Carolina yang bekerja di tempat lain setelah bekerja di restoran milik Alrico melihat Miguel datang ke bar Hazelnut Marina. Pria itu tersenyum pada wanita itu. Sebenarnya Carolina tidak suka Miguel datang dan ia juga sedang malas bicara dengannya. Ia pun terpaksa menyambut kedatangannya dengan senyuman yang dipaksakan.
"Miguel, aku tidak tahu kamu akan datang ke sini menemuiku."
Carolina berpura-pura memasang wajah gembira.
"Aku sengaja tidak memberitahumu dulu, karena aku ingin memberikanmu kejutan"
Miguel duduk di depan meja bar dan Carolina segera memberikan segelas bir padanya.
"Aku senang kamu datang ke sini menemuiku."
"Akhir-akhir ini kita jarang bertemu."
"Maaf aku sedang sibuk dengan pekerjaanku."
"Aku mengerti."
"Setelah kamu menikah denganku nanti, kamu tidak perlu bekerja di tempat seperti ini lagi. Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu."
"Semua keinginanku?"
"Semua keinginanmu."
Carolina memasang senyuman semanis mungkin pada Miguel. Ia ingin pria itu semakin tergila-gila kepadanya, sehingga ia akan mudah memanfaatkannya.
"Kalau begitu aku sudah tidak sabar ingin menikah denganmu."
"Sepertinya kamu harus sedikit bersabar dulu sebelum menikah denganku. Setidaknya tunggu tiga tahun lagi."
"Apa?! Itu terlalu lama."
"Aku tahu, tapi kalau saat ini aku menikah denganmu pasti orang tuaku tidak akan mengizinkannya. Selain itu usiaku baru 18 tahun dan aku masih kuliah. Aku sekarang baru kerja paruh waktu di hotel milik ayahku, tapi kamu tidak perlu khawatir, aku akan mencoba memberikan apa pun yang kamu inginkan."
Carolina mencoba mengerti. Harapannya untuk hidup mewah dan tinggal di tempat yang lebih bagus secepatnya tidak bisa terwujud dalam waktu dekat. Ia harus kembali bersabar tinggal 3 tahun lagi di rumahnya yang kecil dan sangat jelek. "Ini sungguh menyebalkan,"pikirnya. Sebenarnya Carolina ingin Alrico menjadi pasangan hidupnya sekarang, tapi pria itu lebih susah ia dapatkan, jadi dari pada ia tidak mendapatkan apa pun terpaksa ia memilih Miguel.
"Aku akan menunggumu."
"Terima kasih, sayang."
Miguel menghabiskan bir yang ada di gelasnya. Setelah itu ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam saku jas yang ia kenakan, lalu memberikannya pada Carolina.
"Apa ini?"
"Buka saja!"
Carolina dengan antusias membuka kotak itu dan ia begitu sangat senang setelah melihat isinya. Sebuah gelang berlian. Ia langsung memakai gelang itu.
"Apa kamu suka?"
"Tentu saja aku suka. Terimakasih."
Carolina terus memandangi gelangnya. Ia tidak menyangka akan mendapatkan hadiah semahal ini dari Miguel. Ia tersenyum senang kalau ia tidak salah mendekati Miguel. Pria itu akan memberikan lebih banyak lagi dari ini.
"Malam ini aku ingin kencan denganmu."
"Tentu saja, tapi besok malam saja. Kamu bisa menjemputku pulang besok malam."
"Baiklah. Sekarang aku mau pulang dulu. Sampai jumpa!"
Carolina mengecup bibir Miguel sebelum pria itu pergi.
***
Alrico tersenyum-senyum saat melihat Marinela memakan semua makanan yang tersaji di meja. Entah kenapa ia jadi suka memandangi kepolosan wajah gadis kecil itu. Suatu hari nanti gadis kecil itu akan tumbuh dewasa dan senyumannya akan menjadi milik suaminya kelak.
"Jika ingin tambah lagi, aku akan menyuruh pelayan membawakannya lagi."
"Ini sudah cukup. Perutku masih kecil, jadi belum bisa menampung banyak makanan."
Alrico tersenyum sambil menahan tawanya. "Baiklah. Aku akan membungkuskan makanan untuk Ibumu dan Kakakkmu."
"Pasti mereka akan senang."
Para pelayan memperhatikan mereka dengan rasa penasaran.
"Siapa gadis kecil itu?"tanya seorang pelayan.
"Pacarnya mungkin,"jawab pelayan lainnya.
"Jangan bicara sembarangan! Bisa jadi itu Putrinya?"
"Itu tidak mungkin. Mr. del Castellar belum menikah. Lagi pula usia anak itu sudah besar."
"Mungkin keponakannya."
"Kemungkinan itu lebih tepat."
Semua pelayan menyetujuinya kemungkinan itu.
Dante yang melihat para pelayan sedang menggosipkan Alrico lagi langsung membubarkannya.
"Kalian bekerja di sini sebenarnya untuk bergosip atau melayani tamu?"tanyanya dengan kesal.
Para pelayan langsung membubarkan diri dan Dante menggeleng-gelengkan kepalanya. Marinela sudah merasa kenyang setelah menghabiskan jus jeruknya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursinya.
"Terima kasih banyak untuk makanannya."
"Sama-sama."
"Apa kita bisa pulang sekarang? Aku tidak ingin Ibuku mencemaskanku, karena aku tidak berada di rumah."
"Tentu saja."
Marinela menggeser kursinya ke belakang dan bangkit berdiri.
"Apa Ibu akan memarahiku ya?"
"Kenapa Ibumu harus marah?"
"Karena aku pergi tanpa izin darinya."
"Jika Ibumu memarahimu, aku akan bicara dengannya."
Marinela mengangguk. Sesampainya di tempat parkir restoran, Marinela langsung masuk ke dalam mobil, tapi Alrico tidak segera masuk, karena ia baru saja melihat seseorang yang ia kenal dan diketahui sudah meninggal. Ia terkejut dan wajahnya memucat seperti sedang melihat hantu.
"Ini tidak mungkin,"gumamnya.
Alrico mengedipkan matanya berkali-kali untuk menyakinkan ia tidak salah lihat. Tidak jauh darinya ia melihat kakek Martin baru saja masuk ke sebuah mobil. Kaki Alrico sama sekali tidak bisa bergerak seperti ada paku yang menancap di kakinya. Ia hanya bisa memandangi kepergian mobil yang membawa pria mirip kakeknya berlalu di depannya. Ia baru tersadar dari keterkejutannya setelah mendengar Marinela terus memanggil namanya.
"Kakak, kenapa berdiri terus di sana?"
Alrico masuk ke mobilnya dan duduk di kursi pengemudi.
"Maaf."
Alrico mulai menyalakan mesin mobilnya. Tubuhnya masih lemas dan tangannya agak gemetar. Ia menyakinkan dirinya sendiri kalau pria itu bukan kakeknya, tapi pria yang mirip dengan kakeknya. Orang yang sudah meninggal tidak mungkin bisa hidup lagi pikirnya. Ia mulai menjalankan mobilnya sepelan mungkin supaya Marinela bisa duduk dengan nyaman di kursinya.
Di sepanjang perjalanan, Alrico masih memikirkan pria yang mirip dengan kakeknya itu, sedangkan Marinela sedang asik melihat pemandangan dari jendela kaca. Saat mereka sudah meninggalkan jalanan utama dan memasuki jalan kecil menuju rumah Marinela, ia hampir saja menabrak kambing yang sedang lewat dengan mengerem mobilnya secara mendadak.
"Aduh,"teriak Marinela.
Alrico yang terkejut langsung melepaskan sabuk pengamannya dan memeriksa keadaan Marinela.
"Apa kamu baik-baik saja?"tanyanya dengan wajah cemas dan panik. "Apa kamu terluka?"tanyanya lagi.
"Aku baik-baik saja."
Alrico masih menatapnya cemas. "Benarkah kamu baik-baik saja?"
"Iya. Tadi kepalaku sedikit terbentur ke kaca mobil ."
Alrico memeriksa kepala gadis kecil itu dan merasa sangat lega tidak ada luka.
"Maafkan aku!"
"Kakak tidak perlu minta maaf."
"Tadi aku tidak berkonsentrasi mengemudi,"ujarnya dan masih merasa bersalah.
"Sepertinya Kakak sedang memikirkan sesuatu."
"Kamu benar."
Marinela yang menyadari Alrico yang merasa bersalah, ia mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Apakah Kakak tahu disekitar sini ada tempat memancing yang bagus?"
"Tidak tahu."
"Aku kadang-kadang pergi memancing ke sana. Ikannya banyak dan besar-besar. Apa Kakak mau pergi memancing bersamaku?'
"Boleh. Bagaimana kalau besok? Sekolahmu besok libur kan?"
"Iya."
"Besok pagi aku akan menjemputmu di rumah. Kita pergi berdua saja ya. Aku tidak ingin ada orang lain yang ikut."
Marinela mengangguk. "Aku akan menunggu Kakak datang menjemputku"
"Baiklah. Sekarang kita pulang."
Alrico kembali menjalankan mesin mobilnya. Carolina yang baru saja pulang dari bekerja dengan jalan kaki melihat Marinela keluar dari mobil mewah. Ia melambaikan tangan pada si Pengemudi mobil, lalu masuk ke dalam rumah. Carolina yang tadi sempat berhenti berjalan, sekarang mempercepat jalannya. Ia melihat adiknya berada di kamar sedang menyimpan barangnya di atas tempat tidur.
Pintu kamar menjeblak terbuka membuat Marinela terkejut melihat kakaknya sudah berdiri di depan pintu. Gadis kecil itu sudah merasakan aura kemarahan kakaknya. Ia melangkah mundur sampai membentur tempat tidur.
"Kakak."
"Tadi kamu diantar pulang oleh siapa? Dan kamu dari mana saja? Jam segini baru pulang pasti kamu akan dimarahi Ibu."
"Tadi aku diajak makan dan pulangnya aku diantar oleh Kakak Alrico."
"Apa?! Alrico?"
Marinela mengangguk dan menelan ludahnya dengan susah payah sambil memandang takut pada kakaknya.
"Maksudmu Alrico del Castellar?"
Marinela berpikir sejenak ia agak lupa nama belakang Alrico. "Sepertinya iya."
"Bagaimana kamu bisa mengenalnya?"
Marinela pun menceritakan bagaimana ia bisa mengenalnya.
"Jadi Alrico yang membeli semua pakaian, sepatu, dan tasmu?"
"Iya."
Carolina menyunggingkan sebuah senyuman. Marinela bisa ia manfaatkan untuk mendekati Alrico. "Jika kalian pergi bersama lagi, aku ikut denganmu."
Marinela memandang heran pada Carolina, karena tidak biasanya kakaknya itu tidak marah kepadanya. "Besok kami akan pergi memancing."
"Bagus. Aku akan ikut."
"Tapi...."
Carolina sudah pergi ke kamarnya dan tidak memberikan kesempatan padanya kalau mereka akan pergi berdua saja, karena ia baru ingat.
"Aduh bagaimana ini? Aku seharusnya tidak memberitahunya kalau aku akan pergi memancing besok dengannya, karena aku sudah janji pada Kakak hanya pergi berdua saja,"gumamnya.
Marinela mengigit bibir bawahnya.
***
Carlos mendatangi apartemen Virgina. Ia cukup terkejut saat pertama kali melihatnya setelah 5 tahun. Wanita itu tetap cantik dan tubuhnya menjadi semakin bagus dan seksi.
Virginia menyambut kedatangan Carlos dengan senyuman manis, lalu ia mempersilahkannya masuk.
"Kita harus bicara."
Virginia baru saja menutup pintunya. "Kita memang harus bicara. Silahkan duduk!"
"Sejak kapan kamu tinggal di sini?"tanyanya sambil menyapukan matanya keseluruh ruangan apartemen.
"Seminggu yang lalu."
"Kamu sudah melanggar kesepakatan kita untuk tidak saling menghubungi."
"Aku terpaksa melakukannya kalau tidak aku akan di penjara."
"Itu salahmu sendiri kenapa berhutang pada bank."
"Usahaku mengalami kegagalan, jadi aku bangkrut."
"Aku tidak bisa memberikan uang banyak untuk melunasi semua hutangmu itu. Aku juga masih memerlukan dana untuk usaha yang sedang aku bangun sekarang."
"Usahamu akan hancur seketika setelah mereka tahu siapa aku dan dan kamulah pembunuh ayah mertuamu."
"Kamu mengancamku dan memerasku?"
"Aku terpaksa melakukannya."
"Berikan aku uang! Urusan kita selesai."
"Kamu memamg wanita licik."
Carlos mengeluarkan cek dan menulis jumlah nominalnya. Virginia tersenyum penuh kemenangan. Ia tidak menyangka akan semudah itu mendapatkan uang darinya hanya menggunakan sedikit ancaman. Ia memandangi cek yang baru ia terima.
"Terima kasih. Kamu baik sekali."
"Jangan pernah ganggu aku lagi!"
"Apa kamu tidak ingin berhubungan lagi denganku?"
"Tidak."
Carlos beranjak pergi dengan kesal. Tentu saja Virginia pada akhirnya tidak akan mendapatkan apa pun. Ia masuk ke dalam mobilnya dan tidak lama kemudian beberapa orang masuk ke apartemen Virgina dan menembak wanita itu beberapa kali dengan pistol yang suaranya sudah diredam. Salah satu dari mereka mengambil cek di tangan Virgina yang diberikan oleh Carlos. Setelah selesai mereka pergi dan menemui Carlos di tempat yang sudah disepakati.
"Ini ceknya."
"Apa wanita itu sudah mati?"
"Dia sudah mati."
"Kerja kalian bagus dan ini uang bayaran untuk kalian. Sekarang kalian boleh pergi."
Carlos merasa senang rencana untuk membunuh Virgina berlangsung dengan lancar. Ia tersenyum, lalu pergi dengan mobilnya. Tidak ada lagi orang yang tahu tentang dirinya yang sudah membuat Martin meninggal. Ia melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 9 malam.
***
Marinela terbangun di suatu pagi yang cerah dan mentari pagi menembus ke jendela kamarnya yang mungil. Hembusan angin yang dingin mengayun-ayunkan tirai jendela kamarnya, ketika Marinela membuka jendela. Setelah membersihkan diri dan keluar kamar, ia menemukan rumahnya dalam keadaan ceria. Terdengar suara nyanyian riang di dapur disertai bau harum masakan ibunya. Marinela begitu senang ketika melihat ibunya sedang bernyanyi.
Marinela dan Carolina sudah berpakaian rapi. Carmelita tercengang melihat keduanya yang terlihat akur.
"Apa kalian akan pergi keluar?"
"Oh itu. Ya kami akan pergi keluar bersama,"jawab Carolina dengan senyuman manis.
"Oh ya. Kemana?"
"Kami akan memancing,"jawab Marinela.
"Tidak biasanya kalian pergi mancing bersama."
"Sebenarnya kami pergi bertiga dengan Kak Alrico,"ucap Marinela.
"Apa Ibu boleh ikut?"
"Ibu di rumah saja ya. Ini acara anak muda,"ucap Carolina.
"Baiklah. Ibu akan tetap di rumah menunggu kalian pulang."
Carmelita sangat senang kedua anaknya terlihat akur dan baginya ini pemandangan yang jarang terjadi. Ia berharap kedua anaknya akan selalu rukun. Setelah sarapan pagi, mereka mendengar ketukan di pintu. Marinela berlari dan langsung membuka pintu.
"Apa kamu sudah siap pergi?"tanya Alrico.
"Iya. Aku sudah siap. Dan ada yang harus aku beritahu."
"Apa?"
"Kakakku ingin ikut."
Carolina muncul di belakang Marinela.
"Kamu?"tanyanya terkejut.
Carolina tersenyum lebar. "Hai, Alrico! Kita bertemu lagi."
"Apa kalian berdua sudah saling kenal?"
"Ya begitulah,"jawab Carolina. "Ayo kita pergi!"
Alrico masih diam di tempat dan masih tidak percaya kalau Carolina adalah kakaknya Marinela.
"Kakak kenapa diam saja?"
"Ah iya."
Alrico berjalan ke mobilnya. Ia membukakan pintu depan, lalu Carolina masuk.
"Kamu duduk di belakang. Marinela yang duduk di depan,"ucapnya dengan suara dingin.
Carolina yang kesal keluar dan duduk di belakang. Marinela melihat kekesalan kakaknya. Ia takut akan kena marah kakaknya lagi.
"Aku tidak apa-apa duduk di belakang."
"Masuklah!"
Marinela menuruti kata-kata Alrico, lalu menutup pintu. Ia masuk dan membantu gadis kecil itu memasang sabuk pengaman. Carolina yang duduk di belakang menunjukkan wajah tidak suka, karena Alrico lebih perhatian terhadap adik angkatnya.