5. Hancur Dan Kecewa

1198 Kata
Keenan yang keluar dari kamarnya itu dengan langkah lebar dan amarahnya membuat Vivi mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut. 'Sepertinya aku harus menunggu waktu yang tepat agar Keenan mau berbicara tentang hal ini,' batin Vivi meyakinkan dirinya. Keenan hanya butuh waktu sendiri saja untuk menenangkan pikirannya. Vivi masuk ke dalam kamar Keenan, ingin tau bagaimana keadaan Alice setelah di marahi oleh anaknya tadi. Alice berlutut di bawah, seperti orang linglung yang tidak tau arah. Alice sangat berantakan hari ini. Wajah sedihnya itu menjelaskan bagaimana arti putus asa yang sebenarnya. Hati Vivi menjadi prihatin melihatnya. "Alice? Apakah baik-baik saja?" Alice mengusap air matanya. Menatap manik mata Vivi yang terang dan lembut itu. Hatinya tidak baik-baik saja, ada perasaan takut dengan kisah pernikahannya esok hari. Alice hanya bisa diam tidak bisa berkilah mencari alasan jika semuanya sudah di ketahui. Alice mangangguk. "Aku baik-baik saja. Mas Keenan sedang keluar sebentar. Mungkin mencari udara segar," Alice memberikan prasangka positif pada Vivi agar tidak tau pertikaiannya dengan Keenan beberapa menit yang lalu. Vivi mengangguk. "Segera bersihkan dirimu dan siapkan sarapannya. Jangan tidur apalagi beristirahat sebelum seluruh anggota kenyang!" Vivi memperingati sangat tegas, Alice mengangguk patuh. Sebuah perintah yang tidak bisa terbantahkan, dan sikap Vivi pun berubah menjadi congkak sekarang. Alice mengira Vivi memberikan belas kasihannya. Tapi dugaannya saja yang meleset tidak sejajar dengan kenyataannya. Alice bergegas ke dapur menyiapkan makanan untuk keluarga Keenan. Masakan sederhana yang ia racik adalah tempe goreng hangat dan tumis kangkung. Aromanya cukup lezat menggoda selera. Alice tersenyum puas saat mencoba rasanya yang sudah pas tidak ada hambar atau asin, takaran yang sempurna dengan bumbu tradisional dari ibunya. Alice dengan hati-hati membawa sepiring tumis kangkung itu ke meja makan. Lalu nasi dan tempe hangat sebagai lauknya. Saat satu keluarga itu datang dan mulai duduk, Arion menatap aneh makanan yang ada di meja. "Pasti asin," komentarnya sedikit lirih. Namun Alice mendengarnya, senyumannya menjadi pudar karena Arion meragukan masakannya. Keenan masih berdiri. Karena tersisa satu kursi yang kosong dan itu di sebelah Alice. Keenan tidak ingin dekat dengan wanita pembohong. "Mas Keenan duduk disini. Ayo kita sarapan-" "GAK!" seru Keenan penuh emosi dan menggertak Alice sampai terperanjat kaget. "Lebih baik aku mati kelaparan daripada harus makan masakanmu. Semuanya pasti penub kepalsuan!" "Keenan, makanlah sedikit. Setidaknya hargai usaha keras Alice saat memasak," ujar Vivi mencoba menjinakkan Keenan yang emosional. Keenan menghela nafasnya pasrah. "Jika Alicia yang memasak, aku lebih menghargai lagi dan meminta suapan manis dari istriku yang asli itu," Keenan tidak mau berhenti menyudutkan Alice, wanita itu harus sadar diri dengan posisinya. Alice menjadi murung. Hatinya berdenyut nyeri dengan ucapan Keenan yang menusuk itu. Alicia, kakaknya berhasil mengambil keseluruhan hati Keenan. Sedangkan dirinya tidak bisa meskipun berusaha mencintai Keenan sementara waktu. "Lebih baik. Kalian sarapan saja dengan tenang. Aku pergi," Alice beranjak dari duduknya, mungkin Keenan terganggu dengan kehadirannya. Alice sadar diri, tidak pantas makan satu meja dengan suami dan keluarganya. Ia itu hanya duplikat Alicia. Keenan bisa makan dengan tenang, bahkan ia lahap dan menghabiskan tumis kangkunya sampai mama dan ayah tidak merasakan sayuran merileks-kan otot itu. Vivi menatap Keenan tidak percaya. "Nak? Apakah itu enak? Sampai menghabiskannya tanpa ada sisa?" Keenan menganguk cepat. "Enak. Aku ingin lagi. Tapi sudahlah, aku gengsi mengakuinya." "Sabar. Pasti Alicia akan kembali," ujar Arion. Keenan menurunkan emosinya. "Ayah tolong bantu aku menemukan Alicia. Jangan sampai dia celaka. Aku ingin Alicia tetap bersamaku," Keenan memohon, suaranya serak dan menyerah sebelum menang. Arion mengangguk. Matanya menjadi tenang menghanyutkan gelombang air yang deras menghalangi ombak. "Baiklah, ayah akan berusaha untuk mendapatkan Alicia dan membawanya pulang disini." Keenan menarik sudut bibirnya seperti bulan cekung. "Terima kasih ayah." *** Di tempat lain, ruangan kosong dan penuh debu itu membuat Alicia terbatuk beberapa kali. Tangannya di ikat. Bergerak sedikit saja sangat sulit, ruangan yang begitu sempit. "Aku ada dimana?" Alicia menelisik sekitarnya. Gudang yang penuh dengan barang. Ia mengerti sekarang, seseorang membawanya pada malam itu lalu kabur dengan mobil yang mengebut. Kepala Alicia pusing, semuanya berputar. Mengerang kesakitan dan merintih. "Aku harus keluar dari tempat ini," Alicia berusaha melepaskan simbol ikatan tali mati yang di bentuk. Mudah sekali baginya untuk memecahkan simbolnya, mengikuti kepramukaan sangat bermanfaat ketika keadaan genting ini menimpa dirinya. Alicia tidak peduli jika tertangkap lagi, namun langkahnya berhati-hati menerobos pintu yang tidak di kunci itu. Setelah berhasil meloloskan diri. Alicia berlari mencari kendaraan yang lewat. Sampai sebuah truk dari kejauhan membuat Alicia harus berhenti di tengah jalan untuk menghalanginya. Suara decitan rem itu membuat Alicia takut memejamkan matanya. Antara hidup atau mati. Seorang pria berusia limapuluh tahun itu turun dari truk-nya. Menghampiri Alicia, wanita gila yang ingin bunuh diri. "Apakah kau sudah gila sampai ingin meninggal dengan cara rendahan seperti ini?" ia berseru marah dan menatap Alicia tajam. Aksi wanita itu sangat nekat dan pemberani. "Aku mohon. Bawa aku ke desa Pelangi sekarang. Ada penjahat yang mengejarku," dengan panik Alicia menjawabnya. Supir itu mengangguk. Kasihan juga dengan wanita yang sendirian di malam hari. "Ayo. Naik, sebelum penjahat itu menemukanmu!" serunya ikut khawatir. Truk pengangkut kayu itu pun melaju meninggalkan area terlarang. Sepi, gelap bahkan tidak berpenghuni. Setelah sampai di desa, Alicia mengucapkan terima kasih pada pria itu. Tersenyum manis dan menyebutkan namanya. "Perkenalkan aku Alicia." Sang supir mengangguk. Pandangannya terpaku pada kedua tangan indah yang di lukis dengan sebuah hena. "Apakah kau akan melaksanakan pernikahan?" Alica terdiam. Pernikahan. "Astaga!" serunya mulai panik, ia melupakan satu hal ini. "Aku baru mengingatnya kalau kemarin adalah hari pernikahanku. Oh tidak, bagaimana ini." "Segera pulang. Dan tanyakan pada orang tuamu," nasehat sang supir. Alicia pun berlari, ia harus tau bagaimana keadaan kemarin. Apakah Keenan kecewa? Atau pernikahan ini di batalkan? Setelah sampai di depan rumah. Alicia mengetuk pintu dengan tidak sabaran. Riana membukanya dan terkejut dengan kedatangannya. "Ibu, ini aku Alicia! Lihatlah! Ini adalah hena yang aku pakai!" seru Alicia sangat senang dan menunjukkan bukti bahwa ialah Alicia. Riana pun memeluk Alicia dengan erat. Tangisnya pecah setelah bertemu dengan anak pertamanya yang menghilang tiba-tiba kemarin malam. "Nak, apakah kamu baik-baik saja?" tanya Riana melepaskan pelukannya, menatap Alicia dengan teliti apakah ada luka. Tapi tidak, putri cantiknya itu masih utuh. "Ibu. Bagaimana pernikahanku dan Keenan? Apakah batal?" Alicia mengganti pertanyaan. Yang harus ia ketahui adalah perasaan Keenan sekarang. Riana pun berani jujur. Meskipun kenyataannya pahit. Tapi inilah konsekuensi-nya. "Keenan menikah dengan adikmu. Tapi sebagai Alicia. Terpaksa ibu menyuruhnya untuk menjadi pengantin penggantinya. Jangan khawatir, Keenan mengenali adikmu sebagai Alicia," Riana menenangkan Alicia yang mulai gelisah saat mendengar nama adiknya di ucapkan. "Ibu. Aku ingin pergi ke rumah Keenan sekarang. Sampai jumpa, Alice harus segera pergi dari tempat itu." Riana tidak bisa menghalangi Alicia. Mungkin ini yang harus Alicia selasaikan sendiri. *** Setelah sampai di rumah Keenan, Alicia berlari dengan cepat. Nafasnya yang tak beraturan itu membuatnya seperti berjuang di medan perang demi merampas senjata musuh. Hatinya khawatir jika Alice merebut Keenan darinya. Alicia menekan bel berkali-kali sampai pintu di buka oleh seseorang dan itu adalah Alice. "Kakak?" suaranya lirih dan terdengar berbisik. Terkejut melihat kehadiran kakaknya yang tiba-tiba. "Segera pergi dari rumah ini. Jangan pernah kembali lagi!" Alicia menekan ucapannya sangat tegas dan seperti perintah dari ratu kepada prajuritnya. "Pergi?" Alice tidak setuju. Ia terlanjur nyaman tinggal di rumah Keenan. "Ayo! Pergi!" Alicia menarik tangan Alice hingga adiknya itu tersungkur di lantai. Mendengar ada keributan diluar. Vivi dan Arion pun bergegas melihatnya. Melihat dua Alice itu membuat mereka bingung. "Alicia yang mana? Kalian kembar sekali," Vivi tidak bisa membedakan kakak-beradik itu. "Ini aku," Alicia berbalik menatap Vivi. Menunjukkan hena yang sudah kering itu. "Aku Alicia, menantumu. Dan dia adalah adikku." "Tapi yang menikah dengan Keenan atas nama Alicia. Jadi, adikmu itu bukan siapa-siapa disini. Tolong usir dia pergi," ujar Arion meminta pada Alicia. Alice menatap nanar Arion, pria yang dulunya baik menjadi jahat hanya karena ia bukan Alicia. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN