6# Ku ingin Cinta Yang Hakiki

2257 Kata
Seulas senyum lingkaran terukir di wajah cantik Illyana saat ini. Setelah tadi pagi Diftan sangat memperhatikan dan menjaganya sekali. Terukir jelas di wajah Diftan raut wajah kekawatiran saat melihat Illyana jatuh sakit. "Jangan lupa makan siang, jangan lupa obatnya juga diminum, istirahat saja nggak usah ngapa-ngapain." pesan Diftan sebelum ia berangkat ke rumah sakit tadi pagi. Di dalam hati Illyana menyimpan asa, semoga saja memang benar cinta mulai tumbuh di hati Diftan kunjungan. "Ya Allah ya Rabb, bawa yang Maha tahu isi setiap hati hambahmu, tidak akan pernah bosan aku minta kepadamu untuk membawakan cinta di hati sumiku jika memang cinta itu belum ada. Jika memang ada rasa yang telah hadir, maka tunjukkanlah kepadaku ya Rabb. Ku ingin cinta yang sejati, cinta yang menjadi alasan agar semakin mendekatkan diri kepadamu ya Allah, ku ingin cinta yang hakiki atas ridha darimu. " Doa Illyana pagi ini seusai melaksanakan duha-nya. Pukul sebelas siang Illyana Siapkan-siap untuk menjemput Zidan ke sekolah. Tadi Diftan sudah mengeluarkan uang untuk pergi, tapi Illyana sudah menunggu Zidan. Dia tidak ingin mengecewakan putra kecilnya itu. "Non Illy kata Den Diftan disuruh istirahat saja," ujar bik Sum saat Illyana pamit akan pergi. "Tidak apa-apa Bik, cuma bisa saja kog. Tadi juga sudah izin sama Mas Diftan." sahut Illyana tetep ingin pergi. Dengan diantar sopir Illyana pergi untuk menjemput Zidan ke sekolahnya. "Bundaaaa," Zidan berlari menghampiri Illyana saat melihat bundanya itu. "Zidan Sayang, gimana belajarnya tadi? Zidan nggak nakal kan." tanya Illyana mencium kening Zidan dengan sayang. "Nggak dong Bund, Zidan kan pintel, Bunda ayo sini Zidan kenalin sama temen Zidan yang cantik, kenal Zahra." Zidan menggeret Illyana untuk bertemu teman yang bernama Zahra. "Zahra ini lho Bunda aku," bocah cantik kembali lima tahun yang menghampiri Illyana. "Assalamuallaikum Bunda," ucapnya dengan sopan mencium tangan Illyana. "Waalaikumsalam Sayang, cantik sekali kamu Nak," ucap Illyana mengagumi kecantikan Zahra yang baru memulai lima tahun itu. "Iya dong Bunda, teman Zahra Zidan yang paling baik dan cantik," ucap Zidan dengan polosnya membuat Illyana tersenyum. "Zahra belum dijemput mamanya Nak?" tanya Illyana yg melihat Zahra seorang diri dan suka menunggu dijemput. "Assalamuallaikum Nak," seorang perempuan anggun dan cantik menghampiri mereka. "Umiii," panggil Zahra pada perempuan yang menghampiri mereka dan ternyata adalah Uminya Zahra. "Bunda, ini Umi Fatimah, Uminya Zahra." ucap Zidan memeperkenalkan Uminya Zahra. "Assalamuallaikum Mbak, saya Illyana," Illyana mengulurkan kemenangan pada Fatimah. "Fatimah, "Iya Umi," puji Fatimah dan Zahra. "Bunda, Zidan sama Zahra mau main sebentar boleh." "Boleh Sayang, jangan jauh-jauh ya, Bunda sama Umi tunggu di sini." jawab Illyana pada dua bocah kecil itu. "Zahra cantik sekali Kak, mirip sekali dengan Kak Fatimah," ucap Illyana membuka percakapan dengan Fatimah. "Bisa saja kamu dek, kamu juga cantik sekali, tapi maaf ya dek, setahu aku Bundanya Zidan sudah lama berlalu," Fatimah