannya gemetar dan menerima mendorong. Illyana memutuskan untuk merebahkan badannya menunda seusai shalat subuh. Ia benar-benar tidak kuat badannya terasa lemas sekali.
Diftan berkali-kali mencoba memejamkan mata namun pikirannya tetap tertuju pada Illyana. Masih teringat di pikirannya saat ia dengan terpaksa mengambil sesuatu yang berharaga milik Illyana. Diftan melirik Zidan yang tengah tidur dengan damainya, dikecupnya kening putra kecilnya itu sebelum ia memutuskan untuk kembali ke kamarnya karena kepikiran dengan Illyana.
"Illyana," Diftan memekik saat melihat Illyana merintih seperti orang kesakitan di atas ranjang. Diftan memegang kening dan leher itu terasa panas. Pantas saja Illyana tidak jelas, mungkin karena suhu meningkat yang meningkat drastis.
Diftan segera mengambil air hangat dan handuk kecil untuk mengompres Illyana agar panasnya berkurang.
"Ayah," Zidan terlihat membawa kamar Diftan dan Illyana. "Ayah, Bunda kenapa ,?" tanya Zidan dengan polosnya.
"Bunda sakit Sayang,"
"Yeeeeaayy, tuan rumah !!"
Diftan mengernyitkan keningnya saat melihat Zidan yang malah bersorak senang saat tahu Illyana sakit.
"Zidan kog seneng sih Bunda lagi sakit?" tanya Diftan heran.
"Iya Ayah, soalnya kata Zahra teman Zidan kalau Bundanya lagi sakit terus nggak bangun dari tempat tidur itu artinya Zidan mau punya adek Yah,"
Ucapan polos Zidan membuat Diftan salah tingkah seketika. Bagaimana bisa Zidan berpikiran seperti itu. 'Illyana hamil? Nggak nggak mungkin, kami baru melakukannya sekali, apa iya dia nanti bisa hamil. ' Diftan malah kepikiran sendiri dengan ucapan Zidan.
"Ayah," panggil Zidan saat melihat membantunya terlihat meminta sesuatu.
"Iya Nak,"
"Zidan mau adek kan Yah,"
"Eh, itu .."
"Zidan," saat Diftan bingung harus menjawab apa pada Zidan. Illyana tiba-tiba bangun dan mengundang Zidan.
"Bunda, bunda lagi sakit. Kata Ayah lagi lagi Zidan mau adek," kali ini Diftan dibuat terperngah dengan ucapan bocah kecilnya itu. Diftan dengan cepat menoleh Illyana dan menggeleng seoalah disampaikan, jika yang dibilang Zidan itu tidak benar.
"Zidan Sayang, Bunda cuma mendorong sedikit kpg Nak,"
"Apa artinya Zidan nggak jadi punya adek ya Bunda?" Illyana melihat wajah kekecewaan di mata Zidan saat memuji itu.
"Insya Allah Nak, nanti kalau Bunda sudah sehat, Zidan pasti akan punya adek," ucap Illyana dengan lembut. Illyana berpikir tak apalah berhasil sedikit demi kesenangan Zidan. Sementara dalam hati pun ia menerima bimbang dan kawatir akan dibagikan kepada siapa pun dengan Diftan setelah ini.
"Zidan Sayang, sekarang sarapan dulu ya, habis itu Ayah anter berangkat sekolah."
"Tidak Yah, Zidan di anter sama sopir saja,"
"Memangnya kenapa Nak ,?"
“Ayah disini saja nemenin Bunda, terimaan Bunda lagi sakit,” Illyana terharu mendegar penuturan bocah lima tahun itu. Bagaimana ia tidak jatuh hati dan dengan gampang menyayanginya jika Zidan sendiri sangat manis sekali sikapnya pada Illyana. Sangat berbanding terbalik dengan Ayahnya.
Diftan menemani Zidan sarapan dan seusai itu ia berniat membawakan sarapan ke kamar untuk Illyana. Bagaimana Illyana bisa sakit seperti ini juga gara-gara dia.
"Bik, tolong bikinin bubur ya,"
Seru Diftan pada bik Sum.
"Baik Den, untuk siapa Den buburnya ,?" tanya bik Sum kepo, karena setahu dia adennya itu sangat tidak disukai bubur.
"Untuk istri saya Bik, dia lagi kurang enak badan." jawab Diftan pada bik Sum.
Sepanjang menunggu bubur masak Diftan duduk di kursi dekat dapur. Berkali-kali ia mencoba merangkai kata untuk mengutarakan permintaan maafnya pada Illyana. Berkali-kali pula ia mengusap kejanggalan karena menyimpan kata yang ia rangkai kurang pas.
"Ini Den, buburnya sudah siap." teguran bik Sum menyadarkan Diftan. Segera ia bawa nampan berisi semangkuk bubur yang masih panas, juga segelas s**u hangat dan putih. Tidak lupa sebelum pindah kamar Diftan terlihat pindah ruang dan mengambil sesuatu dari tas dokternya yang membuktikan obat anti nyeri dan parasetamol untuk Illyana.
"Aku bawakan bubur, cepatlah makan mumpung masih panas," ucapnya pada Illyana yang masih terbaring.
"Terimakasih Mas, Mas sudah sarapan." tanya Illyana dan Diftan mengangguk sebagai jawaban.
"Minumlah ini setelah makan," Diftan menyerahkan sebungkus kecil obat penghilang rasa sakit.
"Ini obat apa Mas ,?" Illyana yang tidak mengerti pun bertanya pada Diftan.
Diftan terlihat salah tingkah saat ingin menjawab pertanyaan tahu itu. "Itu, hmm..itu obat, obat penghilang nyeri untuk--"
"Untuk apa Mas ,? Aku hanya merasa pusing saja, tidak ada rasa sakit." jawab Illyana dengan polosnya.
"Sudahlah minum saja setelah ini," Diftan malu jika harus menjelaskan bahwa itu obat penghilang rasa sakit setelah mereka berhubungan semalam. Diftan seorang dokter, tentu sangat memahami masalah itu.
Illyana setuju dengan kata-kata yang meminum obat yang telah diberikan sebelumnya. Ia ingin beranjak dan mengambil air putih yang memang sudah tandas dari gelasnya. "Awwsh..astagfirullah," rintih Illyana yang menyelamatkan di bawah inti yang ingin ia lewati.
"Mau kemana?" tanya Diftan yang kaget mendengar Illyana mengaduh kesakitan.
"Mau ambil air di dapur Mas,"
"Kenapa nggak bilang sih. Sudah tahu sedang sakit."
"Maaf Mas,"
"Sudah menunggu di sini saja biar aku yang ambil." Diftan beranjak ke dapur untuk mengambil air minum. Tapi sebelumnya Illayan mendengarnya menggumamkan kata 'sebelumnya saja, itu mendorong, tidak ada yang sakit, dasar sok kuat.' ucap Diftan pelan dan sempat terdengar oleh Illyana.
Seulas senyum tersungging di bibir ranum Illayana. "Ya Allah apakah ini hikmah dari kejadian semalam. Apakah cinta itu sudah mulai tumbuh di hati suamiku ya Rabb. Aku akan selalu bersabar menunggunya, sejak ia berhasil memenangkan sucinya, sejak saat itu juga aku menunggu untuk berharapainya. Tidak akan membiarkan aku bertanya kepadamu ya Rabb, selalu berkahi ikatan yang ada di antara kami, limpahkan cinta dan kasih sayangmu untuk keluarga kecil kami. " doa Illyana dalam pemulihan.
Diftan kembali dengan segelas air di dikembalikan. Segera ia menyerukan Illyana untuk minum langsung dari mengundang. Hati Illyana berdetak tak karuan saat merasakan hembusan nafas Diftan yang sudah dekat dengannya.
"Apa masih terasa sakit?" tanya Diftan lembut.
"Alhamdulilah sudah mendingan Mas,"
"Maafkan aku!" Semua kata yang sudah dirangkai Diftan seketika hilang semua. Hanya kata maaf yang sanggup ia ucapkan di depan Illyana.
"Tidak Mas, itu sudah menjadi hak kamu sebagai suamiku,"
"Aku benar-benar khilaf semalam."
"Lagipula kita suami istri, Mas halal untul melakukan itu,"
"Aku tahu, tapi caraku salah datang dengan keadaan seperti itu. Tentu kau tidak mengharapkan ku datangi seperti dalam keadaan semalam kan."
Illyana menerima Diftan tidak perlu meminta maaf meminta. Toh mereka suami istri dan Diftan halal untuknya. Tapi memang cara Diftan yang salah saat datangi dan meminta hak-nya.
"Sudahlah Mas, lupakan. Aku tidak marah dan sudah memaafkan Mas Diftan,"
Diftan berdesir mendengar ucapan Illyana yg terdengar sangat tulus itu.
"Istirahatlah, aku akan menjemput Zidan dan setelah itu aku akan ke rumah sakit," ucap Diftan membantu Illyana meletakkan kembali dan menyelimutinya.
"Aku pergi dulu,"
"Mas tunggu," Illyana menghentikan langkah Diftan saat akan beranjak dari sisinya. Diraihnya tangan kanan Diftan dan diciumnya dengan lembut punggung tangan itu.
"Hati-hati di jalan Mas, Assalamuallaikum," ucapnya tersenyum pada Diftan.
"Waalaikumsalam," jawab Diftan sesaat setelah tertegun dengan apa yang dilakukan Illyana.
'Suamiku, adakah cinta yang terselip di hatimu untukku walau hanya sedikit saja ?. Tidak Mas, aku tidak akan menunggu, aku akan menunggu sampai cinta itu hadir di hatimu. ' batin hati Illyana setelah Diftan beranjak pergi.
~~~~~~~