bc

Rekening Suamiku

book_age16+
detail_authorizedDIIZINKAN
7.1K
IKUTI
46.0K
BACA
billionaire
possessive
family
CEO
drama
tragedy
bxg
city
like
intro-logo
Uraian

“Duh, aduh, aduh! Pasangan tukang ngimpi emang! Ngarepin bisa beli rumah besar tapi nggak mau kerja!” tanpa kukira Mbak Miranda sudah berdiri lagi di ambang pintu kamar kami. Tidak sopan memang.

“Mbak, jangan hinakan mimpi kami! Lagian kamu ngapain balik ke sini lagi? Bukannya isi tudung saji sudah bersih?” pekikku.

“Aku lupa, belum masak nasi! Jadi mau ambil sekalian! Masa kamu saja yang nikmati nasi dari hasil kerja keras Bapak! Enak banget numpang teruuuus!” ucapnya sambil mencebik. Lalu berjalan meninggalkanku dan Mas Yasa yang saling bertukar pandang.

“Sabar ya, Dek! Maafkan pekerjaan Mas yang tidak keren seperti suaminya Mbak Miranda yang kantoran! Padahal ‘kan pendapatan Mas sekarang saja sudah mulai lebih besar dari pada gaji UMR yang ada! Makanya kamu udah nggak usah jualan sayur lagi! Mending di sini bantuin Mas bikin konten biar lebih menarik lagi,” ujarnya.

“Nggak apa, Mas! Biar nanti ketika kita sukses bisa memberikan kejutan yang indah untuk mereka! Biar mereka menganga melihat tukang ngendon dan tukang sayur tapi isi rekeningnya lebih besar dari pada suaminya Mbak Miranda yang pekerja kantoran!” ucapku sambil mencoba tersenyum.

chap-preview
Pratinjau gratis
Chapter 1
BAB 1 “Percuma kamu punya suami modal tampang doang! Memangnya hidup mau kenyang hanya cuma makan cinta? Tiap hari kerjanya hanya ngendon di kamar dan jalan-jalan keliling komplek bawa kamera!” hardik bapak sambil melempar sayuran sisa jualanku hari ini. Aku hanya terdiam. Sudah bosan beradu debat dengan bapak yang selalu merendahkan dan menghina Mas Yasa. Lelaki yang sudah dua tahun terakhir ini menjadi suamiku. Pekerjaan Mas Yasa memang hanya serabutan. Namun akhir-akhir ini sebetulnya kondisi ekonomi kami sudah mulai membaik. Mas Yasa sudah berhasil memonetisasi channel Yutub yang digarapnya. Dia memang sejak dulu sangat suka membuat konten-konten menarik. “Yang penting aku dan Mas Yasa tidak merepotkan Bapak dan Ibu lagi! Sejak kami menikah cuma hitungan jari aku meminta bantuan kalian ataupun saudara yang lainnya! Itupun waktu Alika sakit. Selebihnya kami berjuang dan berdiri di atas kaki sendiri!” ucapku. “Kamu itu masih saja belain si Yasa itu! Lelaki yang bertanggung jawab itu harus punya pekerjaan tetap! Beliin kamu rumah! Bukannya dua setengah tahun terus-terusan ngendon di pondok mertua indah!” Mbak Miranda yang baru datang turut menceramahiku. Dia kakak satu ayah tapi beda ibu. Rumah Mbak Miranda hanya terhalang dua rumah dari rumah Bapak dan Ibu. “Mbak, apa kamu nggak bosan menghina suamiku terus? Kami tidak pernah merepotkan kalian! Bahkan tiap hari aku juga turut andil dalam urusan dapur! Kalian tidak sadar kalau setiap sore kalian juga ikut menikmati sayuran gratis sisa jualanku? Bahkan seringkali kalian mengambil sayuran dari tudung saji rumah ini!” ucapku dengan d**a menahan sesak. “Tuh, Pak! Si Mela makin nggak tahu diri saja! Cuma sayuran sisa saja diungkit-ungkit terus!” cebiknya sambil menginjak seikat kangkung yang tadi dilempar Bapak. Nyess! Hatiku terasa nyeri. Bapak melihat ke arahku dengan tatapan tidak suka juga. “Kamu itu memang selalu keras kepala, Mel! Dari dulu juga Bapak udah larang kamu nikah sama si Yasa! Orang nggak ada kerjaan kayak gitu! Lihat Mbakmu sekarang! Dia sudah punya rumah sendiri dan hidup mapan! Coba kamu dulu mau dilamar sama si Sobir, sekarang kamu sudah jadi istri kepala desa!” ucapnya. Hidup di kampung seperti ini memang sangat menjadi sorotan ketika suami memang tidak punya pekerjaan. Terlebih Mas Yasa yang memang pekerja seni tidak terlihat kerja kerasnya di depan Bapak. Dia hanya sesekali dipanggil untuk menyanyi di acara nikahan. Selebihnya dia berkutat dengan laptop dan benda pipih di kamarnya. Membuat konten Youtube yang katanya suatu hari nanti bisa jadi pasif income. Benda-benda mahal itu dia sudah miliki jauh sebelum dia menikah denganku. Mas Yasa bukan orang pendidikan rendah. Namun karena pilihan profesi yang tidak nyata ini, dia selalu direndahkan. Bukan hanya dari pihak keluargaku, dari keluarganya juga. Bahkan saat kami menikah, tak ada satupun keluarga besarnya dari Surabaya yang datang ke sini. “Sekarang ke mana lagi si Yasa pengangguran itu? Masih ngendon aja di kamar? Malah relain istri keliling jualan! Memang menantu miskin nggak tahu diri!” gerutu Bapak. Aku menyeka air mata. Kupunguti sayuran yang tadi dilemparkan Bapak. Sementara Mbak Miranda masuk ke dalam dan pastinya langsung membungkus masakan yang tersisa. Dia paling malas masak dan sukanya menghabiskan stok yang ada di rumah. “Mbak, sisain ayamnya! Itu sengaja kugoreng lembek buat Alika, biar gampang nanti dilembutkannya!” ucapku. Alika putriku yang usianya sudah satu setengah tahun lebih. “Alaah! Pelit banget kamu, Mel! Sudah miskin terus pelit nanti seret lho rejekinya!” Dia tidak menggubris. Lalu pergi setelah misinya berhasil. Mengeruk isi dari tudung saji. Aku hanya mengelus d**a. Lalu berjalan ke kamar kami yang ada di belakang. Kubuka pintunya tampak Alika tengah duduk di punggung Mas Yasa yang sedang fokus sama laptopnya. Dia sedang mainkan rambut ayahnya. “Mas, udah makan?” tanyaku. “Belum, Mel! Ini tanggung konten aku sebentar lagi selesai! Ini sudah banyak subscriber dan jam tayangnya sudah lumayan! Semoga mimpiku bisa segera jadi nyata! Aku bisa menjadi seperti Atta halilintar yang kaya raya hanya dengan hasil ngonten, Dek!” ujarnya. “Iya, Mas! Aku doakan! Pengen cepetan punya rumah sendiri dan pindah dari sini!” ucapku sambil terduduk di samping Mas Yasa. “Sabar, ya, Dek! Bulan ini ‘kan penghasilanku sudah lumayan. Hanya memang butuh untuk fokus dan konsisten saja! Kamu juga nggak perlu jualan sayur lagi, Dek! Uang kita bisa cukup hanya untuk menyambung hidup!” ucapnya sambil tersenyum dan menoleh ke arahku. “Nggak apa, Mas! Aku bosan juga di rumah! Lagian para pelanggan aku sudah banyak dan untungnya lumayan, jadi uang hasil dari yutub kamu nanti bisa ditabung!” ucapku. “Iya, semoga segera terlaksana, Dek! Ini rumah impian untuk kita nanti!” ujarnya sambil menunjukkan sebuah gambar yang terpampang pada wallpaper laptopnya. Brakk! “Duh, aduh, aduh! Pasangan tukang ngimpi emang! Ngarepin bisa beli rumah besar tapi nggak mau kerja!” tanpa kukira Mbak Miranda sudah berdiri lagi di ambang pintu kamar kami. Tidak sopan memang. “Mbak, jangan hinakan mimpi kami! Lagian kamu ngapain balik ke sini lagi? Bukannya isi tudung saji sudah bersih?” pekikku. “Aku lupa, belum masak nasi! Jadi mau ambil sekalian! Masa kamu saja yang nikmati nasi dari hasil kerja keras Bapak! Enak banget numpang teruuuus!” ucapnya sambil mencebik. Lalu berjalan meninggalkanku dan Mas Yasa yang saling bertukar pandang. “Sabar ya, Dek! Maafkan pekerjaan Mas yang tidak keren seperti suaminya Mbak Miranda yang kantoran! Padahal ‘kan pendapatan Mas sekarang saja sudah mulai lebih besar dari pada gaji UMR yang ada! Makanya kamu udah nggak usah jualan sayur lagi! Mending di sini bantuin Mas bikin konten biar lebih menarik lagi,” ujarnya. “Nggak apa, Mas! Biar nanti ketika kita sukses bisa memberikan kejutan yang indah untuk mereka! Biar mereka menganga melihat tukang ngendon dan tukang sayur tapi isi rekeningnya lebih besar dari pada suaminya Mbak Miranda yang pekerja kantoran!” ucapku sambil mencoba tersenyum.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Mantan Istriku Seorang Pewaris Miliarder

read
2.0K
bc

TAKDIR KEDUA

read
30.2K
bc

Diceraikan Karena Ibu Mertua

read
4.6K
bc

Asa di ujung Sajadah, #Buku kedua dari Trilogi Women Power Series

read
47.6K
bc

Bicara Padaku

read
1.0K
bc

Karma Perselingkuhan Ayah

read
3.5K
bc

I Love You My Secret Daddy

read
41.7K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook