BAB 2
“Sabar ya, Dek! Maafkan pekerjaan Mas yang tidak keren seperti suaminya Mbak Miranda yang kantoran! Padahal kan pendapatan Mas sekarang saja sudah mulai lebih besar dari pada gaji UMR yang ada! Makanya kamu udah nggak usah jualan sayur lagi! Mending di sini bantuin Mas bikin konten biar lebih menarik lagi,” ujarnya.
“Gak apa, Mas! Biar nanti ketika kita sukses bisa memberikan kejutan yang indah untuk mereka! Biar mereka menganga melihat tukang ngendon dan tukang sayur tapi isi rekeningnya lebih besar dari pada suaminya Mbak Miranda yang pekerja kantoran!” ucapku sambil mencoba tersenyum.
Mas Yasa tersenyum lembut. Dia lelaki yang sangat pengertian sebetulnya. Cuma memang karena waktunya habis di kamar jadi seolah dia lelaki yang tidak bertanggung jawab terhadap keluarga.
Pernah dulu beberapa kali menggantikanku keliling menjual sayur. Kami bertukar posisi. Aku dimintanya untuk membuat konten agar tidak terlalu berat kerjanya. Namun dalam hitungan hari, jam tayang langsung menurun drastis. Beberapa subscriber left juga. Daripada semakin parah, akhirnya kami bertukar posisi semula.
“Nih, Dek, lihat! Ini uang hasil gajian dari youtube bulan ini!” Mas Yasa menunjukkan sms banking pada gawainya di mana sudah ada uang masuk.
“Alhamdulilah, Mas! Ini biar ditabung saja buat beli rumah, Mas! Aku masih akan tetap jualan sayur selama kita belum punya rumah dan usaha sendiri! Kalau ngonten gini ‘kan rame-ramean ya, Mas?” tanyaku sambil menatapnya. Alika kini tengah beralih fokus menonton layar laptop dan menonton film kartun kesukaannya.
“Iya ‘kan semua ada plus minusnya! Kalau kerja kantoran gaji tetap jadi tiap bulan sudah pasti dapet segitu, tapi ya, segitu saja! Kalau kayak Mas gini bebas! Bisa dapet berkali-kali lipat tapi bisa juga nggak dapat!” ujarnya.
“Hmmm … iya, Mas! Nggak apalah … saat ini yang penting kita bisa makan. Sama uangnya jangan diboros-boroskan, Mas! Kita lebih baik perih sekarang asal punya rencana dan tabungan buat masa depan! Aku pengen buka usaha, Mas! Jadi sekarang aku akan bantu kamu semampu yang kubisa!” ujarku.
“Tapi bisa nggak kalau kamu nggak usah keliling jualan sayur lagi, Dek! Mas sakit kalau kamu dihina-hina dan dikatain terus sama Mbak Miranda!” ucapnya lirih.
“Biar aja, Mas! Sudah kenyang juga aku dari dulu! Nanti tiap bulan boleh aku ngasih ibu, Mas? Biar Bapak nggak rewel lagi kalau kita kasih duit! Jadi anggap saja kita ngontrak!” ucapku sambil menatapnya.
“Atau kita ngontrak saja, Dek?” Dia menatap ke arahku. Memberikan ide yang sudah lama terpikir olehku.
“Kalau kita ngontrak, Alika sama siapa kalau aku jualan sayur, Mas? ‘Kan kalau lagi rewel dia malah gangguin kamu terus jadi nggak bisa buat ngonten waktunya! Nanti malah makin lama kita bisa beli rumah, Mas!” ucapku sambil melirik ke arah putri kecil kami.
Memang selama di sini, dengan keberadaan ibu, aku tidak khawatir ketika meninggalkan Alika. Kadang Mas Yasa juga nggak bisa full jagain dia.
“Mel! Mela!” Kudengar ibu memanggil dari luar disertai ketukan pada daun pintu. Bahasan kami berhenti sebentar. Lalu aku berjalan menghampirinya.
“Ada apa, Bu?” tanyaku.
“Dipanggil bapak, katanya ada yang mau diobrolkan dengan Yasa!” ujarnya.
Aku mengerutkan dahi. Tumben sekali bapak mau mengobrol dengan Mas Yasa. Padahal selama ini jika bertemu pun jarang bertegur sapa.
“Tumben, Bu? Ada apa?” tanyaku akhirnya.
“Ibu juga nggak tahu, temuin saja! Ibu mau nganter dulu kue dari Bu RT ke rumah Miranda! Buat kalian ada di meja makan, ya!” ujar Ibu. Wanita yang tidak pernah berucap kasar maupun menyakiti hati kami selama di sini.
Akhirnya aku menggendong Alika dan mengikuti Mas Yasa yang berjalan ke depan menemui bapak. Wajahnya tampak suram ditekuk ketika menatap ke arah menantu yang memang selama ini sangat tidak disukainya.
“Bapak manggil saya?” tanya Mas Yasa sopan.
Kami duduk pada kursi bambu yang berhadapan dengan tempat Bapak duduk. Dia menatap tajam pada Mas Yasa.
“Iya, bapak mau bicara serius sama kamu!” ucapnya.
“Mau bicara apa, Pak?” tanya Mas Yasa pelan.
“Kemarin Juragan Amir datang ke sini! Dia sedang mencarikan calon istri untuk anaknya yang duda! Si Amran itu, sudah dari dulu juga suka sama si Mela!” ujarnya menjeda. Perasaanku sudah tidak enak dibuatnya.
“Lalu apa hubungannya dengan saya, Pak?” Mas Yasa mengerutkan dahi.
“Saya menginginkan menantu dengan pekerjaan yang jelas! Anak saya harus memiliki orang yang bisa membahagiakannya! Menafkahinya secara lahiriah juga!” ucapnya menjeda. Dipadamkannya rokok yang masih setengah dihisapnya.
Aku dan Mas Yasa masih berdiam menunggu kalimat bapak berikutnya.
“Selama dua tahun ini, saya lihat kamu hanya berleha-leha dan nggak ada kemauan sama sekali. Malah si Mela yang wara-wiri ke sana ke mari mencari rezeki! Hari ini sudah saya putuskan, bapak ingin agar kamu menceraikan Mela!”
“Bapak mau menjodohkan Mela dengan Amran yang sudah jelas-jelas memiliki pekerjaan meski hanya seorang supir di pabrik! Tapi jelas-jelas dia punya masa depan!” ujarnya pelan, tegas dan penuh penekanan.
“Mela nggak mau, Pak!” Aku langsung menyambar kalimat Bapak. Dia pikir aku itu apa? Semudah itu menentukan hidup dan masa depan hanya karena melihat semuanya dari cangkang.
“Mela, dengerin Bapak! Semua ini demi kebaikan kamu! Sekarang Kamu pilih, mau tetap menganggap bapak sebagai orang tua kamu dan mengikuti keinginan bapak? Atau tetap memilih lelaki pengangguran ini sebagai suami kamu dan anggap saja bapakmu ini sudah mati!” teriaknya.
Aku sampai mengelus d**a. Kupeluk Alika erat-erat. Menyesal tidak membiarkannya ikut ibu ke rumah Mbak Miranda saja. Kini, anakku harus menyaksikan perbuatan tidak menyenangkan seperti ini.