Alrico yang sedang berjalan-jalan tidak jauh dari perkebunan anggur milik keluarganya, ia melihat seorang bocah perempuan yang sedang tertunduk sedih di tepian aliran air sungai kecil. Ia mengenali sosok gadis kecil itu.
"Ada apa lagi dengannya?"gumamnya.
Alrico segera menuruni bukit rendah yang dihampari oleh hijaunya rumput. Ia mendengar isak tangis dari gadis kecil itu saat sudah dekat dengannya. Tas ranselnya masih berada di punggungnya yang bergerak naik turun seiring isak tangis yang dikeluarkannya. Suara gemericik air yang mengalir membuat suasana siang hari itu terasa damai. Itu sebabnya Alrico menyukai Cartabella. Tidak ada polusi yang mengotori udara dan jalanan yang berisik. Ia ingin membangun rumah impiannya di sini suatu hari nanti.
Suara burung Robin yang bertengger di atas ranting-ranting pohon bernyanyi dengan merdu, tapi nyanyian merdu burung itu kalah oleh isak tangis gadis kecil yang semakin keras. Alrico duduk di sampingnya. Selama sejenak ia membiarkan gadis kecil itu menangis sepuasnya. Sementara ia disibukkan memandang semak-semak berry di seberang aliran sungai. Ia bangkit dan membuka sepatunya, lalu berjalan menyeberangi aliran air yang hanya memerlukan tiga langkah menuju seberang. Alrico mengambil banyak buah berry merah yang sudah matang, lalu kembali lagi dan duduk di tempatnya semula.
Alrico menawarkannya pada gadis kecil itu. Sejenak isak tangisnya berhenti dan mengambil buah berry di tangan Alrico. Ia memakannya satu persatu sampai habis.
"Apa kamu masih menginginkannya?"
Gadis kecil itu mengangguk. Alrico kembali menyeberang dan membawa lebih banyak buah berry merah, lalu diserahkan semuanya pada gadis kecil itu. Ia tersenyum senang melihatnya memakan semua berry-berry itu dan tidak menangis lagi. Entah kenapa ia ingin sekali melihat senyumannya.
"Sepertinya kamu sangat menyukai buah itu."
"Aku memang menyukainya. Rasanya segar dan manis."
"Jadi katakan kenapa kamu menangis sendirian di sini? Apa Kakakmu berbuat jahat lagi padamu?"
Wajah Marinela kembali muram dan sedih, lalu menggelengkan wajahnya. "Bukan karena Kakakku."
"Lalu?"
"Hari ini di sekolah teman-temanku kembali mengejekku gara-gara sepatuku sudah bolong."
Alrico langsung memeriksa sepatu Marinela dan sepatu itu bolong di ujungnya. Jari jempol kakinya terlihat jelas
"Apa tidak ada sepatu lain yang bisa kamu gunakan?"
Marinela menggelengkan kepalanya sehingga kuncir dua rambutnya ikut bergoyang. Mata hijau indahnya memancarkan kesedihan membuat Alrico menjadi merasa iba.
"Apa Ibumu tidak membelikanmu sepatu baru?
"Ibu sedang tidak punya uang."
Alrico menghela napas seraya membelai rambut kepala Marinela. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya. Marinela memandangi tangan besar itu.
"Ayo ikut aku!"
Marinela sejenak nampak ragu, tapi ia percaya pada lelaki di hadapannya, lalu digenggamnya tangan Alrico untuk membantunya berdiri. Mereka berjalan sambil bergandengan tangan.
"Aku senang bisa bertemu dengan Kakak lagi."
"Oh ya. Aku juga senang bisa bertemu denganmu lagi."
Marinela sesaat terkesiap melihat wajah Alrico di bawah sinar matahari siang. Di kepalanya seperti ada lingkaran cahaya. Pria itu terlihat seperti malaikat yang baru saja turun dari langit.
"Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu dengan mulut menganga lebar?"
Marinela langsung menunduk tersipu malu. "Kakak seperti malaikat."
"Eh."
"Tadi wajah Kakak bercahaya,"katanya sambil tersenyum.
Hati Alrico seketika menghangat melihat senyuman Marinela.
"Kita akan ke mana?"
"Kita ke rumahmu dulu. Setelah itu kita pergi ke suatu tempat."
"Di rumahku tidak ada siapa pun. Sebaiknya kita tidak perlu ke sana dulu."
"Apa Ibumu masih bekerja?"
"Iya. Ibu biasanya pulang agak sore."
"Setelah pulang sekolah, kamu tinggal sendirian di rumah."
"Iya."
"Kamu berani sekali. Lalu Kakakmu di mana?"
"Kerja di bar sebagai pelayan."
Alrico mengangguk mengerti. "Lalu Ibumu kerja di mana?"
"Ibuku bekerja sebagai buruh petani anggur di perkebunan anggur milik keluarga del Castellar."
"Oh ya. Siapa nama Ibumu?"
"Carmelita Torres."
"Nanti kita temui Ibumu di sana."
"Baiklah."
Alrico membawa Marinela ke villa keluarganya untuk mengambil mobil. Gadis itu takjub dan terpesona melihat kemegahan villa itu. Ia tidak menyangka teman barunya yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri tinggal di rumah sebesar dan semewah ini.
"Rumahnya besar sekali,"gumamnya.
Alrico hanya tersenyum saat mendengarnya. Di ruangan lain, seorang pelayan pria memberitahu Marie kalau Alrico pulang dengan membawa seorang gadis. Tentu saja perkataan pelayannya membuatnya terkejut. Ia cepat-cepat menuju pintu depan. Saat memasuki villa, mereka bertemu dengan neneknya dan wanita tua itu terkejut melihat Alrico membawa seorang anak kecil.
"Siapa dia?"
"Dia teman baruku."
"Teman baru?"
Marie terlihat senang dengan kedatangan Marinela. Apa lagi Marinela terlihat imut dan menggemaskan.
"Nenek, ini Marinela. Marinela, ini Marie, nenekku."
"Senang bertemu dengan Anda, Nenek Marie. Eh bolehkah aku memanggil Anda seperti itu?"
"Tentu saja boleh."
"Terima kasih."
"Marinela, kamu tunggu di sini bersama Nenek. Aku mau mengambil sesuatu di kamarku."
"Baiklah."
Sebelum pergi ke kamar, Alrico menyuruh pelayan untuk memberikan minum dan es krim yang cukup banyak untuk Marinela.
"Berapa umurmu?"
"10 tahun."
"Apa kamu tinggal di dekat sini?"
"Iya. Rumahku tak jauh dari sini."
"Apa kamu berteman dengan cucuku, Alrico?"
"Iya. Kami berteman dan aku sudah menganggapnya sebagai Kakakku sendiri."
"Jarang sekali Alrico mau berteman dengan seorang anak kecil."
"Mungkin aku berbeda."
"Itu mungkin saja."
Pelayan membawakan jus jeruk dan semangkuk es krim bermacam-macam rasa. Mata Marinela berbinar-binar. Ia sudah lama tidak memakan es krim dan merasa sangat terharu. Es krim baginya makanan yang sangat mewah. Ia menyendok es kirim itu dalam ukuran besar dan memasukannya ke mulut. Rasa dingin membuat gigi-giginya terasa ngilu
Marinela sampai meneteskan air mata. Baru kali ini ia bisa makan es krim seenak ini.
"Kenapa kamu menangis?"
"Aku menangis, karena aku senang bisa makan es krim yang sangat lezat."
Marie tersenyum geli melihat Marinela melahap es krimnya. Sekeliling mulutnya banyak krim yang tertinggal.
"Pelan-pelan makannya Es krimnya masih banyak di dapur, jika kamu ingin tambah."
"Terima kasih."
Alrico datang setelah Marinela menghabiskan es krimnya.
"Apa kamu ingin tambah es krimnya?"tanya Marie.
"Tidak. Sudah cukup."
"Baiklah."
Sambil bersandar di sofanya, Alrico memperhatikan gadis kecil itu yang sedang meminum jus jeruknya dan memasukkan tangannya ke saku celananya.
"Aku kira tadi kamu membawa calon istrimu ke sini,"bisik nenek Marie bercanda.
Alrico tersenyum dan menahan tawanya. "Kenapa Nenek berpikiran seperti itu?"
"Karena kamu tidak pernah membawa seorang wanita ke sini. Selain itu, Robert memberitahuku kalau kamu datang membawa seorang gadis. Nenek kira itu kekasihmu."
"Nenek ini ada-ada saja."
Marinela menyimpan gelas yang telah kosong di atas meja.
"Apa kamu sudah siap pergi?"
"Iya."
"Kalian berdua mau pergi kemana?"tanya nenek Marie.
"Aku akan mengajak Marinela pergi membeli sepatu."
Dahi nenek Marie berkerut.
"Nanti aku akan menjelaskan semuanya pada Nenek. Ayo Marinela, kita pergi!"
Marinela menyambut uluran tangan Alrico dan mengangguk.
"Sampai jumpa lagi, Nenek Marie!"
"Sering-seringlah main ke sini!"
"Iya."
Marinela melambaikan tangannya. Di depan mobil mewah miliknya, Alrico membuka pintu mobilnya.
"Silahkan masuk, Nona Muda!"
Marinela masih takjub melihat mobil mewah di depannya. "Mobilnya bagus sekali. Apa ini mobil Kakak?"
"Iya. Masuklah!"
Dengan perasaan senang, Marinela masuk ke dalam mobil. Alrico menutup pintu mobil dengan pelan dan ia masuk ke kursi pengemudi, lalu membantu memasangkan sabuk pengaman pada Marinela. Baru saja ia menghidupkan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari Carolina tertera di layar ponselnya, tapi Alrico enggan membaca pesan yang dikirim oleh wanita itu. Ia melirik ke samping kursinya dan tersenyum. Ia lebih suka mengasuh seorang anak dari pada berkencan dengan seorang wanita. Mobil melaju keluar dari villa dan membelah jalanan kota kecil Cartarbella.
Di sepanjang perjalanan, Marinela begitu senang dan ia terus melihat pemandangan dari jendela mobil.
"Aku sudah lama tidak pergi jalan-jalan,"katanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari kaca mobil.
"Sekarang aku mengajakmu jalan-jalan, jadi nanti jangan sedih lagi."
"Iya."
Mobil yang dikemudikan Alrico terus melaju sampai akhirnya tiba di sebuah mall yang tidak terlalu besar. Mereka turun dari mobil.
"Nanti jangan jauh-jauh dariku!"
"Aku mengerti."
Dari parkiran ruang bawah tanah, mereka naik ke atas menggunakan lift.
***
Di perkebunan anggur Cartarbella, Carmelita memikirkan kedua putrinya. Ia mencemaskan Carolina dan takut putrinya itu melakukan hal-hal yang tidak baik dan membuat masalah besar, sedangkan Marinela, ia mencemaskan masa depan anak itu. Ia harus melakukan sesuatu untu Marinela.
Carmelita membawa anggur-angur yang telah dipetiknya untuk dikumpulkan di atas mobil pengangkut dan kembali lagi untuk memetik anggur-anggur lain, tapi seseorang ada yang menanyakan namanya.
"Apa di sini ada yang namanya Carmelita Torres?"tanya seorang pria yang berpakaian seragam.
"Itu aku."
Carmelita berjalan mendekati pria itu.
"Apa Anda, Carmelita Torres?"
"Iya itu namaku."
"Anda ikut denganku."
Carmelita yang kebingungan tetap diam di tempat. Pria itu menoleh ke belakang dan memberi isyarat untuk ikut dengannya.
"Bagaimana dengan pekerjaanku?"
"Hari ini Anda pulang lebih cepat atas izin pemilik perkebunan ini."
"Eh."
Perasaan Carmelita menjadi tidak enak. Ia berpikir telah melakukan sebuah kesalahan, sehingga ia akan diberhentikan bekerja di perkebunan. Ia mengikuti pria dari belakang dan mereka masuk ke dalam mobil. Sesampainya di villa del Castellar, pelayan itu menyuruh Carmelita untuk kembali mengikutinya.
"Ibuuuu,"teriak Marinela dari ruang tamu.
Carmelita terkejut melihat putrinya ada di sini. gadis kecil itu segera memeluk ibunya dengan senang.
"Kenapa kamu ada di sini?"tanya ibunya kebingungan.
"Kakak yang mengajakku ke sini setelah kami pulang jalan-jalan."
"Kakak?"
Marinela menunjuk ke arah Alrico yang berdiri di samping neneknya. Carmelita menatap lekat-lekat mata Alrico, lalu berkata,"Terima kasih sudah mengajak putriku jalan-jalan."
"Aku hanya mengajaknya jalan-jalan sebentar. Tidak perlu berterima kasih."
"Apa putriku sudah merepotkan kalian?"
"Tentu saja tidak,"jawab nenek Marie. "Marinela gadis yang sangat menyenangkan. Kami senang bisa bicara dengannya."
Carmelita menjadi lega. Ia masih belum tahu bagaimana Marinela bisa mengenal kedua anggota keluarga del Castellar. Marinela berlari, lalu kembali sambil membawa dua tas belanjaan besar untuk ditunjukkan kepada ibunya.
"Ibu lihat ini!"
"Apa ini?"
"Kakak membelikan aku sepatu, baju, dan tas baru. Kakak baik, kan?"
Carmelita kembali terkejut melihat semua barang-barang itu yang terlihat bagus dan berharga mahal. Ia mengerutkan kening, berusaha keras menggunakan otak yang akhirnya ia mengerti.
"Seharusnya Anda tidak perlu membelikan Marinela semua ini."
"Marinela membutuhkan semua itu. Aku tidak ingin Marinela memakai sepatu yang sudah rusak lagi. Sekarang dia bisa memakai sepatu, baju, dan tas baru ke sekolahnya."
Carmelita merasa tidak enak untuk menerimanya, tapi setelah melihat wajah senang putrinya, ia pun menerimanya. "Terima kasih banyak."
"Cucuku sudah bercerita tentang Marinela padaku, jadi aku mendukung apa yang sudah cucuku lakukan pada Marinela. Jika Anda sibuk bekerja, Marinela bisa bermain dan belajar di sini dari pada Anda meninggalkannya sendirian di rumah. Dengan senang hati kami menerima Marinela di sini."
Carmelita tidak bisa berkata-kata lagi. Ia senang masih ada orang yang baik pada putrinya. "Terima kasih. Baiklah."
Seorang pelayan datang memberitahukan kalau orang tua Miguel dan Nigel datang berkunjung.
"Suruh mereka masuk!"
Pelayan itu pergi memanggil mereka. Tidak lama sepasang suami istri memasuki ruang tamu. "Selamat sore!"
Carmelita langsung menjatuhkan tas belanjaan putrinya saat melihat dua orang yang baru saja masuk. Tubuhnya menjadi kaku dan wajahnya memucat seperti sudah melihat hantu.
"Selamat sore!"
"Carlos, Samantha,"sapa nenek Marie.
"Maaf kalau kedatangan kami tiba-tiba."
"Tidak apa-apa. Ayo duduk!"
Marinela memanggil ibunya dan tidak ada respon darinya. "Ibu...Ibu kenapa?"
Carmelita baru tersadar dari ketekerjutannya dan ia juga terlihat ketakutan. "Kami pulang dulu. Terima kasih."
Carmelita cepat-cepat pamit dan memegang tangan Marinela dengan erat.
"Sampai jumpa!"
Marinela melambaikan tangannya dan Alrico membalas lambaian tangannya dengan wajah tersenyum. Carmelita cepat-cepat pergi dari villla. Ia sudah tidak ingin berlama-lama lagi berada di villa bersama dengan seorang pembunuh. Ia masih ingat dengan jelas pria itu adalah pembunuh ibunya Marinela, Carola Sarmiento. Ia baru tahu siapa nama pembunuhnya saat Marie memanggil namanya. Sepertinya pria itu tidak tahu siapa dirinya dan juga Marinela. Ia penasaran kenapa mereka bisa mengenal Carlos. Apa mereka tahu Carlos adalah seorang pembunuh?
"Ibu, jalannya pelan sedikit."
"Ibu ingin cepat sampai rumah."
Marinela memandangi ibunya dengan tatapan cemas. "Apa Ibu baik-baik saja?
"Kenapa kamu tanyakan itu? Tentu saja Ibu baik-baik saja."
"Tadi Ibu terlihat aneh dan takut akan sesuatu."
Carmelita berhenti berjalan dan memandang putrinya. "Jika kamu bertemu dengan pria itu lagi, kamu jangan banyak bicara padanya. Apa kamu mengerti?"
Meskipun Marinela tidak mengerti, ia mengiyakannya.
"Apa aku tidak boleh bicara lagi dengan Kak Alrico?"
"Bukan Alrico, tapi pria yang bernama Carlos. Pria yang baru saja datang tadi."
"Memangnya kenapa?"
"Ibu tidak bisa mengatakannya sekarang. Suatu hari nanti kamu akan mengerti."
Marinela mengangguk.