Mereka kemudian turun dari mobil dan sisanya akan berjalan menuju tempat memancing. Marinela merasa sangat senang bisa pergi jalan-jalan bersama dengan Carolina, karena ini pertama kalinya kakaknya itu mau pergi bersamanya. Ia berharap kakaknya itu tidak membencinya lagi. Alrico membawa ransel yang berisi makanan dan keperluan memancing. Marinela dan Carolina membantu membawa alat memancing.
Mereka kemudian menuruni bukit landai hijau menuju danau melalui hutan birch dan di bawah pohon birch mulai banyak ditumbuhi bunga bluebells ungu. Marinela tergoda untuk memetiknya dan menyimpan bunga itu di vas yang berada di kamarnya, tapi dia mengurungkan niatnya dan hanya menciumi bunga-bunga itu. Alrico sempat khawatir, karena Marinela berjalan memisahkan diri memasuki hutan. Marinela keluar dari barisan hutan birch menuju jalan setapak di mana Alrico dan Carolina sedang menunggunya. Carolina memasang wajah kesal.
"Jangan lakukan itu lagi! Bagaimana kalau kamu tersesat di sana dan kami tidak tahu."
"Maafkan aku!"
"Ya sudah. Sekarang tunjukkan jalan menuju danau."
Marinela mengangguk. Di sepanjang perjalanan, Alrico dan Marinela berbicara, bercanda, dan tertawa. Carolina yang berjalan di belakang mereka tidak suka dengan keakraban yamg ditunjukkan oleh mereka berdua. Ia heran kenapa Alrico selalu bersikap ramah, hangat, dan baik pada adiknya itu. Ia berharap berada di posisi Marinela. Carolina terus memikirkan cara supaya ia dan Alrico dapat berduaan tanpa ada Marinela yang menganggu mereka. Akhirnya mereka tiba di danau.
"Kita sudah sampai,"seru Marinela senang.
Marinela menyimpan alat pancingnya di atas rumput dan berlari-lari di padang rumput yang luas dengan riang gembira, lalu berjalan menuju tepi danau. Alrico mengambil alat pancing yang ditinggalkan oleh Marinela.
"Tempat ini indah,"komentar Alrico sambil memandang ke sekelilingnya.
"Tentu saja. Pasti Kakak akan menyukainya."
Alrico menggelar alas dan menyimpan semua barang di atasnya, lalu mereka naik perahu dan Alrico yang mendayung sampai ke tengah-tengah danau.
"Apa kalian yakin perahu ini aman? Perahu ini sudah tua,"kata Carolina dengan wajah tidak yakin.
"Sepertinya aman,"jawab Marinela.
"Kalau kita sampai tenggelam kamu yang bertanggung jawab,"ujar Carolina dengan tatapan mengancam.
"Aku yakin kita tidak akan tenggelam. Perahu ini masih kuat,"kata Alrico yang sedang mempersiapkan alat pancingnya.
Alrico memberikan alat pancing yang sudah siap pada Marinela dan gadis kecil itu langsung melemparkannya ke danau. Ia duduk menunggu dan berharap ada ikan yang memakan umpannya. Alrico juga memberikan alat pancing pada Carolina. Gadis itu berusaha bersikap manis dan sedikit bersikap menggoda, tapi Alrico sepertinya tidak mempedulikannya dan hal itu membuat Carolina kesal. Saat itu suasana danau terlihat sepi hanya seorang pria yang sedang memancing di seberang danau. Marinela tiba-tiba merasa mengantuk tepat pada saat alat pancingnya bergerak cepat membuat perahu yang mereka tumpangi bergerak dan seperti akan oleng.
Carolina sudah merasa ketakutan akan terjatuh ke danau. "Kalian berdua bisakah sedikit tenang. Aku tidak ingin terjatuh."
Alrico dan Marinela masih berusaha menggulung tali pancing dan akhirnya seekor ikan cukup besar tertangkap.
"Kamu hebat bisa mendapat ikan yang besar."
Marinela memasukkannya ke ember yang sudah di isi air dan tak lama kemudian alat pancing Alrico dan Carolina bergerak. Mereka juga mendapatkan ikan yang cukup besar. Setelah beberapa kali mereka memancing, mereka sudah mendapatkan ikan banyak.
Alrico kembali mendayung perahu sampai ke tepi. Ia membantu mereka turun, lalu memakan bekal yang sudah disiapkan Alrico.
"Sandwich ini benar-benar sangat enak,"ujar Marinela dengan mulut yang masih dipenuhi oleh makanan.
"Kamu boleh mengambilnya berapa pun yang kamu mau, karena aku membawa banyak."
Setelah makan sandwich, Carolina menarik Marinela ke suatu tempat di balik pohon.
"Kamu harus membantuku,"kata Carolina.
"Membantu apa?"
"Supaya aku lebih dekat dengan Alrico."
"Kakak menyukainya?"
"Ya."
"Bagaimana aku bisa membantumu?"
"Cukup tinggalkan kami berdua saja dan kamu menyingkir jauh dari kami."
"Baiklah."
Marinela dan Carolina kembali duduk. Alrico sedang meminum jus jeruknya sambil memandangi pemandangan di depannya. Tidak sengaja Marinela menumpahkan jus jeruknya dan mengenai celana panjang yang dipakai Carolina dan wanita itu langsung geram dan hendak memarahi Marinela, tapi karena ada Alrico, ia tidak jadi memarahinya. Ia harus berpura-pura menjadi kakak yang baik.
"Lain kali hati-hati membawa gelasnya."
"Iya."
Setelah meminum jus jeruknya, Marinela pergi.
"Kamu mau kemana?"tanya Alrico.
"Aku mau berjalan-jalan di sekitar sini. Tidak lama."
"Jangan pergi jauh-jauh!
"Iya."
Setelah Marinela pergi, Carolina duduk di samping Alrico.
"Aku ingin minta maaf, jika selama ini aku sudah tidak bersikap sopan padamu."
"Kamu tidak perlu minta maaf, karena tidak ada yang perlu dimaafkan,"ujarnya dengan suara dingin.
"Sebenarnya aku ingin kita berteman. Aku tahu sepertinya kamu tidak menyukaiku, tapi mungkin suatu hari nanti kamu bisa menyukaiku sebagai seorang teman."
Angin berhembus dengan kencang membuat rambut mereka berantakan.
"Sebaiknya kita mencari Marinela."
Alrico berdiri dan Carolina merasa kecewa Alrico menolak lebih dekat dengannya. Pria itu membereskan semua barangnya dan mencari Marinela. Ia menemukan gadis kecil itu sedang berdiri di tengah-tengah padang rumput, lalu mereka lebih memilih menghabiskan waktu dengan menjelajah, mengamati pohon, dan bunga-bunga sampai membantu mengembalakan domba-domba di lapangan hijau terbuka.
Pada awalnya Alrico dan Marinela tidak ada masalah saat mengembalakan domba-domba itu, tapi ketika domba-domba itu akan menyeberangi jalan, tiba-tiba ada motor yang lewat dan membuat mereka ketakutan. Domba-domba itu memisahkan diri sehingga mereka harus berusaha keras membuat domba itu berkumpul kembali, sedangkan Carolina lebih memilih berteduh di bawah pohon. Setelah setengah jam akhirnya mereka berhasil mengumpulkan semua dombanya, tapi ketika Marinela menghitungnya satu domba telah hilang.
"Bagaimana ini? Kita pasti akan mendapatkan masalah."
"Kamu tunggu di sini. Aku akan mencarinya."
Marinela mengangguk dan menjaga domba-domba yang berkumpul di sekelilingnya.
Setelah berputar-putar mencarinya, Alrico dapat bernapas lega. Domba yang tengah dicarinya sedang memakan rumput di dekat aliran air danau. Ia tidak menyangka kalau mengembalakan domba tidak semudah yang dilihatnya. Domba-domba itu akhirnya masuk ke dalam kandang dan pemilik domba sangat berterima kasih, karena sudah membantunya. Mereka diundang untuk minum teh di rumahnya sebagai rasa terima kasih.
"Hampir saja kita kehilangan domba,''kata Marinela dalam perjalanannya menuju mobil.
"Seharusnya kalian tidak perlu membantu mengembalakan domba-domba itu kalau hilang kalian yang harus bertanggung jawab."
"Tapi itu hal yang paling menyenangkan yang pernah aku lakukan,"kata Alrico. "Jika domba itu hilang aku akan menggantinya."
"Terserah kalian saja."
Mereka kemudian tiba diparkiran mobil dan masuk. Sepanjang perjalanan Marinela dan Alrico bernyanyi sambil bersenda gurau dan tidak terasa mereka sudah tiba di rumah. Marinela dan Carolina turun dari mobil.
''Kakak, sampai jumpa lagi!''
"Sampai jumpa lagi!"
Sesampainya di rumah Marinela langsung menemui ibunya di belakang rumah yang masih sibuk mengurus tanamannya. Marinela membantu menyirami dan membereskan alat-alat berkebun ibunya. Setelah makan malam, Marinela dan ibunya duduk diteras rumah sambil menikmati pemandangan malam desa dan juga langit yang dipenuhi bintang, sedangkan Carolina pergi keluar.
"Bagaimana acara memancingmu tadi?"
"Menyenangkan."
"Ibu senang kalau kamu menikmatinya."
"Ada sesuatu yang ingin Ibu berikan padamu."
"Apa?"
Carmelita memberikan sebuah buku kecil bersampul coklat yang terkunci.
"Kamu boleh membukanya nanti setelah kamu dewasa."
"Kenapa?"
"Ibu tidak bisa menjawabnya sekarang. Ini adalah kunci buku ini. Jaga baik-baik ! Jangan sampai hilang!"
Carmelita memberikan kunci yang menjadi liontin kalung. Ia memakaikan kalung itu di leher Marinela dan memasukkannya ke dalam kaus. Angin di luar semakin berhembus dengan kencang dan udara sudah semakin dingin. ''Sebaiknya kita masuk ke dalam. Ibu tidak ingin kamu masuk angin dan jatuh sakit."
Marinela dan Carmelita masuk ke rumah.
***
Keesokan siangnya, penduduk Cartarbella dikejutkan oleh berita di TV tentang pembunuhan seorang wanita disebuah apartemen. Pembunuhan itu baru diketahui hari kedua setelah terjadi pembunuhan. Wanita yang bernama Virgina ditemukan tewas dengan luka tembak di kepala. Para polisi sedang menyelidiki kasus pembunuhan.
Carlos dan istrinya sedang menonton berita itu. "Kasihan sekali wanita itu. Orang yang tega membunuhnya sangat kejam, bukan begitu Carlos?"
"Eh i-iya. Pelakunya sangat kejam."
Berita itu juga menampilkan wawancara dengan beberapa penghuni apartemen. Mereka mengatakan kalau Virgina baru seminggu tinggal di apartemen itu dan tidak terlalu mengenalnya, karena wanita itu jarang keluar dan bertegur sama dengan penghuni apartemen lainnya. Kamera CCTV yang terpasang di apartemen itu sudah rusak kata berita itu lagi.
Carlos mematikan TV.
"Kenapa kamu mematikan Tvnya?"tanya Samantha.
"Aku tidak ingin melihat berita pembunuhan. Sebaiknya aku pergi jalan-jalan saja."
Carlos berdiri dan meninggalkan Samantha yang terheran-heran melihat suaminya. "Ada apa dengan dia?"gumamnya.
***
Carolina yang sudah menghabisksn malam dengan Miguel di apartemennya, melilit tubuhnya yang telanjang dengan selimut. Miguel masih tidur. Ia pergi menuju kamar mandi dan menguyur tubuhnya dengan air dingin. Setelah itu ia berpakaian dan meninggalkan apartemen.
Matahari sudah bersinar dengan sangat terik. Carolina memutuskan untuk ke bar untuk menenangkan dirinya. Ia memesan bir dingin dan meminumnya pelan-pelan. Tidak jauh dari Carolina duduk, Carlos sedang meminum vodka. Ia nampak cemas setelah pembunuhan Virgina diberitakan dimana-mana berharap mereka tidak tahu siapa pelakunya. Jika mereka sampai tahu, habis sudah riwayatnya.
Secara tidak sengaja Carlos melihat Carolina. Jiwa playboy laki-laki itu kembali bangkit. Wanita itu sangat cantik dan seksi. Ia mendekati Carolina dan duduk di sampingnya.
"Sendirian?"tanya Carlos.
Carolina menatap pria itu meskipun terlihat agak tua, tapi masih terlihat tampan. Pakaian yang dikenakannya cukup bagus dan nampak mahal. Jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangannya. Mungkin pria ini lebih kaya dari Miguel pikirnya. Ini kesempatan untuknya. Tanpa membuang waktu lagi Carolina memperkenalkan dirinya.
"Namamu bagus."
"Terima kasih."
Carolina memasang senyuman menggodanya.
"Jika kamu ada waktu, maukah kamu menemaniku?"
"Tentu saja, tapi itu tidak gratis."
Carlos tersenyum di balik gelasnya. "Aku tahu itu."
Carlos membayar minuman Carolina dan wanita itu tercengang melihat isi dompet Carlos. Di dalam dompetnya terdapat banyak uang dan kartu kredit. Ia senang ada pria kaya lagi yang mendekatinya dan tidak menolak ketika pria itu mengajaknya pergi. Pria itu membelikan macam-macam barang mahal dan mewah. Carolina terlihat sangat senang. Setelah puas berbelanja, mereka melanjutkan kencan mereka di hotel.
"Kamu sangat cantik,"bisik Carlos dengan suara serak.
Carlos tidak tergesa-gesa menjaga tatapannya tetap pada mata Carolina. Tangan Carlos mulai bergerak liar menyusup masuk ke dalam jubah handuk mandi wanita itu. Tangannya mulai menjelajah tubuh mulus Carolina dan menemukan pusatnya yang lembut dan lembap dengan ibu jarinya. Berhati-hati agar tidak memasuki Carolina, karena hal itu akan memberi banyak kenikmatan untuknya. Tangan Carlos dengan lihai meraba, mengitari, dan menelusurinya. Carolina mendesah berkali-kali membuat Carlos semakin b*******h, lalu tangannya bergerak naik ke punggung wanita itu berusaha melepaskan bra dan melepas tali jubah mandi.
Carlos tercengang memandangi pemandangan indah di depannya. Ia membenamkan wajahnya di d**a wanita itu, menghirup aroma manis yang keluar dari sana, dan menjilati ujung kemerahan yang sudah tegak. Tarikan napas Carolina yang kasar menyenangkannya dan Carlos menikmati setiap sentuhan terkecil wanita itu. Pusat gairah Carolina adalah tempatnya ingin berada dengan beban berat di antara kedua kakinya.
Kelembapan tubuh Carolina menandakan ia telah siap. Carlos menyatukan k*********a ke inti kewanitaan wanita itu. Carolina mendesah dan kedua pahanya membelit pinggul Carlos. Di luar, hujan tiba-tiba turun dengan deras, memukul-mukul daun jendela. Mereka bergerak mengikuti irama dan Carlos mulai menciumi bibir wanita itu yang meninggalkan jejak-jejak panas di tubuh muda Carolina. Sejuta kenikmatan menyerbu Carolina saat itu juga. Desahan-desahannya terus keluar dari mulutnya. Bibir dan tangan Carlos menyeretnya ke dalam angin badai sensasi yang belum pernah dirasakannya.
Pinggul Carolina bergerak naik turun mengimbangi gerakan Carlos. Sementara itu bibir mereka berdua berpagutan dengan liar dan saling bertaut. Puncak dadanya mengeras di bawah sentuhan Carlos. Pria itu menundukkan kepalanya dan mengatupkan mulutnya pada puncak p******a merah jambu dan mengisapnya. Tekanan semakin membesar di dalam diri Carolina dan merasa penuh. Bibir Carlos meninggalkan payudaranya. Tiba-tiba Carlos dan Carolina mengerang. Sesuatu meledak di dalam dirinya, lalu pria itu roboh ke atas tubuh Carolina, gemetar dengan napas terengah-engah. Carlos menyelipkan lengannya ke belakang punggung Carolina.
"Kamu hebat, Carolina. Lain kali kita melakukannya."
"Tentu saja."
Carolina tersenyum lebar.
***
Seorang pria berdiri di balkon yang menghadap ke laut sedang menikmati hembusan angin sejuk yang menerpa tubuhnya. Entah sudah berapa lama ia berdiri sana. Tubuh tua rentanya ditopang oleh tongkat berjalan.
"Tuan sebaiknya Anda masuk."
"Biarkan aku di sini sebentar lagi."
"Baiklah."
Deburan ombak membentur-bentur tebing dan Di atas laut burung-burung camar berterbangan dan paruhnya berkilat keperakan di bawah sinar matahari. Salah satu burung camar itu berhasil menangkap ikan dan langsung memakannya.
Pria tua itu berjalan masuk ke kamarnya dengan langkah tertatih, lalu duduk di atas tempat tidur. Ia harus sedikit bersabar lagi untuk membuat perhitungan dengan Carlos. Seorang pelayan perempuan masuk.
"Waktunya Anda minum obat, Tuan Martin."
Pria itu mengangguk.