memang sudah bisa mendengarkan cerita Zidan yang dengan polosnya mengatakan kalau sudah pernah pergi "Iya Kak, memang aku bukan ibu yang melahirkan Zidan, tapi aku sangat menyayanginya sejak bertemu pertama, Zidan anak yang sangat manis sekali, tidak ada alasan aku tidak menyayanginya." Illyana tersenyum menperhatikan tingkah lucu Zidan dari kejauhan. "Maaf ya dek, jika pertanyaanku menyinggung perasaan kamu," "Tidak apa Kak, aku memang baru beberapa hari menikah dengan Mas Diftan Ayahnya Zidan." Illyana terang. "Masya Allah, pengantin baru ternyata, selamat ya dek, semoga sakinah selalu dan Zidan cepat mendapat adik perempuan." ucap Umi Zahra memberi selamat pada Illyana. Illyana jadi teringat akan pernikahanya dengan Diftan yang tanpa cinta. Meraih semua yang diucapkan oleh Fatimah itu. Batinnya dalam hati. Tapi Illyana tidak bisa dilepaskan begitu saja. Perjuangannya sebagai istri dan ibu untuk Zidan baru saja dimulai, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini jika kita bersabar dan terus berusaha. Begitu juga dengan keyakinan Illyana. "Aamin Kk, terimakasih untuk doanya. Kak Fatimah sendiri sudah lama menikah? Zahra juga sudah berapa lama punya adik ya Kak," ujar Illyana. "Tahun ini dipindahkan umur ke enam, pernikahan dek, kemarin memang pernah diberi kepercayaan oleh Allah untuk hamil lagi, tetapi Allah lebih sayang dan mengambil kembali titipannya dek," "Apa maksudnya Kak? "Iya dek, memang rahim masalahku sejak hamil anak-anak dulu," "Anak-anak? Berarti Zahra punya kakak ya Kak?" "Iya Zahra kembar dek, Abangnya hari ini tidak masuk sekolah karena kurang enak badan." Sepanjang menunggu Zidan dan Zahra bermain Illyana berbincang dengan Fatimah yang ternyata sangat ramah dan bersahabat sekali terkait. Fatimah juga banyak membahas tentang pengalaman dan perjuangannya menjadi seorang ibu. Illyana kagum sekali dengan Fatimah yang lemah lembut, sabar dan penuh kasih sayang itu. Meskipun baru pertama kali bertemu tapi Illyana sudah sangat dekat sekali dengan Uminya Zahra. Bahkan Fatimah menganggapnya seperti adik sendiri. "Yang sabar ya, cinta akan hadir seiring berjalannya waktu, jangan berputus asa untuk selalu bertanya pada Yang Kuasa agar berkahi dengan kasih sayang dan cinta yang bertambah." ucap Fatimah pada Illyana seakan sangat menentukan sekali dengan keadaan hati Illyana saat ini. *** Hari sudah tiba magrib tapi Diftan belum kembali dari rumah sakit. Selepas operasi operasi tadi, sekarang Diftan berada di ruangannya dengan berbagai file tentang pasiennya di meja. Pikiran Diftan melayang pada Illyana. Sebenarnya sore sebelumnya ia ingin cepat pulang dan melihat kondisi Illyana yang tadi pagi masih terlihat pucat saat ia kembali. "Diftan," Baru Diftan akan beranjak keluar, Cindy datang dengan tiba-tiba keruangannya. "Ada apa? Cepatlah aku sedang buru-buru." ucapnya dingin. "Kenapa kamu berubah Diftan. Aku sudah berkali-kali meminta maaf, kenapa kamu nggak mau maafin aku. Aku ingin kita seperti dulu lagi." ucap Cindy membuka lengan Diftan tapi segera ditepisnya. 'Apa-apan perempuan ini. Apa dia tidak sadar jika sedang berbicara dengan suami orang. Apa dia bilang tadi! Berubah. Mungkin dia sendiri yang membuat semuanya seperti ini. Kenapa sekarang malah merengek tak jelas setuju, jelas-jelas aku bukan lelaki bebas lagi. ' Gerutu Diftan namun hanya dalam hati. Diftan tak suka dengan sikap Cindy yang akhir-akhir ini terlihat agresif setelah memenangkan. Diftan memang pernah menyukai gadis itu, tapi itu dulu sebelum Diftan tahu siapa sebenarnya Cindy itu. Tiga tahun yang lalu, sebaliknya saat Cindy sedang magang untuk koas di salah satu rumah sakit. Dan Diftan lah yang menjadi dokter pembimbing untuk Cindy. Diftan tertarik saat melihat Cindy yang sangat perhatian dan lemah lembut mempertanyakan itu. Cindy yang selalu mengingatkannya saat belum makan, Cindy yang menemaninya saat mengerjakan tugas laporan dan lembur sampai tengah malam. Saat Diftan sudah benar-benar yakin akan perasaannya dan akan mengungkapkan pada Cindy bahwa ia mencintainya. Saat itu juga Diftan tahu jika Cindy mendekatinya hanya karena sedang bertaruh bersama teman-teman. Cindy sengaja melakukannya karen butuh uang katanya. Diftan sangat marah sekali, merasa perasaannya sedang dipermainkan. Meskipun Cindy sudah menjelaskan dan meminta maaf, tetap saja Diftan tetap kecewa dan hilang feling untuk Cindy. "Gue gitu lho! Cowo mana coba yang nggak bisa gue taklukin, cuma Diftan ini, kecil buat gue." ucapnya saat itu yang membuat Diftan tertegun mendengarnya. "Oke lo menang. Neh uang lo," ucap salah satu teman Cindy menerima amplop yang berisi uang. "Aku ingin siapa yang akan datang selanjutnya, pasti akan jabanin. Tapi gue tetep nggak akan ngelepasin Diftan gitu aja, dan dia bisa menambang emas buat gue, pewaris baru dari pemilik rumah sakit ternama." ucap Cindy membuat Diftan terbelalak tak percaya. Hanya dapat digunakan untuk Cindy. Sejak tahu Papanya punya pacar lagi setelah kepergian Mamanya, Diftan sudah tidak percaya dengan yang namanya cinta. Jika cinta Mengapa harus mencari cinta. Pikir Diftan saat itu. Tapi dengan haditnya, Cindy senang sedikit demi sedikit. Tapi saat kepercayaan itu mulai tumbuh, kembali ia harus di hempaskan oleh kenyataan bahwa Cindy membuktikan tidak tulus membantah. Diftan pikir, cinta itu palsu, berhasil dan tidak ada ketulusan di dalamnya. Di depan hanya dapat digunakan saja. Sejak itu Diftan tidak mau percaya dengan yang namanya cinta. Tidak ada cinta yang benar menurutnya, yang ada cinta hanya ilusi yang menyesatkan. "Aku tidak punya waktu jika kamu membicarakan hal yang sama. Silakan pergi, karena aku juga harus pulang, anak dan istriku sudah menunggu di rumah." ucap Diftan tegas pada Cindy. Sengaja ia memuji saat ini selain Zidan ada Illyana, istri yang menunggu kedatangannya di rumah. "Tapi Diftan aku ---" "Silakan keluar!" Cindy ingin mengatakan sesuatu tapi Diftan dengan cepat menyuruhnya keluar. *** Illyana sedang membantu Zidan belajar saat Diftan datang dan melihat pemandangan itu. Tersungging senyum di bibirnya saat melihat putra kecilnya itu begitu dekat dan akrab pada Illyana. Dengan Cindy saja dulu ia tidak bisa seakrab itu, tetapi dengan Illyana yang baru bertemu saja Zidan terlihat sangat bahagia sekali, "Ayaaaah," sorak Zidan senang saat melihat Diftan datang. Illyana tersenyum dan menghampiri persiapan itu. Mengembalikan tangan Diftan dan mencium punggung taangannya. "Assalamuallaikum Mas," sapanya tersenyum tapi Diftan masih diam belum menjawab. "Ayah, kata bu guru Zidan jika ada yang mengucap salam harus dijawab, iya kan Bunda." celoteh Zidan dengan polosnya. "Waalaikumsalam," ucap Diftan akhirnya menjawab salam Illyana saat mendengar protesan dari Zidan. "Ayah, ayo cium keningnya Bunda," "Hah." Diftan menjadi salah tingkah saat Zidan kembali memintanya untuk mencium kening Illyana. "Zidan, sudah ya Nak, Ayah baru pulang, biar Ayah istirahat dulu ya." ucap Illyana lembut pada Zidan. "Tapi Bunda, Zahra selalu cerita kalau Abinya pulang kerja pasti cium kening Umi Fatimah, kata Zahra pasti karena Abinya sayang sama Uminya. Kog Ayah nggak cium Bunda? Ayah nggak sayang ya sama Bunda?" Diftan dan Illyana hanya saling pandang mendengar celotehan Zidan. Tapi sambil mengingat Illyana, Diftan mendekat kemudian mengecup keningnya di depan Zidan. Illyana sempat tertegun dengan apa yang dilakukan Diftan Dihadapi. Lagi-lagi jantungnya berdetak tak karuan saat bibir lembut Diftan mendarat di keningnya. Illyana sendiri tidak menyadari bahwa Diftan pun merasakan hal yang sama dengannya. Hatinya hangat saat dekat Illyana. Tapi Diftan segera menepis rasa itu. Ia tidak ingin larut dalam kondisi. Rasa kecewa yang mendalam pada cinta dan kepercayaan masih membekas di dalam hati hingga kini. "Aku bikinkan teh ya Mas," tawar Illyana. Diftan pun mengangguk kecil sebagai jawaban. "Anak Ayah belajar apa tadi?" tanya Diftan saat Illyana sedang ke dapur untuk membuat secangkir teh. "Banyak Yah, Bunda ajarin Zidan banyak banget hari ini. Belajar ngaji sama baca doa-doa Yah," Diftan termenung sebentar mendegar penuturan Zidan. Selama hampir lima tahun ia lupa tentang satu hal itu. Diftan lupa selain kasih sayang Zidan juga perlu ditanamkan nilai-nilai keimanan sejak dini. Diftan jadi bersyukur sekali dengan kehadiran Illyana di antara mereka sekarang Zidan mulai banyak belajar tentang nilai-nilai ketaqwaan. Meskipun ia sendiri saat ini di tengah-tengah yang jauh sekali dengan Allah. Kekecewaan dan dunia malam yang perlahan tapi pasti menjauhkan Diftan dari sang Pencipta. Entah sudah lama lalu kali Diftan membaca bacaan suci Al-Quran atau melakukan shalat. Dia tidak ingat, tapi memang sudah sangat lama sekali. "Mas, ini-nya." Illyana mengangsurkan secangkir teh untuk Diftan. "Terimakasih," ucapnya dan dibalas senyuman oleh Illyana. ** Seperti biasa setiap malam sekarang kebiasaan Illyana adalah menemani Zidan dan membacakan dongeng sebelum putra kecilnya itu terlelap. Illyana segera beranjak ke kamar setelah memastikan Zidan sudah benar-benar tidur. Illyana menarik selimut dan mengecup Zidan sebelum beranjak ke kamarnya. Pelan-pelan Illyana menutup pintu kamarnya saat melihat Diftan sudah terpejam di ranjang mereka. Illyana tersenyum menyaksikan. Wajah polos Diftan saat terlelap, lebih terlihat tampan dan tidak dingin seperti biasanya. Illyana ikut berbaring di sebelah Diftan dan menarik selimut untuk menyelamatkan tubuh mereka berdua. "Aku mencintaimu Mas, meski saat ini kamu belum bisa mencintaiku, tapi aku yakin Allah akan segera mengahadirkan rasa itu di hati kamu." bisiknya tepat di telinga Diftan sebelum Illyana memejamkan mata. Tanpa sepengetahuan Illyana, Diftan dibuka matanya tepat saat Illyana sudah tertidur. Rupanya Diftan belum benar-benar tidur dan mendengar semua yang diminta oleh itu. Diftan memandangi wajah cantik Illyana, ada senyum tersungging di bibirnya saat mengingat kata-kata yang diucapkan Illyana barusan. Tangan Diftan terulur untuk mengelus wajah cantik Illyana. Entah mendorong dari mana ia mengecup kening Illyana dalam dan lama, sebelum ikut terpejam ke alam mimpi. Seperti biasa Illyana bangun tepat tengah malam untuk mengerjakan tahajudnya. Pelan ia beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudlu. Illyana menggerakkan langkahnya sangat lambat karena takut Diftan akan terbangun dan sulit tidurnya. Saat kembali dari kamar mandi Illyana kaget melihat Diftan yang terbangun dan duduk di tepi ranjang. "Mas, maaf ya gara-gara aku tidur Mas jadi terganggu, maafin aku Mas," ucap Illyana merasa aman saat melihat Diftan yang tengah mengamatinya. Diftan bangun dari duduknya. Tanpa mengatakan apa-apa, ia merengkuh tubuh Illyana dalam peluknya. Illyana sendiri agak berjengit kaget dengan apa yang dilakukan Diftan. "Mas," "Aku mohon dibiarkan begitu saja." Illyana bisa terasa kalau ia sangat nyaman sekali dalam pelukan penghargaan. 'Rupanya seperti ini rasanya dipeluk suami.' Batinnya dalam hati. "Katakan padaku, apa yang kamu tidak mau membagi yang sering kamu lakukan." ucap Diftan setelah merenggangkan pelukannya. "Maksud Mas Diftan?" tanya Illyana dengan jantung yang berdegub kencang. Diftan meraih tangan kedua Illyana untuk ia pegang. "Maukah kau mengajari bagaimana menggunakan shalat, Illyana tidak langsung menjawab, tetapi ia masih mencerna kata-kata Diftan. "Jawab aku Illyana, maukah membimbingku untuk menjadi suami dan ayah yang baik," Illyana tidak menjawab namun airmata sudah mengalir di kedua sudut pandang. "Aku memang tidak bisa menjauh dari apa-apa tentang perasaanku padamu, tapi aku akan menjadi lebih baik lagi. Maukah kau bersabar untukku Illyana?" tanya Diftan lagi memandang lekat wajah Illyana. "Iya Mas, aku mau." ucap Illyana mengangguk dan Diftan kembali merengkuh tubuh mungilnya. "Mas, bisa tolong lepasin segera," ucap Illyana mendongak menatap Diftan. "Kenapa ,?" "Aku mau tahajud tadi Mas, tapi karena kamu peluk wudlu ku jadi batal dan aku harus berwudlu kembali." " Illyana mengangguk dan tersenyum. "Terimakasih Ya Allah, bawa memang maha Pemurah dan Pengasih, meskipun Mas Diftan belum meminta cintau, tapi aku sangat bersyukur harus membukakan kemenangan demi kebahagiaanku di sisinya. Berkahi setiap langkah kami ya Rabb, anugrahkan cinta, katakanlah hakiki di antara kami, cinta yang akan membawa kebaikan dan cinta yang menjadi alasan untuk lebih dekat denganmu. " batin Illyana dalam hati. ~~~~~~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN