Ajakan Menikah

1164 Kata
Yoga mondar-mandir di depan ruang IGD. Perasaannya gelisah tak menentu bahkan jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Rasa takut akan kehilangan calon buah hatinya membuatnya tak bisa berpikir jernih. Sudah setengah jam Dokter dan beberapa perawat memeriksa Vera, belum ada tanda-tanda mereka ke luar untuk memberikan keterangan. Sedangkan Ayunda masih menangis dalam pelukan Dandi. Terus menyalahkan diri karena menyetir sambil mengangkat telepon. Mengabaikan keselamatannya dan sahabatnya yang sedang hamil muda. Sreekkk ... pintu IGD terbuka, perawat memanggil keluarga Vera. “Saya, Sus,” jawab Yoga. “Mas, suaminya Bu Vera?” Yoga mengangguk yakin. “Saya suami Vera dan Ayah dari janin yang sedang dikandungnya.” “Mari ikut saya, Mas. Dokter akan menjelaskan kondisi Bu Vera.” “Iya, Sus.” Setelah masuk ke dalam ruang IGD, Yoga langsung menghampiri Vera, di sebelahnya masih ada Dokter jaga yang memeriksanya tadi. Perasaan Yoga sedikit lega setelah melihat Vera telah siuman. Luka di kepalanya sudah diobati dan ditutup menggunakan kain kasa. Dokter menepuk pundak Yoga, tersenyum lalu mengatakan, “Kondisi Bu Vera dan janinnya baik-baik saja. Untuk sementara waktu beliau harus bed rest total sampai kondisi Ibu dan janin membaik.” “Iya, Dok. Saya akan menjaga Istri saya dengan sangat baik. Dan, akan memastikan kejadian hari ini tidak akan terjadi lagi,” ujar Yoga. Vera mematung di atas ranjang pasien. Bingung dengan pernyataan pria yang sudah menghamilinya. ‘Istri’ satu kata yang membuat dirinya kesal setengah mati. Setelah Suster dan Dokter pergi, Yoga menggeser kursi, lalu duduk di samping ranjang Vera. Mendesah lega setelah mendengarkan kabar baik soal kondisi calon anaknya. “Hai, kita bertemu lagi,” sapa Yoga. “Hmmm,” jawab Vera, cuek dengan calon Ayah dari janin yang ada di perutnya. “Kenapa tidak mencari ku?” “Untuk apa?” tanya balik Vera. Yoga tidak habis pikir dengan wanita keras kepala di depannya. Sudah tahu jika hamil masih kekeuh tidak mau meminta pertanggungjawaban darinya. Menghadapi wanita yang memiliki gengsi setinggi gunung himalaya dan keras kepala harus dengan cara lembut. Dan, Yoga ahlinya. “Mari kita menikah,” ucapnya dengan wajah serius. “Bagaimanapun juga janin yang telah tumbuh di rahimmu adalah anakku.” “Aku tidak mau menikah,” jawab Vera. Yoga kaget, tak percaya jika ada wanita menolak menikah saat sedang hamil. “Kita memang belum saling mengenal, tapi janin tak berdosa ini butuh orang tua lengkap saat dia lahir ke dunia,” ujar Yoga, membelai lembut perut Vera. Seketika tubuh Vera membeku ketika mendapatkan perlakuan manis dari Yoga. Saat menjalin hubungan dengan mantan tunangannya, dia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu . “Ehemm,” dehem Vera, menyingkirkan tangan Yoga dari perutnya karena merasa risih sekaligus canggung. “Aku butuh waktu.” “Kamu sudah hamil masih minta waktu untuk menjawab ajakan menikah dariku?” “Menikah bukan hal sepele dan aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup.” “Kita bisa saling mengenal setelah menikah. Dan aku pun sama sepertimu. Hanya ingin menikah sekali seumur hidup.” Vera mendengkus, tak suka ketika Yoga memaksanya untuk menikah. Banyak hal yang perlu dia pertimbangkan. Apalagi rencana pernikahannya baru saja gagal. Bagaimana dengan tanggapan keluarga besarnya? Setelah dicampakkan begitu saja oleh mantan tunangannya, kini dia hamil dengan seorang pria yang umurnya jauh lebih muda. Pasti dia akan mendapatkan cibiran. Tidak hanya dari keluarga tapi juga dari para tetangganya. *** Setelah Vera dipindah ke ruang perawatan biasa, Yoga dan Dandi pamit pergi. Mereka harus segera ke cafe untuk menghadiri rapat. Layaknya suami siaga, Yoga menyiapkan semua keperluan Vera. Sampai meminta Bibik di rumahnya membawakan makanan sehat khusus bumil. Perlakuannya tidak membuat Vera tersentuh justru merasa risih, menganggap jika Yoga bersikap berlebihan. “Suamiable banget ya si brondong ganteng. Gemes sama semua perhatiannya,” ujar Ayunda, dia sedang menikmati makan malam, masakan Bibik yang bekerja di rumah orang tua Yoga. “Lebay dia. Kayak kita nggak mampu beli makan saja. Harus banget sehari tiga kali nyuruh Bibik membawakan makanan ke rumah sakit.” “Eh, Ver, kamu tuh harusnya bersyukur bertemu Pria sebaik Yoga. Coba kalau kamu ketemu Pria b******k seperti Ernest, bakal kabur tidak mau bertanggung jawab.” “Aku bisa mengurus anakku sendiri.” “Dih, bicaranya,” omel Ayunda. “Kamu pikir gampang ngurus anak seorang diri? Meskipun uangmu banyak tetap butuh sosok suami.” Vera menaruh sendok, mengunyah makanan yang ada di mulutnya secara perlahan, sambil memikirkan ucapan sahabatnya barusan. Luka di hatinya saja belum berhasil dia sembuhkan. Kini harus menerima orang baru yang akan mengisi hatinya. Bagaimana jika Yoga bukan penyembuh? Jika mendapatkan pengkhianatan lagi, Vera tidak akan sanggup melanjutkan hidupnya. “Ver ...” Ayunda, menghampiri sahabatnya yang masih asik dengan lamunannya. “Eh, iya, kamu bicara apa?” Vera gelagapan, kaget saat lengannya disentuh Ayunda. “Lanjutkan makannya. Setelah itu, minum obat.” Vera menghela nafas, mengangguk lalu kembali mengambil sendok yang ada diatas piring. Nafsu makannya bertambah dan anehnya dia tidak merasakan mual meski sudah menghabiskan banyak nasi juga lauk. Makan malam keduanya diselingi cerita soal pekerjaan masing-masing. Dan, rencana Vera kedepannya. “Mau buah?” tawar Ayunda setelah membereskan rantang dan juga piring setelah makan malam selesai. “Boleh, apel saja.” Ayunda mengambil dua buah apel, lalu berjalan mendekati ranjang. “Biasanya Ibu hamil suka makan yang asem-asem. Kayaknya kamu nggak ya, Ver?” “Aku justru suka manis, Yun. Setiap kali makan asam langsung mual.” “Kapan kamu mau menelpon orang tuamu? Mereka harus tahu kondisimu yang sebenarnya.” “Aku sudah mengirim pesan pada Mama. Belum dibalas, mungkin beliau sedang makan malam dengan Papa.” Ayunda memberikan piring berisi potongan buah apel pada Vera. Meminta sahabatnya untuk menghabiskannya. “Aku bingung mau menjelaskan dari mana. Papa dan Mama pasti kecewa denganku.” Ayunda mengambil tangan Vera yang terbebas dari jarum infus, menggenggamnya erat. “Semua orang tua pasti kecewa dengan apa yang kamu perbuat. Namun, aku yakin Om dan Tante paham dengan kondisimu.” “Mereka pasti malu memiliki anak sepertiku. Gagal menikah lalu hamil di luar nikah. Sungguh memalukan!” “Ckck, aku justru bersyukur kamu gagal menikah. Bayangkan jika kamu jadi menikah dengan Ernest, jadi apa rumah tangga kalian setelah tahu Pria itu tukang selingkuh.” Vera memejamkan kedua matanya, kembali menghela nafas lelah. Kepalanya pusing memikirkan cara untuk menjelaskan jika dia tengah hamil. Dia merasa menjadi wanita paling malang di dunia. Bulan lalu dicampakkan oleh tunangannya, sekarang hamil dengan pria tak dikenalnya. "Kalau aku pikir lagi, Yoga ganteng dan bertanggung jawab." "Ishhh, kamu ini!" dumel Vera. "Bukan soal gantengnya. Tapi, masalahnya apa keluarganya mau menerimaku?" "Jelas mau lah. Siapa sih yang mampu menolak pesona seorang Vera Bimantara, Putri tunggal Profesor Arya Bimantara." "Gak usah lebay! Lebih baik bantu aku cari cara agar Mama dan Papa tidak ngamuk." Ayunda berdiri dari tempat duduknya, mendekatkan wajahnya pada telinga sahabatnya lalu mengatakan, “Sebentar lagi Om dan Tante sampai rumah sakit.” Kedua mata Vera membulat sempurna, tangannya yang terbebas dari jarum infus menjambak rambut sahabatnya. “Ayunda, awas kamu yaaaa ...” “Awwww, sakit, Ver, lepaskan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN