Hamil?

1377 Kata
"Hueeekkk, hueeekkk." Vera kembali memuntahkan isi perutnya setelah makan siang. Sejak pagi dia belum makan, karena setiap kali perutnya kemasukan makanan pasti langsung mual lalu muntah. Keadaan ini sudah terjadi hampir satu Minggu lamanya, dia hanya minum vitamin yang dibelinya di apotik, karena dia mengira kelelahan bekerja hingga masuk angin. Ayunda membantu sahabatnya, memijat tengkuk Vera dan mengoleskan minyak kayu putih. Mulutnya tak bisa diam, ngomel sejak tadi karena yakin sahabat sejak kecilnya tengah berbadan dua. "Masih mual?" Tanya Ayunda pada Vera. "Sudah enggak tapi kepalaku pusing. Barang-barang disekitar seperti berputar-putar." Keduanya berjalan keluar dari toilet, menuju ke arah sofa. Dengan langkah pelan Ayunda menyamai langkah Vera karena tubuh sahabatnya lemas tak bertenaga. Makan siang tidak berlanjut karena Vera merasa mual saat melihat nasi rendang yang dipesan sahabatnya. Terpaksa Ayunda meminta OB untuk menyingkirkan menu makan siangnya. Dengan wajah cemberut Ayunda menaruh tangannya ke depan d**a. Siap memberikan ceramah untuk sahabatnya yang keras kepala. "Buruan pakai testpack nya! Aku yakin 1000% keponakanku sudah hadir di dunia ini." "Bicaramu, Yun," tegur Vera. "Aku hanya telat ..." "Tujuh Minggu," sahut Ayunda sebelum Vera melanjutkan kalimatnya. Ya, Vera telat datang bulan selama 7 Minggu. Siklus menstruasi yang tidak lancar membuatnya bisa bersikap santai. Dia masih yakin jika sebentar lagi akan mendapatkan tamu bulanan dan dapat menepis dugaan sahabatnya. Namun, setelah mendapatkan tanda-tanda kehamilan membuat hatinya sedikit resah. Meskipun hatinya mulai meragu tapi pikirannya masih meyakini jika dia tidak sedang mengandung. "Kenapa diam saja? Benar 'kan yang aku katakan. Di dalam perutmu sekarang telah tumbuh calon keponakanku," ujar Ayunda, sebelah tangannya membelai lembut perut sahabatnya. Buru-buru Vera menyingkirkan tangan Ayunda, lalu menggelengkan kepala berulang kali. "Enggak, aku enggak boleh hamil!" "Aku yakin kamu hamil." Ayunda masih kekeuh dengan keyakinannya. Setelah sahabatnya menceritakan malam panas yang tak diingatnya, dia langsung menebak tahun depan akan memiliki keponakan lucu. Vera menyandarkan punggungnya pada sofa, memijat pangkal hidungnya ketika kepalanya kembali berdenyut. "Gagal menikah dan kini hamil dengan seorang Pria tak ku kenal. Bagaimana dengan karir yang baru aku mulai? juga, tanggapan kedua orang tua dan keluarga besar ku?" Ayunda berdiri dari tempat duduknya, berjalan menuju ke arah meja kerjanya, mengambil ponsel yang berada di dalam tas. Siang ini, dia mengundang Vera untuk makan siang di kantornya untuk merayakan keberhasilannya memenangkan tender mega proyek. Rencana makan siangnya gagal karena sahabatnya memuntahkan setiap makanan yang dimakannya. Kini dia berencana memanggil Dokter pribadi keluarga untuk memastikan jika dugaannya benar. “Pulang nanti saja. Sebentar lagi Dokter akan datang,” ujar Ayunda setelah mendapatkan balasan pesan dari Dokter keluarganya. Vera mendesah pasrah, tubuhnya benar-benar tak memiliki tenaga. Ingin kabur tapi dia tidak mungkin bisa mengemudikan mobilnya sendiri. *** Kesibukan Yoga minggu ini bertambah banyak ketika Daddy-nya meminta bantuannya. Dia mendapatkan tugas mendesain semua ruangan apartemen yang baru saja rampung di bangun. Dia harus pergi ke Surabaya dan siang ini baru mendarat kembali di Semarang. Hingga tak memiliki waktu mencari wanita yang telah tidur dengannya. “Hai, Yoga, selamat datang ...” Seorang gadis cantik bernama Tasya menunggu kedatangan Yoga dengan membawa satu buket bunga. Dress berwarna putih berpadu dengan bordir motif bunga membuat penampilannya terlihat cantik sekaligus manis. Banyak pria yang menyukainya namun hanya Yoga yang mampu menarik perhatiannya. Sejak lama, saat mereka bertemu pertama kali dibangku SMP. “Siapa yang memberitahumu aku pulang hari ini?” tanya Yoga dengan wajah tak suka. Tasya berjalan dengan anggun ke arah Yoga berdiri. Senyumnya tak lepas dari bibirnya, bahagia akhirnya bisa menemui cinta pertamanya. “Mommy yang memberitahuku,” jawabnya. “Untuk apa?” tanya Yoga ketika Tasya memberikan bunga. “Kebetulan aku tadi sedang berada di toko bunga. Sekalian saja aku belikan satu untukmu.” “Aku tidak suka bunga karena alergi serbuk sari. Kamu melupakan itu, Sya?” Tasya mematung sesaat setelah mendengar ucapan Yoga. Setelah itu kembali tersenyum. “Ini bunga tulip, Ga. Serbuk sarinya hanya sedikit. Aku yakin kamu tidak akan bersin-bersin saat memegangnya.” Yoga menggeleng, tersenyum pada Tasya, lalu berjalan meninggalkan gadis itu tanpa mengatakan apapun. Sebelum naik pesawat dia sudah mengirim pesan pada Dandi agar menjemputnya ke bandara. Karena dia harus menghadiri rapat bulanan bersama para karyawan coffee shop. “Yoga, tunggu,” panggil Tasya, berlari dengan terseok-seok karena memakai sepatu heels. “Ada apa lagi?” “Kenapa kamu meninggalkanku?” tanya balik Tasya, nafasnya naik turun setelah mengejar Yoga. “Aku kesini untuk menjemputmu. Mobilku ada di sebelah sana,” tunjuknya pada mobil berwarna putih. “Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot menjemput ku,” ujar Yoga. “Aku tidak repot dan kebetulan sedang ada waktu senggang.” Mobil sedan berwarna hitam berhenti tepat di depan keduanya. Pintu kaca terbuka, Dandi tersenyum menyapa Yoga juga Tasya, tanpa mau repot turun. Tasya membungkukkan badan, menjawab sapaan teman sekolahnya. “Hai, Dan, lama kita tidak berjumpa.” “Kamu sibuk kuliah dan sepertinya sudah nyaman menjadi warga Jogja,” jawab Dandi. Yoga bergegas masuk ke dalam mobil, malas berbasa-basi lebih lama lagi dengan Tasya. Menurutnya gadis itu tidak akan berhenti mengejarnya jika dia memberinya sedikit celah. “Ga, kamu seharusnya pulang bersama ku.” protes Tasya. “Maaf, Sya, aku harus segera ke Cafe. Tidak ada waktu untuk menemanimu jalan-jalan,” tolak Yoga. “Duluan ya, Sya,” ucap Dandi, melambaikan tangan pada teman sekolahnya sebelum menjalankan mobilnya. Kedua sahabat itu tidak terlalu menyukai Tasya. Sikap ramah, lembut dan sopan hanya dia tampilkan pada orang-orang kaya, jika dengan orang yang dianggapnya tak setara dengannya tasya akan menunjukkan sifat aslinya. Hal itu lah yang membuat Yoga dan Dandi selalu menjaga jarak dengan Tasya. Meski gadis itu berusaha mendekati keduanya sejak SMP. “Aku rasa tasya makin agresif,” ujar Dandi. “Dan, Mommy yang menjadi targetnya kali ini.” “Kamu harus siap-siap menghadapi rengekan manjanya setiap hari, Ga.” Yoga mendengkus, memainkan ponselnya karena menunggu balasan pesan dari seseorang. “Aku tidak tertarik menjalin hubungan dengan gadis manja dan sombong sepertinya.” “Oh, iya, Wawan kemarin mengatakan jika kamu mencari pelanggan cantik. Apa itu benar?" "Hmmm." "Tumben kamu tertarik dengan pelanggan cafe. Secantik apa dia hingga membuat seorang Yoga penasaran." "Bukan soal wajah cantiknya. Dia adalah wanita yang sudah tidur denganku bulan lalu." Ciiittt!!! Saking kagetnya Dandi mengerem mobilnya secara mendadak. Brakkk!!! Hingga mobil di belakangnya menabrak mobilnya. Cukup kencang hingga mobilnya terdorong ke depan. "Dandi!" teriak Yoga, mengencangkan pegangannya pada hand grip saat tubuhnya terhuyung ke depan. "Maaf, Ga. Aku tidak sengaja menginjak rem." Mereka menoleh ke belakang, melihat mobil yang telah menabraknya. Lalu Bergegas turun untuk melihat keadaan para penumpangnya. "Ahhh," erang kesakitan Yoga ketika menggerakkan kakinya. Akibat benturan keras membuat sebelah kakinya sulit digerakkan. "Ga, kakimu kenapa?" tanya panik Dandi. "Tidak apa-apa, hanya sedikit sakit karena benturan saat kecelakaan tadi. Ayo turun," ajaknya, Yoga turun lebih dulu sambil menahan sakit ketika dia menggerakkan kedua kakinya. Dia melihat mobil Dandi bagian belakang rusak cukup parah. Buru-buru dia menghampiri mobil yang menabraknya. Dia cemas dengan penumpang yang ada di dalamnya. Yoga mengetuk pintu kaca. Melakukannya berulang kali karena tidak ada jawaban. Sementara Dandi menghubungi ambulance dari rumah sakit terdekat. “Ver, kamu tidak apa-apa ‘kan?” tanya Ayunda, panik saat melihat sahabatnya merintih kesakitan memegangi perutnya. “Aaaawww, sakit, Yun,” gumam pelan Vera. Tokkk ... Tokkk ... Mendengar ketukan kaca mobil Ayunda buru-buru membukanya. “Mas tolong bantu buka pintunya,” ujarnya dengan wajah panik. Yoga, mengangguk, lalu mencari benda yang bisa dibuat untuk mencongkel pintu mobil. Sebelum Yoga meninggalkan mobil yang menabraknya, sahabatnya menghampirinya lebih dulu. “Pakai ini saja, Ga,” ucap Dandi, memberikan alat congkel yang selalu ada di dalam mobilnya. Yoga bergegas membuka pintu karena mendengar suara tangisan penumpang di dalam mobil. Tak butuh waktu lama pintu mobil terbuka, buru-buru dia menolong satu penumpang yang duduk dibalik kemudi. “Tolong teman saya, Mas,” ujar Ayunda. Tangisnya pecah dan kedua tangannya bergetar ketika melihat darah mengalir di kedua paha sahabatnya. “Iya, Mbak,” jawab Yoga, berlari mengitari mobil, berusaha menolong penumpang satunya. Klek!!! Pintu terbuka. “Kamu ...” Yoga tidak menyangka jika salah satu penumpang yang ditolongnya adalah wanita yang dicarinya sejak bulan lalu. “Mas tolong, saya sedang hamil, selamatkan anak saya,” ujar Vera, matanya terpejam menahan sakit yang luar biasa. Degh!!! Jantung Yoga seperti berhenti berdetak saat itu juga. Dia tidak menyangka jika wanita yang tidur bersamanya telah mengandung calon anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN