Miguel membungkam mulut Carolina dengan ciuman penuh gairah yang rakus dan liar. Sementara melupakan amarah yang membentengi dirinya, tubuh Carolina yang berkhianat mulai melunak, dan alarm peringatan di otaknya diredam oleh debar jantungnya. Bibir Miguel yang hangat bergerak di atas bibirnya. Sensasi tubuh keras pria itu menekan tubuhnya. Tahu dirinya sedang bermain api, Carolina membiarkan Miguel menciumnya, membiarkan dirinya merasakan kesenangan terlarang karena tidak ada gunanya ia melawan kekuatan Miguel yang besar. Selain itu ia tiba-tiba memiliki rencana lain yang lebih gila. Ia akan memanfaatkan Miguel untuk sementara waktu sebelum ia mendapatkan Alrico dan jatuh ke pelukannya.
Miguel melepaskan ciumannya.
"Maafkan aku!"kata Carolina. "Aku akan menerimamu sebagai kekasihku."
"Benarkah?"
"Iya."
"Bukannya kamu tertarik pada Alrico?"
"Setelah aku pikir-pikir, aku tidak benar-benar tertarik padanya."
Miguel menatapnya tidak percaya, tapi Carolina segera menyakinkannya. "Tadi aku hanya ingin mengujimu, apa kamu benar-benar tertarik padaku dan menginginkanku sebagai kekasihmu dan kamu nekat menculikku ke sini. Itu sudah cukup membuktikan kalau kamu sungguh-sungguh mencintaiku,"kata Carolina berbohong.
"Aku memang mencintaimu."
"Baiklah aku percaya. Sekarang cium aku lagi,"tantangnya penuh hasrat.
Miguel tersenyum senang. Bibirnya menelusuri pipi Carolina, nenyapukan kecupan sepanjang lekuk leher dan telinga wanita itu, lalu Carolina menyambut bibir Miguel dengan bibirnya sendiri. Sementara tangannya merayap naik ke bahu pria itu. Bibirnya merekah di bawah desakan bibir sensual Miguel dan pada saat itu juga lidah Miguel menerobos masuk, menguasai mulutnya, dan menjadikan Carolina sebagai miliknya. Mereka tenggelam dalam lautan gairah. Carolina mengerang sewaktu tangan Miguel mulai menjelajah, mencari, mengelus sampai bagian dirinya yang paling pribadi terasa berdenyut-denyut. Pinggulnya bergerak-gerak gelisah dan menuntut.
Seketika pelukan Miguel mengerat, menekan tubuh Carolina ke tubuhnya sementara tangannya yang bebas menangkup buah d**a wanita itu. Ibu jarinya mempermainkan puncaknya yang sensitif. Lidahnya bergerak liar di dalam mulut Carolina. Direngangkannya kaki wanita itu dan diletakkannya di atas pahanya sendiri. Miguel telah siap. Ia memandu dirinya dan memenuhi tubuh wanita itu dengan tubuhnya sendiri. Kabut gairah menyelimuti mereka berdua. Carolina mengerang dan Miguel tidak membuang-buang waktu lagi. Ia mereguk dengan segala kekuatannya hingga kedua tubuh mereka menyatu.
***
Suara tamparan yang sangat keras mendarat di wajah Carolina. Gadis itu menggeram marah pada ibunya. Seumur hidupnya ibunya tidak pernah menamparnya.
"Kenapa Ibu menamparku?"
"Kamu pantas mendapatkannya, karena kelakuanmu itu sudah membuat kesabaranku habis. Dari mana saja kamu? Pagi baru pulang. Semalam Ibu sangat mencemaskanmu,"teriak Carmelita marah.
"Ini bukan urusan Ibu." Carolina balas berteriak, lalu pergi ke kamarnya, tapi Carmelita menahannya.
"Kita belum selesai bicara dan tentu saja ini jadi urusan Ibu. Kamu adalah putriku, jadi aku harus tahu kemana kamu pergi."
Gadis itu menatap ibunya dengan enggan. "Aku lelah dan ingin istirahat dan aku bukan anak kecil lagi."
"Apa kamu semalam mabuk?"
Carolina memutar bola matanya dan mendesah kesal. "Semalam aku agak mabuk."
Carmelita nampak sangat sedih dan kecewa pada putrinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa supaya Carolina bisa menjalani hidupnya dengan benar.
"Kenapa kamu jadi seperti ini?"
"Ini semua gara-gara Ibu. Kalau saja Ibu bisa memberikan kehidupan yang layak untukku mungkin aku tidak akan seperti ini."
"Seharusnya kamu bersyukur dengan apa yang kamu punya."
"Dengar! Saat ini aku sedang tidak ingin mendengar ceramah Ibu. Simpan saja semuanya atau buang saja."
Carolina pergi ke kamarnya dan Carmelita berusaha mencegahnya, lalu gadis itu mendorong ibunya sampai terjatuh. Marinela yang sejak dari tadi mendengarkan pertengkaran mereka di kamarnya, keluar dari kamar.
"Kakak jangan dorong Ibu dan jangan marah-marah pada Ibu."
"Anak kecil seperti kamu tahu apa urusanku dan Ibu. Sana pergi."
Carolina mendorong Marinela sampai terjatuh dan tangan gadis itu membentur kaki kursi. Ia meringis kesakitan sambil memegangi tangannya.
"Jangan kasar pada adikmu!"teriak ibunya.
"Dia bukan adikku."
Carolina masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan dibanting keras. Marinela mulai menangis.
"Kenapa Kakak jahat pada kita?"
Carmelita memeluk Marinela dan mengusap-usap punggungnya. "Sudah jangan menangis!"
"Kenapa Kakak selalu bilang aku bukan adikknya?"tanyanya sambil terisak menangis.
"Jangan dengarkan kata-katanya! Kamu kan tahu kalau Kakakmu sedang marah akan selalu bilang begitu."
"Apa Kakak tidak menyayangiku?"
Carmelita menatap putrinya dengan pandangan sedih. "Itu tidak benar. Carolina menyayangimu."
"Benarkah?"
"Iya."
Carmelita menghapus air mata Marinela, lalu tersenyum. "Sekarang kita sarapan pagi. Sebentar lagi kamu pergi ke sekolah."
"Apa hari ini aku bisa tidak pergi ke sekolah?"
"Kenapa? Apa kamu ada masalah di sekolah?"
Marinela menunduk sedih, lalu Carmelita mengangkat dagu putri kecilnya. "Katakan ada apa?"
"Teman-temanku di sekolah sering mengejekku, karena pakaian dan sepatuku jelek, karena banyak tambalan."
Carmelita kembali memeluk putrinya. "Maafkan Ibu yang belum bisa memberikanmu pakaian dan sepatu baru."
"Aku mengerti, jadi Ibu tidak perlu minta maaf."
"Kamu memang anak yang baik."
Dielusnya kepala Marinela dengan sayang. Carmelita selalu merasa bersalah menyimpan identitas keluarga putri kecilnya. Andai saja Marinela bersama dengan keluarga yang sebenarnya mungkin gadis kecil itu hidupnya tidak akan pernah kekurangan. Ia akan memiliki kamar yang bagus, pakaian, dan sepatu yang bagus, sehingga Marinela tidak diejek oleh teman-temannya. Penghasilannya sebagai buruh petani anggur hanya bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Ia bahkan tidak tahu di mana keluarga Marinela sekarang.
"Kita sarapan pagi sekarang dan kita pergi bersama-sama."
Marinela mengangguk. Ia memakan rotinya dengan lahap.
***
Di perkebunan anggur Castell de Lacati Granabas, Blatzar Sarmiento duduk termenung di pinggir jendela kamarnya sambil memegangi selembar foto. Ia mengelus foto itu dan tatapannya mengarah pada seorang bayi perempuan berusia enam bulan yang sedang digendong oleh Carola. Sebelum meninggal 10 tahun yang lalu, putrinya sempat mengirimkan selembar foto cucu perempuannya, Marinela. Ia sangat menyesal, karena sudah mengusir putri satu-satunya. Demi menebus rasa bersalahnya, ia menyewa seorang detektif untuk mencari keberadaan cucu perempuannya.
Anda saja dulu ia merestui hubungan Carola dan Alexandre pasti putrinya sampai sekarang masih hidup.
"Kalau bayi ini masih hidup pasti dia sekarang sudah besar, tapi sayang bayi ini telah hilang. Selama 10 tahun ini, aku sudah berusaha mencarinya, tapi pencarianku terasa sia-sia."
"Marinela akan segera ditemukan. Kita hanya perlu bersabar sedikit lagi,"kata Yolanda, istrinya.
"Selama ini aku sudah banyak bersabar,"ucap Baltazar kesal.
Dua butir air mata mengembang di mata Baltazar, bergetar di bulu mata hitamnya yang lebat, lalu menetes ke pipinya. Yolanda hanya terdiam mendengar suaminya berbicara. Ia merasa sangat kasihan kepada Baltazar yang terus bersedih atas apa yang terjadi pada Carola, suaminya, dan cucu mereka. Ia juga sedih telah kehilangan mereka. Ia mengelus pundak suaminya. Yolanda senang suaminya telah menyadari kesalahan yang diperbuatnya di masa lalu dan menyesalinya.
"Aku tidak pernah putus harapan. Marinela akan ditemukan cepat atau lambat. Cucu kita baik-baik saja disuatu tempat."
"Aku harap juga seperti itu dan semoga ia dirawat oleh keluarga yang baik dan menyayanginya."
Baltazar menghapus air matanya. "Aku selalu menunggu hari itu tiba."
Yolanda memeluk suaminya.
"Aku ingin menemui putri kita."
"Baiklah jika itu yang kamu inginkan."
***
Baltazar dan Yolanda duduk dengan wajah sedih. Daun-daun kering yang berguguran mulai berterbangan, karena tertiup oleh angin kencang. Mereka sedang menatap tempat peristirahatan terakhir Carola. Di sana sudah ada satu buket bunga yang masih segar dan mereka tidak tahu siapa yang sudah mengunjungi Carola. Yolanda membelai batu nisan berwarna abu-abu, lalu mengecup batu itu.
"Kami berjanji akan segera menemukan Marinela,"kata Baltazar.
" Sebaiknya kita pulang,"ujar istrinya.
"Iya. Kita pulang saja."
"Menurutmu siapa yang telah mengunjungi Carola. Di sana ada satu buket bunga mawar merah yang masih segar?"tanya Yolanda.
Baltazar nampak berpikir sejenak untuk mencari jawaban. "Mungkin teman Carola."
"Itu mungkin saja. Atau jangan-jangan itu Alexandre?"tanya Yolanda.
"Itu tidak mungkin. Dia kan sudah meninggal."
"Kemungkinan dia masih hidup juga ada. Mayat Alexandre tidak pernah ditemukan."
"Kemungkinan Alexandre masih hidup itu kecil, jika dia masih hidup seharusnya dia tidak bersembunyi disuatu tempat."
"Iya, kamu benar. Mana mungkin Alexandre datang mengunjunginya. Dia kan telah...."
Mata Yolanda kembali terlihat sedih dan tidak mampu menuruskan kata-katanya lagi. Baltazar hanya diam saja, dia tahu apa yang dirasakan oleh istrinya sama dirasakan olehnya. Rasa kehilangan orang-orang yang terdekat dengannya pastilah sangat menyakiti hatinya dan membuatnya sangat sedih.
***
Pukulan keras meninju wajah Alrico saat ia telah selesai makan siang. Sudut bibirnya sampai meneteskan darah. Tentu saja kejadian itu membuat Nigel dan neneknya terkejut.
"Miguel, apa yang kau lakukan padanya?"teriak Nigel.
"Dia pantas mendapatkannya, karena dia sudah mencoba merebut wanita yang menjadi incaranku selama ini,"kata Miguel emosi.
Dengan tenang Alrico membersihkan darah di sudut bibirnya dengan jari tangannya dan tidak tersulut kemarahan atas kejadian tadi. Ia sama sekali tidak mempedulikan kemarahan Miguel. Baginya percuma saja melayani orang yang sedang marah dan akan memperparah keadaan. Lagi pula ia sudah terbiasa mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari Miguel, saudara sepupunya setiap kali pria itu berselisih paham dengannya.
"Apa yang terjadi denganmu, Miguel?"tanya Nigel sekali lagi.
Nigel nampak merasa tidak nyaman atas perbuatan kasar adiknya terhadap Alrico. Ia juga sangat kesal, karena adiknya selalu berbuat masalah. Miguel yang masih tersulut oleh kemarahan dan tidak puas dengan memukul Alrico, ia mencengkeram kaus Alrico dan mendorongnya sampai ke tembok. Sang Nenek terpekik kaget dan cemas. Nigel berusaha memisahkan mereka berdua.
"Lepaskan dia, Miguel!"
Miguel menatap Alrico dengan sorot mata kemarahan.
"Aku benci padamu, karena kamu selalu mendapatkan apa yang aku inginkan. Ketenaran, kekuasaan, kekayaan, kasih sayang semua orang-orang di sekekilingmu. Bahkan Nenek lebih menyayangimu daripada aku. Orang tuaku selalu membanding-bandingkan aku denganmu dan sekarang kamu sudah mencoba merebut wanita yang aku inginkan."
Alrico memegang kuat kedua tangan Miguel yang mencengkeram kausnya, lalu menyingkirkannya dengan sekali hentakan. Ia merapikan kaus yang dipakainya.
"Aku sama sekali tidak mencoba merebut wanitamu itu."
"Aku melihatmu bicara dengan Carolina di pesta kemarin malam."
Alrico kemudian teringat dengan wanita yang berusaha mendekatinya. "Jadi wanita itu. Aku hanya bicara dengannya. Lagi pula dia yang mendekatiku duluan."
"Jangan coba-coba mendekatinya!"
"Aku sama sekali tidak tertarik dengan wanitamu itu. Jika kamu menginginkannya ambil saja. Aku tidak peduli."
"Seharusnya kamu tidak datang ke pesta itu atau pun datang ke sini."
"Sudah cukup kalian berdua,"teriak Marie, neneknya.
"Setiap kalian bertemu pasti saja ada pertengkaran Kenapa kalian tidak bisa rukun satu sama lain? Kalian berdua adalah saudara hanya gara-gara seorang wanita kalian bertengkar."
"Tanyakan saja pada Miguel. Dia selalu mencari masalah denganku dan meributkan hal sepele,"kata Alrico.
Nigel hanya bisa pasrah melihat adiknya yang selalu membuat masalah besar dengan Alrico. Mereka seperti Tom&Jerry. Kejadian satu tahun yang lalu sepertinya tidak membuat Miguel jera. Alrico sudah berbaik hati melepaskan Miguel dari penjara dengan membatalkan tuntutannya, karena ia sudah mencuri kartu kreditnya dan sudah menghabiskan banyak uang darinya. Uang itu ia gunakan untuk membeli narkoba. Sekarang mereka bertengkar gara-gara wanita. Orang tuanya terlalu memanjakannya dengan memenuhi segala kebutuhannya tanpa berusaha.
"Miguel, minta maaflah pada Alrico!"kata Nigel dengan suara tegas.
"Minta maaf padanya? Jangan harap. Seharusnya dia yang minta maaf padaku."
Miguel menatap Alrico dengan tatapan kebencian sebelum ia pergi dari hadapannya. Setelah kepergian Miguel, Marie duduk dengan tubuh lemas. Wajahnya memancarkan kesedihan.
"Miguel belum berubah sama sekali. Anak itu selalu membuat masalah di mana pun."
Alrico duduk di samping neneknya dan merangkulnya. "Maafkan aku! Seharusnya aku tidak membuat masalah dengannya."
"Kamu tidak perlu minta maaf padaku. Kamu tidak melakukan kesalahan apa pun."
"Yang dikatakan Nenek benar. Kamu tidak salah. Seharusnya Miguel yang minta maaf pada kalian. Sebenarnya aku sangat malu pada kalian atas perilaku adikku. Aku kadang merindukan sosok Miguel kecil yang baik dan penurut. Dia menjadi seperti itu, karena salah pergaulan sehingga dia menjadi pecandu narkoba. Sejak dia keluar dari panti rehabilitasi perilakunya tetap tidak berubah. Apa lagi semenjak dia bertemu dengan wanita itu. Kelakuan buruknya semakin menjadi, bahkan Ibu dan Ayah sering kali memarahinya gara-gara ia sering tertangkap basah mencuri uang mereka hanya demi bisa memenuhi keinginan wanita itu. Seharusnya kamu waktu itu tidak melepaskannya dari penjara supaya dia jera. Sekarang dia berbuat masalah lagi denganmu."
"Apa kamu tahu tentang wanita itu?"
"Iya. Aku tahu dari kekasihku, Erina. Dia teman wanita itu. Erina mulai tidak menyukai perilaku buruk temannya itu."
"Apa namanya Carolina?"tanya Alrico.
"Iya. Dia marah padamu gara-gara wanita itu tertarik padamu."
"Nenek tidak setuju jika kamu berpacaran dengan wanita itu apa lagi menikahinya,"katanya pada Alrico.
"Nenek tenang saja. Aku sama sekali tidak tertarik dengan wanita itu. Dia bukan wanita yang ingin aku nikahi."
"Baguslah! Kamu calon pemimpin keluarga del Castellar, jadi carilah wanita baik-baik dari keluarga yang baik-baik juga."
"Aku tahu. Lagi pula hari pernikahanku masih lama."
Alrico bangkit dari sofa. "Aku mau jalan-jalan sebentar."
"Udara segar baik untukmu."
Alrico mengecup pipi neneknya sebelum pergi.