"Jika aku kaya nanti, aku akan meninggalkan rumah kecil dan jelek ini untuk selamanya. Aku akan mencari suami kaya dan tinggal di rumah yang mewah. Jika Ibu tidak mau memberikan uang kepadaku, aku akan mencari pinjaman kepada orang lain. Mungkin aku akan meminjam kepada Javier."
"Jangan pinjam uang kepadanya! Kamu tahu kan dia itu rentenir yang jahat."
"Jika Ibu mau memberikan aku uang, aku tidak akan meminjam uang kepadanya."
Carmelita memberikan uangnya kepada Carolina dengan terpaksa. Carolina tersenyum sangat puas dan senang.
"Seharusnya Ibu memberikannya dari tadi."
Carolina menghitung uangnya. "Aku tidak menyangka, Ibu punya banyak uang."
"Itu tabungan Ibu selama satu bulan."
"Ini cukup untuk membeli pakaian dan sepatu yang aku inginkan."
Carolina meninggalkan kamar dan keluar dari rumah. Carmelita memandang sedih kepergian anak perempuannya. Ia sangat menyesal telah salah mendidik Carolina. Sejak kecil, Carolina selalu dimanja olehnya dan semua keinginannya selalu dibelikannya. Sekarang gadis itu tumbuh menjadi wanita pemberontak.
"Ibu,"panggil Marinela.
Carmelita menghapus air matanya. "Ada apa?"
"Ibu baik-baik saja?"
"Ibu baik-baik saja."
"Ibu jangan bohong. Aku tahu, Ibu menangis karena Carolina. Dia sudah bersikap kasar pada Ibu. Aku mendengar pertengkaran kalian tadi, meskipun aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan."
"Kemarilah!"
Marinela mendekat dan Carmelita langsung memeluknya dengan sedih. Kehidupan anak angkatnya selalu tidak beruntung.
"Maafkan Ibu!"
"Kenapa Ibu harus minta maaf?"
Carmelita memandang putri angkatnya dan berpikir sejenak untuk mengatakan kebenaran pada Marinela, tapi niatnya itu kembali hilang. Ia berpikir Marinela masih kecil untuk mengerti masalah yang sudah terjadi pada keluarganya.
"Maaf Ibu belum bisa membelikan pakaian dan sepatu baru untukmu."
"Tidak apa-apa. Ibu tidak perlu minta maaf untuk hal itu. Ibu tidak salah."
Carmelita kembali mememeluknya. "Kamu anak yang sangat baik dan Ibu beruntung bisa nemilikimu. Ibu sayang kamu."
"Aku juga sayang Ibu."
***
Sementara itu di villa del Castellar, Alrico yang baru saja selesai berenang dihampiri oleh saudara sepupunya, Nigel.
"Apa malam ini kamu ada waktu luang?"
"Ada. Kenapa?"
"Hari ini kekasihku ulang tahun dan ada pesta di rumahnya. Apa kamu ikut?"
"Tidak. Aku di rumah saja."
"Ayolah! Kamu harus bersenang-senang sebentar. Aku lihat kamu selalu saja belajar di saat kamu sedang liburan."
Alrico berpikir sejenak. "Baiklah!"
"Ini baru sepupuku. Kita pergi jam 7 malam bersiap-siaplah!"
Alrico mengenakan jubah handuknya dan meminum jus jeruknya. Ia melihat neneknya yang baru saja selesai berkebun masih menggunakan topi jerami lebarnya dan sarung tangan berkebun.
"Seharusnya nenek tidak perlu mengurus semua tanaman itu. Biar saja tukang kebun yang melakukannya."
"Nenek bosan kalau hanya berdiam diri saja. Lagi pula semua tanaman itu warisan dari kakekmu. Nenek ingin merawatnya sendiri."
"Sepertinya nenek sangat mencintai kakek."
"Tentu saja. Kakekmu adalah belahan jiwa dan cinta sejati nenek."
"Romantis sekali."
"Nanti juga kamu akan menemukan belahan jiwa dan cinta sejatimu."
"Aku meragukan kalau aku akan menemukannya."
"Nenek yakin pasti kamu akan menemukannya. Jika kamu sudah bertemu dengannya pasti kamu akan tahu kalau itu belahan jiwamu. Nenek harap kamu tidak akan pernah melepaskannya. Berjanjilah pada nenek, kamu harus menikah dengan wanita yang kamu cintai bukan pernikahan yang berdasarkan atas bisnis."
"Aku janji."
"Bagus. Bersenang-senanglah nanti malam di pesta!"
"Nenek mendengarkan pembicaraan kami tadi?"
"Tentu saja. Pendengaran nenek masih baik."
Neneknya tersenyum lebar.
***
Alrico tidak menyangka pesta ulang tahun kekasihnya Nigel cukup meriah. Nigel langsung memperkenalkannya kepada temannya. Para wanita muda tertarik dengan ketampanan wajah Alrico dan kekayaan keluarganya dan berita itu masuk ke telinga Carolina yang sedang bicara dengan teman-temannya. Gadis itu memperhatikan Alrico dari kejauhan. Sudut bibirnya melengkung ke atas. Alrico adalah pria yang tepat untuk mengatasi semua masalahnya.
Carolina merapihkan dirinya dan mengoles bibirnya dengan lipstik warna merah. Ia yakin dengan kecantikan yang dimilikinya, ia bisa membuat Alrico jatuh cinta kepadanya. Ia berjalan dengan sangat anggun dan menggoda.
"Halo!"sapanya.
Alrico yang sedang minum seketika berhenti dan menoleh ke arah gadis yang menyapanya. Ia memperhatikan gadis itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kesan yang ia dapat tentang gadis itu cantik dan memiliki tubuh yang seksi. Pria mana pun pasti akan tertarik kepadanya, kecuali dirinya. Gadis itu tersenyum manis padanya.
"Halo!"sapa Alrico.
"Apa kamu sedang sendirian?"
"Iya."
"Boleh aku temani?"
"Tentu saja."
Alrico kembali meminum minumannya yang tadi sempat terhenti. Carolina berusaha untuk mencari perhatian Alrico dengan bersikap menggoda.
"Aku Carolina Torres."
Carolina mengulurkan tangannya. Ragu-ragu Alrico menyambut uluran tangan gadis itu.
"Alrico del Castellar."
Carolina berusaha untuk tersenyum manis. "Semoga kita bisa menjadi teman yang baik."
"Semoga saja."
Alrico menjawab dengan suara dingin. Ia tahu gadis itu sedang berusaha menggoda dan merayunya supaya ia jatuh ke pelukannya, tapi itu tidak akan terjadi. Carolina bukan tipe wanita yang akan dia jadikan istri. Semua wanita yang mendekatinya memiliki niat yang sama, yaitu harta kekayaan keluarganya. Mereka hanya mencintai harta keluarganya bukan dirinya.
"Aku tidak tahu kalau Nigel memiliki saudara sepupu setampan kamu."
"Sekarang kamu sudah tahu."
"Itu benar."
Carolina mengibaskan rambutnya dan tatapannya tak pernah terlepas dari Alrico. Baginya pria itu adalah tangkapan yang sangat bagus dan ia tidak boleh membuang kesempatan untuk bisa dekat dengannya. Wanita mana yang tidak ingin menjadi bagian keluarga del Castellar.
"Apa aku bisa meminta nomor teleponmu?"
Dengan terpaksa Alrico memberikannya. Carolina terlihat begitu senang. Ia menyangka pria itu sudah tertarik kepadanya dan mudah untuk didekati. Kepercayaan dirinya semakin tinggi tidak ada satu pun pria yang akan menolak pesona dan kecantikannya.
Di seberang ruangan, seorang pria sedang memperhatikan mereka berdua. Pria itu terlihat cemburu melihat Carolina berbicara dan berdekatan dengan seorang pria. Terlebih lagi Carolina sedang berusaha merayu dan menggoda pria yang duduk di sampingnya. Ia pun pergi dengan perasaan kesal setelah menegak minumannya.
"Terima kasih nanti aku akan menghubungimu."
Alrico hanya diam.
"Apa kamu sudah memiliki seorang kekasih?"
"Itu bukan urusanmu,"jawab Alrico dingin.
Carolina terlihat cemberut. Ia semakin tertantang untuk mendapatkan hati Alrico bagaimana pun caranya.
"Aku jarang melihatmu di Cartarbella. Apa kamu datang ke kota ini hanya sementara waktu?"
"Aku tidak tinggal di sini. Aku di sini hanya untuk mengisi liburan musim panas saja. Setelah itu aku akan kembali ke Teneva."
"Jadi kamu tinggal di sana? Aku dulu tinggal di sana, tapi Ibuku memutuskan untuk pindah dari kota itu. Aku ingin sekali tinggal di sana lagi. Kehidupan di sini terlalu sesak. Cartabella, kota yang sangat kecil dan di sini tidak ada hal yang menarik. Ketika aku masih tinggal di sana, aku sering melewati istana dan berpikir seperti apa kehidupan di istana. Aku dengar sampai sekarang sang Pangeran masih belum diketahui keberadaannya. Semoga saja dia masih hidup."
Carolina menyadari ia sudah banyak bicara. "Maaf."
"Tidak perlu minta maaf."
"Apa kamu berdansa denganku?"
"Aku sedang tidak ingin berdansa. Cari saja pria lain untuk diajak berdansa!"
Carolina terlihat cemberut lagi. Alrico melihat jam tangannya dan waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia memutuskan untuk pulang saja, karena pestanya sudah semakin membosankan ditambah lagi dengan wanita yang berusaha untuk merayunya. Ia bangkit dari kursinya.
"Kamu mau kemana?"
"Pulang."
"Tapi ini masih terlalu sore untuk pulang."
"Aku sudah lelah."
Alrico pergi dan Carolina terlihat sangat kesal. "Lihat saja nanti pasti kamu akan bertekuk lutut dihadapanku,"gumamnya.
Sosok Alrico sudah tidak kelihatan lagi. Carolina kembali pada teman-temannya lagi. Ia menyandar ke tembok dan teman-temannya yang sejak dari tadi memperhatikannya langsung mengajujan banyak pertanyaan.
"Bagaimana Alrico? Dia tampan bukan?"tanya Mira.
"Dia pria yang tampan, tapi tadi sepertinya dia mencoba menghindar dariku."
"Dia memang selalu begitu. Tidak hanya padamu saja, tapi pada wanita yang setiap kali mendekatinya. Itu sebabnya sampai sekarang ia masih belum memiliki kekasih,"kata Roberta.
"Jadi begitu."
Carolina menyunggingkan senyuman licik. Ia semakin bersemangat untuk mendapatkan Alrico. Selama ini banyak pria yang mengejar-ngejarnya untuk dijadikan kekasih mereka. Ia tidak terima, jika seorang pria del Castellar tidak tertarik kepadanya. Harga dirinya sebagai wanita pujaan banyak pria merasa terinjak-injak.
"Jika kamu berpikir ingin Alrico menjadi kekasihmu, lupakan saja! Tak seorang wanita pun yang bisa menaklukan hatinya,"kata Roberta.
"Apa kalian meremehkanku kemampuanku untuk menaklukan hatinya?"
"Alrico bukan pria seperti kebanyakan pria lainnya yang mudah tergoda oleh rayuan dan kecantikan seorang wanita yang memiliki tubuh seksi sepertimu. Dia juga tidak seperti pria-pria lainnya yang bersedia menjadi kekasihmu dan tidur denganmu,"kata Roberta.
"Mungkin aku adalah wanita yang beruntung bisa membuat Alrico jatuh cinta padaku. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Apa yang aku inginkan harus aku dapatkan. Aku akan terus mendekatinya. Aku sudah mendapatkan nomor teleponnya."
"Coba saja kalau kamu bisa!"kata Mira.
Carolina dan teman-temannya kembali berpesta dan minum-minum sampai gadis itu menjadi agak mabuk. Seorang pria menghampirinya.
"Halo Carolina, sayang!'
Carolina mendelik tidak suka pada pria di sampingnya.
"Apa maumu, Miguel?"
"Apa kamu sudah memikirkannya menjadikan aku sebagai kekasihmu?'
"Ya. Aku sudah memikirkannya."
"Jadi apa jawabanmu?"
"Aku menolak sebagai kekasihmu."
Miguel mulai terlihat geram dan marah dengan penolakan Carolina. Wanita yang diincarnya selama bertahun-tahun menolaknya dan ia tidak bisa menerima itu.
"Bukannya selama ini kamu selalu berusaha mendekatiku dan bahkan kamu mau tidur denganku."
Carolina menatap Miguel dalam keadaan setengah mabuk. "Itu benar. Dulu aku ingin jadi kekasihmu, tapi sekarang aku sudah menemukan pria yang lebih baik darimu dan aku ingin menjadi kekasihnya."
Hati Miguel bertambah panas. Kecemburuan terlihat jelas disorot matanya.
"Sebaiknya lupakan saja aku! Cari wanita lain saja. Aku sudah tidak tertarik lagi padamu."
Carolina kembali meminum birnya.
"Apa ini karena Alrico?"
"Apa kamu kenal dengannya, Miguel?"
"Tentu saja."
Wajah Carolina menjadi terlihat segar dan bersemangat. "Kamu bisa membantuku untuk kenal lebih dekat dengannya."
"Aku tidak mau,"katanya dengan suara kesal.
"Ayolah bantu aku!"
"Apa kamu sudah gila membantu wanita yang kucintai untuk bisa menjadi kekasih pria lain."
Carolina memasang wajah kecewa dan kesal. "Aku kira kamu teman yang baik,"katanya sambil memutar-mutar gelas di atas meja.
"Apa yang kamu lihat darinya sehingga kamu lebih memilih Alrico dari pada aku? Padahal kalian baru saja bertemu."
"Dia tampan."
"Aku juga tampan."
Carolina kembali menatap Miguel dengan senyuman lebar. "Kamu memang tampan, tapi kamu tidak sekaya dia. Dia seorang del Castellar. Dia pewaris kekayaan keluarganya. Dia bisa memberikan apa pun yang aku inginkan dan jika aku menikah dengannya, aku bisa hidup seperti Ratu tanpa perlu mencemaskan hari esok akan makan apa."
"Aku juga kaya dan bisa memberikan apa yang kamu mau."
"Tapi kamu tidak sekaya dia. Keluargamu tidak sekaya keluarga del Castellar. Keluargamu juga tidak bisa memberikan ketenaran padaku. Jika aku menikahi Alrico, semua orang akan memandangku dan mereka akan mengatakan betapa beruntungnya aku menjadi seorang istri Alrico dan menjadi bagian dari keluarganya."
Miguel mengepalkan kedua tangannya dengan erat di pangkuannya. Carolina menegak birnya yang tersisa sampai habis, lalu beranjak dari kursinya. Miguel menahan tangannya.
"Mau kemana?"
"Pulang."
"Aku akan mengantarmu pulang."
"Baiklah."
Miguel masih menahan tangan Carolina dan tidak mau melepaskannya. Wanita itu berjalan sempoyongan sambil berpamitan pada teman-temannya. Miguel memasukkan Carolina ke dalam mobil sportnya. Pria itu mengemudi dengan kecepatan tinggi. Angin malam mengibarkan rambut Carolina yang masuk dari jendela mobil yang terbuka.
"Bisakah kamu mengemudikan mobil lebih lambat sedikit?"
Miguel hanya diam saja dan terus menambah kecepatan. Carolina sudah tidak peduli lagi, lalu ia menyadari mobil yang dikemudikan oleh Miguel tidak mengarah ke rumahnya.
"Kamu salah jalan."
Miguel masih diam saja.
"Kamu akan membawaku ke mana?"
Miguel masih tidak bicara dan membuat Carolina menjadi kesal. Pria itu membawa Carolina ke sebuah apartemen.
"Kenapa kamu membawaku ke apartemenmu?"
Miguel keluar dari mobilnya dan menyeret Carolina keluar dari mobil. Cengkeraman tangannya begitu kuat membuat Carolina kesakitan.
"Lepaskan aku!"
Carolina memberontak dan memukul-mukul tangan Miguel dengan tasnya. Mereka masuk ke dalam lift.
"Apa yang kamu inginkan?"
Migue menatap Carolina dengan pandangan kesal.
"Apa yang aku inginkan kamu sudah tahu. Kenapa kamu tanyakan itu lagi?"
Pintu lift terbuka dan Miguel menyeret Carolina masuk ke apartemennya. Ia mendorong masuk Carolina sampai gadis itu mau terjatuh.
"Ini namanya penculikkan."
"Terserah apa katamu?"
Miguel kembali mencengkeram tangan Carolina dan menyeretnya masuk ke dalam kamar dan mendorong Carolina ke tempat tidur. Miguel menyukai aroma ketakutan dari gadis di depannya.
"Perlu kamu ingat kamu adalah milikku dan Alrico tidak akan bisa mendapatkanmu."
"Kau pria jahat,"teriak Carolina marah dan melemparkan tasnya ke wajah Miguel, tapi pria itu bisa menghindarinya.
Miguel tersenyum jahat. Ia naik ke atas tempat tidur dan menahan kedua tangan Carolina di atas kepalanya. Wajahnya begitu dekat dengan gadis itu sehingga Miguel bisa mencium bau alkohol dari mulutnya.
"Kamu telah salah telah menolakku. Kamu hanya milikku. Milikku."
"Lepaskan aku!"
Miguel menyeriangai.
"Apa yang akan kamu lakukan padaku?"
Miguel mencium paksa Carolina dan gadis itu memberontak sekuat tenaga.