Chapter 3

820 Kata
BAB 3 “Mela, Bapak besarkan kamu dari kecil, berharap suatu hari nanti kamu bisa menjadi kebanggaan keluarga. Namun apa? Tidak ada hal baik yang bisa kamu berikan pada Bapak yang telah berjasa membesarkanmu ini!” “Bahkan menuruti permintaan kecil bapak saja kamu tidak mau! Bapak kecewa punya anak seperti kamu, Mela!” “Setidaknya lihat Mbakmu---Miranda, hidupnya mapan dan terpandang. Punya suami pekerja keras dan sudah karyawan. Sudah punya rumah. Tiap bulan bisa ngasih sama ibu dan bapak! Lha kamu?” “Apa yang sudah kamu berikan pada ibu dan bapak? Selama dua puluh empat tahun kami besarkan! Nggak ada timbal baliknya sama sekali! Bisanya hanya buat malu dan buat bapak kecewa!” ujarnya lagi. Aku semakin erat memeluk Alika. Ingin aku berlari ke kamar dan menangis sepuas-puasnya. Setiap ucapan Bapak terasa pedih mengiris. Mungkin jika ibu mengatakan dia bukan bapak kandungku, maka aku akan percaya. Sejak kecil, perlakuannya sangat berbeda padaku dengan perlakuannya pada Mbak Miranda. Aku menguatkan hati. Kututup kuping Alika meski dia terus menggeleng-geleng kepalanya karena tak nyaman. Bagaimanapum aku harus tetap di sini mendampingi Mas Yasa. Dia tidak mungkin berkutik menghadapi bapak sendirian di sini. “Maafin Mela kalau sudah mengecewakan bapak! Maafin Mela yang baru mampu menumpang dan selalu menyusahkan Bapak! Maafkan Mela kalau tidak sebaik Mbak Miranda! Maafkan Mela kalau sampai saat ini masih membuat Bapak malu!” ucapku dengan gemetar. Air mata sudah deras mengalir membasahi pipi. “Iya, kamu itu keras kepala, Mela! Cuma mengabulkan permintaan kecil bapak saja tidak bisa! Apa hebatnya sih, suami kamu yang pengangguran itu, hah?” “Sadar Mela! Sadar! Hidup itu tidak akan kenyang hanya dengan makan cinta! Lihat anak kamu, makin besar makin butuh biaya! Apa kamu kira hanya dengan ngendon di kamar, uang itu bisa datang sendirinya?! Nggak akan, nggak ada dalam sejarah tujuh keturunan dari leluhur bapak!” ujarnya dengan nada tinggi beberapa oktaf, entahlah. “Pak, tolong jangan terus memojokkan Mela! Semua itu masalahnya ada pada saya! Saya sudah jelaskan ke Bapak ‘kan?” “Saya di kamar bukan hanya main-main dan istirahat! Saya sedang membangun jaringan pasif income dari konten di dunia digital! Suatu saat nanti saya yakin bisa membahagiakan Mela dan memenuhi semua kebutuhan finansialnya!” ujar Mas Yasa menjelaskan untuk ke sekian kalinya. “Syukur kalau kamu sadar jika semua masalah itu ada di kamu! Dari dulu jawabannya sama! Sok pinterlah pake bahasa-bahasa kekinian!” “Kalau malas ya, malas saja! Jangan banyak alasan! Bapak sudah nggak percaya lagi sama omong kosong kamu, Yasa!” ujar bapak sambil melengos membuang muka. Aku memejamkan mata. Menekan rasa sakit yang semakin menjalar ke d**a. “Saya tidak pernah menjanjikan omong kosong! Ini sms banking saya, Pak! Bapak lihat sudah mulai ada pemasukan meski belum stabil dan besarannya belum seberapa! Tapi ini sudah bukti kalau diamnya saya di rumah itu bukan tanpa alasan!” Mas Yasa mengambil gawainya dan menunjukkan sms banking pada bapak. “Ck! Kamu pikir bapak bodoh! Itu bisa saja teman kamu disuruh sms! Cuma nulis kayak gitu semua orang juga bisa! Alasan kamu saja itu. Kamu sengaja minta temanmu, kamu sms buat bodoh-bodohi si Mela!” ujarnya tetap tidak percaya. “Lalu apa yang harus saya buktikan agar Bapak percaya?” tanya Mas Yasa masih dengan nada datar. “Kamu pergi dari rumah ini! Jangan pernah kembali sebelum kamu punya rumah dan pekerjaan tetap yang bisa mencukupi kehidupan anak saya! Sekarang! Pergi! Buktikan omong kosongmu selama ini!” bentak Bapak. Aku sampai terperanjat mendengar kalimatnya. Mas Yasa mengepalkan tangannya. Aku tahu, harga dirinya sebagai seorang lelaki pasti terluka. “Bapak, Bapak jangan keterlaluan sama Mas Yasa!” pekikku tak tahan. “Diam!” bentaknya kali ini padaku. “Ingat, Yasa! Kalau kamu memang tidak bisa membuktikan bualanmu itu! Saya minta kamu tidak usah kembali dan ceraikan saja si Mela! Saya akan jodohkan dengan calon mantu pilihan saya! Sekarang tinggalkan rumah ini!” hardiknya lagi. “Baik, kalau itu mau Bapak! Saya berjanji akan secepatnya menjemput Mela kembali dengan mobil terbaik yang akan saya beli!” ucap Mas Yasa dengan suara gemetar. Bapak malah tertawa. Lalu tersenyum miring mendengar perkataan Mas Yasa. “Mel, Mela! Suami kamu itu tukang ngimpi! Kesambet hidupnya kebanyakan tidur soalnya!” ujar Bapak sambil menggeleng-geleng kepala. “Dek, Mas pergi dulu! Secepatnya mas akan kembali untuk jemput kamu dan Alika!” ucapnya. “Enggak, Mas! Aku ikut!” Aku menarik lengannya. “Hal itu mas kembalikan ke kamu, Dek! Mas siap-siap dulu!” ujarnya sambil mengayun langkah cepat menuju kamar kami di belakang. “Bapak nggak punya hati!” pekikku sambil menangis. Aku langsung masuk ke dalam hendak menyusul Mas Yasa. Lebih baik aku pergi dari pada di sini tanpa suamiku. Mas Yasa sudah memasukan peralatan digitalnya pada tas gendong. Ada beberapa pakaian yang dia masukan juga. Tidak banyak hanya beberapa helai saja. “Mas, kamu mau pergi ke mana? Aku ikut, Mas!” Aku memegang tangannya. “Kamu yakin? Mas akan coba pulang dulu ke Surabaya, Dek! Mungkin benar, kalau nunggu dari konten ini menghasilkan akan terlalu lama! Mas mau pinjam uang modal pada keluarga, Mas! Kamu beneran mau ikut, tapi harus siap menghadapi sikap keluarga Mas yang memang belum merestui pernikahan kita, Dek! Mas cuma takut kamu nggak kuat!” lirihnya. Aku terdiam. Dilemma datang. Sudah dua tahun menikah, bahkan aku belum mengenal seperti apa rupa mertuaku dan saudara-saudara Mas Yasa. Pilihan yang Mas Yasa ambil telah benar-benar membuatnya menjadi orang terbuang juga dari keluarganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN