Chapter 4

857 Kata
BAB 4 “Kamu yakin mau ikut? Mas akan coba pulang dulu ke Surabaya, Dek! Mungkin benar, kalau nunggu dari konten ini menghasilkan akan terlalu lama! Mas mau pinjam uang modal pada keluarga, Mas! “ “Kamu beneran mau ikut, tapi harus siap menghadapi sikap keluarga Mas yang memang belum merestui pernikahan kita, Dek! Mas cuma takut kamu nggak kuat!” lirihnya. Aku terdiam. Dilemma datang. Sudah dua tahun menikah, bahkan aku belum mengenal seperti apa rupa mertuaku dan saudara-saudara Mas Yasa. Pilihan yang Mas Yasa ambil telah benar-benar membuatnya menjadi orang terbuang juga dari keluarganya. “Aku akan coba, Mas!” lirihku. Dia tersenyum, menatap dengan sorot netra sendu. Hatinya pasti sangat terluka dengan semua ucapan bapak. “Pegang dulu Alika, Mas!” Aku memberikan putri kami yang sejak tadi ketakutan dalam dekapanku. “Ika, Cayang!” ucap Mas Yasa sambil menghujani wajah mungil buah hati kami dengan ciuman. Aku segera membereskan pakaianku. Tekadku sudah bulat, mau ikut ke mana pun Mas Yasa pergi. Lagi pula, sikap Bapak sudah sangat keterlaluan. Di mana-mana rasanya tak ada orang tua yang ingin menjodohkan anaknya yang bersuami pada pria lain. Bapak sudah benar-benar kelewatan dan egois. Tas gendong usangku sudah penuh dengan pakaian. Yang kubawa kebanyakan pakaian Alika. Punyaku hanya beberapa potong saja. Ada rasa pedih menatap kamar yang sudah dua puluh emat tahun kutempati ini, kini harus kutinggalkan. Meski rumah ini sering membuatku tidak nyaman, tapi kamar ini menyimpan semua kisah dan kenang. “Sudah, Dek?” tanya Mas Yasa padaku yang diam mematung mengedarkan pandang ke seluruh penjuru ruangan. Aku menoleh padanya. Sejenak beradu tatap dengan netra teduhnya. Lalu memaksakan diri untuk tersenyum sebagai jawaban kalau aku baik-baik saja. “Kalau kamu belum yakin, nggak usah pergi! Mas nggak lama, secepatnya akan menjemputmu kembali!” ujarnya lembut. “Aku mau ikut kemanapun kamu pergi, Mas,” ucapku. “Ya sudah, ayo kita pamitan dulu sama bapak dan ibu!” ajak Mas Yasa. Kami berdua melangkah keluar dari kamar. Berjalan menuju ke depan di mana tadi bapak mencak-mencak pada kami. “Loh, kalian bawa tas besar mau ke mana?” Wanita penuh cinta yang kukasihi menatap heran. “Kami mau pamit, Bu!” ujar Mas Yasa sambil tersenyum. Lalu diraihnya punggung tangan ibu dan diciumnya. Aku mengikutinya. “Pamit ke mana?” Ibu menatap kami. Tatapannya mulai memancarkan kecemasan. “Bapak suruh mereka pergi, Bu! Buat apa tinggal di sini kalau cuma jadi benalu! Sudah besar bukannya nyenengin orang tua, malah nyusahin terus! Bikin malu!” ujar bapak ketus. Nyesss! Kembali ada benda tak kasat mata menghujam dadaku. Aku menghela napas panjang. “Bapak! Mereka itu anak mantu kita, Pak! Bapak nggak baik ngomong seperti itu! Mereka pergi? Pergi ke mana? Mereka belum punya rumah, Pak! Lagi pula tiap hari juga Mela jualan sayur, nggak bebanin juga sama kita! Bapak kenapa, sih?!” Kali ini ibu menatap tajam pada Bapak. “Ibu itu terus saja manjain si Mela, jadinya ngelunjak! Makin seneng aja kalau Ibu belain terus kayak gini! Biar aja mereka pergi! Paling dua hari juga balik lagi karena nggak dapat makan!” ejek bapak semakin menyesakkan. “Enggak, Mela nggak boleh pergi! Ibu nggak mau anak cucu ibu pergi! Kasihan Alika, Pak! Istighfar!” pekik Ibu lagi dengan napas yang turun naik mungkin menahan kesal. “Sudah Bu, nggak apa! Mela pergi sama Mas Yasa, kok! Mela mau ikut ke Surabaya! Kami akan baik-baik saja! Nanti Mela akan tengokin Ibu!” ucapku menenangkan. “Hah? Apa? Surabaya?!” tanya ibu dengan air mata sudah berlinang. Aku mengangguk pelan. “Enggak, Mel! Ibu mohon jangan pergi! Ibu bisa mati karena kangen sama Alika!” ujarnya dengan tangan gemetar meraih tanganku. “Biarkan, Bu! Biar mereka pergi! Biar si Mela tahu kalau hidup itu butuh duit, bukan hanya mau makan cinta!” ucap bapak menimpali sambil menyulut batang rokok. Setiap ucapannya makin tajam saja. “Bapak istighfar! Mela itu anak kandung Bapak juga! Alika---cucuku nggak boleh pergi!” ucap ibu dengan suara semakin parau karena tersela isak. “Maafkan kami, Bu! Bapak sudah tidak berkenan kami tinggal di sini! Kami pergi! Assalamu’alaikum!” ucap Mas Yasa sambil melangkah. Aku mengayun langkah juga mengikutinya. Bugh! Suara benda terjatuh. Aku menoleh dan tampak ibu terkulai lemas tak sadarkan diri. “Ibuuu!” Aku memutar tubuh cepat. Melepaskan tas usangku dan memburunya. Wanita yang sangat kusayangi sepenuh hati itu tidak boleh kenapa-kenapa. “Ibu, sadar, Bu! Jangan buat Mela makin sedih!” Aku menggenggam jemari tangannya yang terasa dingin. Mas Yasa mendekat. Lalu memeriksa denyut nadi Ibu. Sementara aku terisak tanpa henti. “Ibu hanya pingsan, mas panggilkan dokter ya, Dek!” bisiknya sambil mengusap lembut punggungku. Aku mengangguk sambil terus memeluk tubuh ibu yang terkulai lemas di pangkuanku. “Kamu gendong Alika dulu, biar mas bawa Ibu ke dalam! Setelah itu mas panggil dokter klinik ke sini! Sebaiknya kamu nggak usah ikut pergi! Khawatir kondisi kesehatan ibu malah memburuk karena kehilangan!” ucap Mas Yasa. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya isak tangis yang ada kini. Kupeluk Alika dan kuciumi pucuk kepalanya. Mas Yasa membawa ibu ke ruang tengah. Sementara bapak terlihat masih sinis saja pada Mas Yasa. Bapak memang keterlaluan sekali. Setelah itu, mas Yasa mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Mas, pamit ya, Dek! Tunggu Mas ke sini jemput kamu sama Alika! Semoga nggak lama! Mas hanya butuh kamu untuk menunggu dan setia!” “Untuk biaya dokter perawatan ibu, biar Mas yang bayar nanti! Mas pergi, jaga Alika baik-baik! Assalamu’alaikum!” ucapnya. Satu kecupan mendarat di keningku. Begitupun wajah mungil Alika diciuminya berulang kali. “Wa’alaikumsalam! Mas …,” lirihku. Sesak tapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sekarang selain pasrah pada takdir kehidupan aku tak bisa berbuat apa-apa. Seolah berada di dua tepian curam. Aku sayang ibu, sangat menyayanginya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN