Rindu Ibu

1078 Kata
"Sini Kiaa biar sama aku, Mbak," pinta Adinda dengan suara parau saat aku baru saja kembali ke halaman rumah. Ia menghampiriku dengan wajah sedihnya yang dipaksa untuk tersenyum. Bekas air mata itu masih membekas di seluruh area wajahnya. Aku terdiam menyaksikan wajah penuh kesedihan itu meraih Kiaa dari dalam stroller. Kuberikan ia kesempatan untuk menghibur dirinya dengan kehadiran Kiaa. Mungkin dengan mendengarkan suara celoteh dan tingkah menggemaskan bayi Kiaa membuatnya terhibur dan bisa melupakan kesedihan yang menderanya. Perempuan yang masih mengenakan dress yang sama seperti semalam meninggalkanku tanpa permisi. Ia pergi begitu saja setelah Kiaa dalam gendongannya. Ah malang sekali nasibnya. Tapi tunggu, aku masih harus menunggu satu hal yang kudengar semalam. Apakah sungguh terjadi di hari ini ataukah ia batalkan semuanya dan ia tetap berada di rumah bersama Kiaa. Ah mendadak hatiku cemas menanti saat-saat itu akan datang. Terbersit dalam benakku rasa tidak rela jika Mas Risky dikhianati oleh istri barunya. Seharusnya lelaki sebaik Mas Risky tidak mendapat perlakuan seperti itu dari istri barunya. Tetapi siapa yang bisa menolak jika takdir Tuhan sudah berkehendak? Aku bergegas masuk dan membersihkan diri. Berjalan-jalan sejenak dibawah terik mentari membuat keringat mengucur deras. Ah aku rindu Caca. Biasanya ia akan bersemangat ketika kuajak jalan-jalan pagi sambil berbelanja di tukang sayur di ujung gang. Setelah mandi aku ke dapur membantu Bi Yati beres-beres rumah. Sebenarnya dia melarangku untuk membantu pekerjaannya karena Mas Risky sudah mewanti-wanti untuk tidak melakukan pekerjaan yang bukan tugasnya. Tetapi sejak tadi Kiaa berada dalam kamar Adinda dan hanya sesekali ia keluar untuk membuat s**u. Ah aku bingung harus berbuat apa. Dengan perasaan cemas aku menunggu seseorang yang hendak datang menjemput Adinda. Tetapi sampai sinar matahari tepat di atas kepala ia tak juga datang. "Sedang apa di situ, Mbak?" tanya Bi Yati mengangetkanku ketika aku sedang duduk di ruang tamu sambil sesekali melihat ke arah luar melalui jendela. "Eh, Bibi. Engga ngga ngapa-ngapain. Cuma lagi bosen aja soalnya Kiaa diambil sama Ibu dibawa ke kekamar," jawabku sekenanya. "Oh, Bibi kira lagi ngapain di situ." Perempuan paruh baya itu membawa kemoceng dan dengan lincahnya membersihkan debu-debu yang ada di rak sudut di sebelah sofa. Berbeda dengan Bi Siti, Bi Yati tidak memakai kerudung. Rambutnya ia cepol di bagian belakang kepalanya. Keningnya lebar dan berhidung apa adanya (saya tidak bilang pesek, nanti Bi Yati gondok). Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan badannya sedikit berisi. "Mbak saudaranya Yuni, ya?" "Iya," jawabku sambil tersenyum. Tetapi mataku tak lepas dari arah jendela. Beberapa kali melirik ke arah luar untuk memastikan tidak ada yang datang siang ini. "Kenapa memangnya, Bi?" tanyaku penasaran setelah kulihat Bu Yati seperti tengah memikirkan sesuatu. "Enggak. Nggak apa-apa." Bi Yati kembali menyelesaikan pekerjaannya. "Ada yang bisa aku bantu lagi, Bi? Bosan ngga ngapa-ngapain. Kiaa anteng sama mamanya," ujarku setelah Bi Yati usai membersihkam rak. "Boleh bantu saya siapin makan siang. Biasanya Mas Risky kalau siang pulang ke rumah untuk makan," tuturnya. Kami berjalan bersisihan menuju dapur. "Oh ya? Tapi kemarin ngga pulang, Bapak pulang larut banget," paparku. "Dulu sewaktu masih ada Mbak Alisya, Mas Risky selalu nyempetin makan siang di rumah soalnya." Bi Yati memindah makanan dari panci ke dalam mangkuk saji. Tanpa menunggu perintah aku memindahkan mangkuk itu ke atas meja makan. Lalu kusiapkan satu piring untuk Adinda makan siang. Sengaja hanya kusiapkan satu piring, sedang aku dan Bi Yati tak seharusnya makan siang bersama nyonya di rumah ini. "Tambahin lagi, Mbak, piringnya. Siapa tahu Mas Risky pulang," perintah Bi Yati sambil ia memindahkan lauk ke atas piring saji. Aku mengangguk patuh. Dengan cekatan kutambah piring satu lagi dan kuletakkan di sebelah piring yang satunya. Lalu kuambil sepiring lauk yang baru saja dipindahkan oleh Bi Yati untuk kubawa ke meja makan. "Bibi cuci bekas masak ini dulu ya? Mbaknya panggil Mbak Adinda biar makan siang," perintah Bi Yati lagi. Aku menurut saja. Sebab yang tahu bagaimana aturan dan pola hidup keluarga ini adalah Bi Yati. Aku lantas berjalan menuju kamar utama untuk memanggil Adinda dan mengambil Kiaa dari dalam kamarnya. Rasanya lumayan kangen juga setengah hari ini tak bertemu dengan Kiaa. Karena setelah beberapa minggu tinggal bersama Bu Maria, tak pernah aku melepas Kiaa selama ini. Paling hanya ketika Bu Maria rindu, ia akan mendatangi Kiaa di kamarnya. "Permisi Mbak Adinda, makan siang sudah siap," ujarku setelah mengetuk pintu. "Iya, Mbak." Pintu kamar itu segera terbuka setelah suaranya menyahuti dari dalam kamar. Aku menunggu dengan sabar hingga perempuan cantik dengan rambut dicepol ke atas itu membuka pintu dengan Kiaa dalam gendongannya. "Kiaa sudah minum s**u ya, Mbak. Tinggal gendong sambil ditimang-timang aja biar dia cepet tidur," ujarnya saat pintu sudah terbuka. "Baik, Mbak." Segera kuminta Kiaa untuk kugendong sementara dia menikmati makan siangnya. Nyonya di rumah ini itu segera berjalan ke meja makan sedang aku masuk ke dalam kamar Kiaa untuk menidurkan bayi yang perlahan mulai mencuri kasih dari hatiku ini. Kugendong Kiaa sambil kuayunkan badanku agar dia cepat terlelap. Tak lupa juga kuusap dengan lembut keningnya sambil kunyanyikan shalawat agar ia tenang. Ah bayi cantik ini, rambutnya yang tipis dan sedikit keriting membuat wajahnya tampak lucu. Bila kulihat wajahnya, yang terbayang dalam ingatanku adalah wajah Mas Risky. Bayi mungil ini seperti Mas Risky kecil dalam bentuk perempuan. Rasanya aku seperti kembali mengalami masa-masa menyenangkan saat merawat Caca kecil bersama Mas Yudha. Kebahagiaan kami terasa lengkap saat Caca hadir dalam hidup kami. Tentunya saat itu aku belum menjalin kasih dengan Mas Risky. Rumah tangga kami masih adem ayem karena kehadiran Caca mampu membuat kami sama-sama merasa terhibur. Lampu ponsel yang menyala-nyala membuatku segera meletakkan Kiaa ke atas box tidur miliknya. Perlahan dan hati-hati kuletakkan badan gadis mungil yang sudah terlelap ini ke atas ranjang dengan bantal kecil yang ada di atasnya. Dering panggilan dari ponselku tak kunjung berhenti, bahkan sesaat setelah aku memasang selimut di atas badan Kiaa. Sepertinya sebuah panggilan yang penting. Bergegas aku melihat layar yang masih berkedip itu. Tertera nama "Ibu" dalam layar yang masih menyala. Tumben sekali Ibu menghubungiku tak berjeda, tidak biasanya seperti ini. "Assalamualaikum Ibu," ujarku setelah panggilan terhubung dengan suara yang pelan. Takut jika Kiaa terganggu dengan suaraku. Aku sedikit menjauh dari box Kiaa. Sudut kamar menjadi tempat yang kupilih untuk berbicara dengan Ibu sambil memandangi ujung kuku yang kumainkan. "Waalaikum salam. Nduk. Nduk, Caca sakit," kata Ibu langsung tanpa bertele-tele. Suaranya terdengar lirih dan serak. "Sakit apa, Ibu? Kenapa Sania baru dikabari?" jawabku kaget. Sekilas aku melirik Kiaa yang tengah terlelap, takut jika suaraku membuatnya terusik. "Demamnya tinggi sekali. Dia mengigau panggil-panggil nama kamu terus. Ibu tak sanggup lagi untuk menghiburnya," paparnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN