6. Membenci Alice

798 Kata
Alice menatap nanar kakaknya. Berdiri angkuh tak ingin mengulurkan tangannya. Alice berusaha berdiri, namun kakinya terkilir. "Ah. Sakit. Kak, bantu aku," Alice sangat memohon. Merintih kesakitan. Tapi respon kakaknya berbeda dengan apa yang ia pikirkan. "Berdiri sendiri. Punya kaki kan?" Alicia terlihat tidak peduli, menatap adiknya angkuh. Lagipula sudah merebut Keenan dan berani menggantikan posisinya menjadi pengantin. Alice mengerti sekarang, kakaknya menjadi jahat hanya karena cemburu dengan posisinya kemarin. Niatnya itu baik agar Keenan tetap bahagia, bukan sedih karena kakaknya menghilang tanpa jejak. "Pulang jalan kaki. Jangan manja dan minta di antar pulang," tambah Alicia dengan teganya. Tidak peduli jika adiknya pulang sendirian di tengah malam dengan jarak tempuh yang sangat jauh. "Baik. Aku bisa pulang sendiri kak. Semoga bahagia dengan mas Keenan," Alice berjalan dengan lemas, kakinya yang membiru itu membuatnya tidak sanggup berjalan. Tapi sudahlah, tidak perlu butuh bantuan kakak termasuk Vivi dan Arion. Alice pantas mendapatkan hukuman ini. Sedikit kesal karena Alice memanggil Keenan dengan sebutan spesial 'Mas'. "Tunggu!" Alicia berteriak lantang. Seketika Alice menghentikan langkahnya. Alicia menghampiri adiknya itu dan berkata "Panggilan mas itu hanya untukku saja Alice. Bukan kamu!" tangannya menunjuk Alice seperti seorang tersangka yang harus disalahkan. Alice terdiam. Benar, ia tidak ada hak lagi. Karena Keenan adalah suami kakaknya. "Aku mengerti kak. Aku pergi," langkah Alice menjauh dari mansion megah itu. Menyeret kakinya yang sakit karena terkilir sehingga jalannya terseok. Tidak ada yang kasihan dengannya, semua orang hanya diam tangannya enggan mengulurkan bantuan. Merasa puas, Alicia menghampiri Vivi dan Arion dengan wajah berseri bahagia seperti bunga indah dengan embun di pagi harinya. "Dia sudah pergi. Sekarang aku ingin berdua dengan mas Keenan. Dimana ma?" Alicia bertanya pada Vivi. "Keenan ada di kamarnya. Sedih, juga marah. Bersikap lemah lembutlah karena dia pasti memikirkan pernikahannya yang penuh kebohongan ini. Dan Keenan saat melihatmu itu bukan sebagai Alicia tapi Alice. Tunjukkan jati dirimu yang sebenarnya agar Keenan bisa mengenalimu," nasehat Vivi. Agar kesalahpahaman ini segera selesai. Alicia mengangguk patuh. "Baiklah ma. Aku akan memperkenalkan diriku sebagai Alicia." Di kamar, Alicia menyapa Keenan. Suaminya itu menoleh dengan tatapan tajamnya. Menyeramkan, batin Alicia dalam hatinya. Apakah Keenan sangat membenci adiknya? Bagaimana bisa terbongkar? "Keenan," Alicia duduk di sebelah Keenan, tangan lentiknya menyentuh bahu kokoh itu dan mengusapnya. Tapi Alicia mendapatkan tepisan kasar dari Keenan serta bentakan yang membuatnya terperanjat. "JANGAN SENTUH AKU ALICE!" seru Keenan dengan intonasi yang tinggi. Nafasnya memburu karena dipenuhi oleh emosi. Alice adalah pembohong. Memaafkannya sangat sulit, apalagi menikah dengan orang yang tidak sesuai impiannya. "Lihatlah kedua tanganku. Ini hena yang aku pakai saat pernikahan kita. Alicia Grace, istri sahmu," suara Alicia yang lirih dan ketakutan itu membuat amarah Keenan mereda, perlahan suaminya itu tersenyum kemudian memeluknya. "Alicia! Aku merindukanmu! Darimana? Aku sampai mengkhawatirkanmu. Dan adikmu yang licik itu berani menggantikanmu di pernikahan kita," Keenan menatap mata coklat madu yang hangat milik Alicia. Hatinya masih sedih, meskipun orangnya sama dan mirip. Tapi Keenan lebih senang jika itu Alicia. Beruntung sekali tamu undangannya tidak ada yang menyadari hal sekecil ini. "Mas Keenan tenang saja. Dia pergi dan tidak akan pernah kembali lagi. Kamu tau? Aku di culik oleh orang misterius, membawaku ke sebuah tempat yang jauh dan terlarang. Sampai aku bisa meloloskan diri dan akhirnya aku bisa pulang ke rumahmu." "Di culik?" Keenan bertanya setengah tidak percaya. Ia baru tau Alicia menghilang bukan karena meninggalkannya. "Apakah kamu mengenali orangnya?" Keenan ingin tau. Siapa penjahat itu. Alicia menggeleng. "Dia memakai topeng. Jangan di bahas lagi. Aku tidak mau orang itu kembali lagi mencariku. Aku takut mas," Alicia memeluk Keenan mencari kenyaman. Hatinya senang, Alice tidak bisa mendapatkan pelukan ini selain dirinya saja. Alice, adiknya itu terlalu polos untuk merendah. "Tapi, kamu belum malam pertama dengan Alice kan?" Alicia memastikan Keenan akan tetap menjadi miliknya seutuhnya, bukan di rebut oleh Alice. Keenan mengangguk pelan. "Dan aku hanya bisa merasakan jika istriku yang sebenarnya bisa membuat detak jantungku berdebar. Masih sama ketika berpacaran dulu." Alicia menahan tawanya. "Bagus jika kamu masih mengenali aku. Oh ya, apakah ada rencana bulan madu?" Keenan berpikir. Sebelumnya ia tidak ada niatan bulan madu setelah mengetahui Alice bukanlah Alicia, tapi sekarang Alicia ada di hadapannya. "Maaf," Keenan menunduk. Alicia kecewa. Ada apa ini? Apakah Keenan tidak ingin memiliki seorang anak? "Mama yang sudah merencanakan tempatnya. Jadi, aku tidak bisa memilih negara mana yang cocok," Keenan terkekeh saat melihat wajah panik Alicia karena kata maaf itu. "Kamu jangan takut. Sebentar lagi. Tunggu, dan kita akan berangkat," Keenan menangkup wajah Alicia yang sedikit berisi. Pipi gemuk itu membuat Keenan gemas sampai mencubitnya, Alicia mengeluh sakit. Keenan yang merasa kasihan melihat istrinya itu mengelus pipinya pun Keenan menciumnya sebagai obat luka. Alicia berpaling. Pipinya merona merah. Keenan sangat manis dan romantis! Ingin berteriak karena terbawa perasaan namun ia sadar ini bukanlah rumahnya. Apa? Tidak, pasti akan menjadi miliknya dalam waktu singkat. Alicia yakin itu. Jalan yang sepi, penerangan lampu kurang. Malam gelap itu membuat Alice berjalan sendirian. "Kakak bahagia. Tugasku selesai menjadi pengantin pura-pura. Maaf kak, jika aku terlalu berani melakukan tindakan ini. Tapi, itu semua demi kebaikan kakak dan keluarga kita agar tidak malu di depan semua warga kampung," Alice berbicara sendiri. Ia hanya menuruti apa yang ibunya katakan di hari itu. "Ah!" Alice meringis kesakitan saat sebuah benda tajam yang dingin itu menggores lengan kanan-nya. Alice menoleh ke belakang, seseorang memakai topeng itu membawa benda tajam yaitu samurai. Nafas Alice sesak, kakinya seperti enggan berlari untuk menghindar. Namun sebuah tangan lain menariknya pergi. Dan Alice terpaksa menyeret kakinya yang masih terkilir sekuat tenaga. "Ayo jangan sampai jatuh! Ada aku. Kamu jangan mendekati orang berbahaya itu!" seru laki-laki yang Alice tidak kenal. Memakai jas kantor dan kacamata hitam, rambutnya berantakan karena angin malam yang sedikit kencang. "Tapi. Kita bersembunyi dimana?" Alice khawatir, bagaimana kalau orang itu larinya lebih cepat? "Itu! Tempat yang aman!" Sebuah gang yang gelap namun ada beberapa rumah dan warga masih terjaga. Alice merasa tenang, setidaknya ini tempat ramai agar orang itu tidak bisa mencelakainya bersama pria di sampingnya. Sambil mengatur nafas yang tersengal, Alice menghentikan langkahnya. "Kenapa berhenti? Ayo, kalau orang itu menemukan kita bagaimana? Aku tidak ingin kau celaka." "Aku lelah. Kamu menyeretku dengan paksa, sampai kakiku berdarah. Lihatlah!" Alice berseru kesal, ia menunjukkan kakinya yang semakin parah, darah itu mengalir deras. "Ya ampun. Maafkan aku, ayo kita obati." "Siapa namamu?" Alice bertanya ingin tahu. Pria baik yang menolongnya disaat bahaya mengancam nyawanya. "Arsen. Kamu Alicia? Kenapa kabur?" Alice terkejut, ternyata mengenal kakaknya? Ada hubungan apa sebenarnya Arsen dengan Alicia? "Maaf, aku adalah Alice. Sedangkan kakak sekarang di rumah mas Keenan," jawab Alice. "Alice?" Arsen sedikit bingung. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN