Berantem Lagi?

1351 Kata
Akhirnya Kumenemukanmu Tidak ada maksud dalam hati untuk menguping pembicaraan seseorang dalam ruangan yang ada di depanku berdiri. Aku hanya ingin memastikan bahwa tidak ada pembicaraan yang merugikan orang lain. Sebab rasa cintaku pada lelaki yang bergelar suami itu lebih untuk menjaga, bukan merusak. Aku masih memiliki kewarasan pikiran untuk membedakan hal baik dan buruk. Terlebih setelah melihat seberapa besar cinta Mas Risky terhadap almarhumah istrinya yang sekarang ia curahkan kepada putri semata wayangnya. Diri ini hanya ingin menjaga apa yang dulu dijaga mati-matian olehnya. "Kalau masih pengantin baru aja aku diabaikan, gimana kalau pernikahannya sudah berumur panjang?" Suara Adinda terjeda beberapa saat. Mungkin ia sedang menelpon seseorang dan sedang memberi kesempatan bagi si penelepon untuk membalas ucapannya. "Besok kalau dia masih sibuk sama kerjaannya, aku mau jalan aja sama kamu," jawabnya lagi setelah beberapa saat terdiam. "Oke, jemput di rumah aja. Tapi jangan masuk, kamu tunggu di luar aja." Setelah menunggu beberapa saat, aku tak lagi mendengar suara obrolan terdengar dari dalam ruangan. Perlahan kuembuskan napas untuk mengatur hati yang kesal mendengar suara pembicaraan yang baru saja terdengar olehku. Aku tak mau gegabah. Aku harus memastikan apa yang terjadi besok. "Permisi, Mbak," ujarku setelah mengetuk pintu. Tanpa aba-aba lagi aku segera membuka pintu kamar yang ditempatinya dengan lebar. Kulihat perempuan berambut panjang itu tengah duduk bersandar di headboard ranjang sambil memegang sebuah ponsel. Saat melihat kedatanganku ia segera mengusap sisa air mata yang membasahi pipinya. Wajah istri baru Mas Risky yang terbalut rasa kaget saat melihat kedatanganku yang tiba-tiba membuat aktivitasnya menekuri ponsel terhenti. Wanita di depanku itu lantas mendongak menatap wajah dan tanganku yang membawa teh bergantian. "Kenapa, Mbak?" tanyanya dengan kening berkerut. Mata itu menatap wajahku penuh tanda tanya karena aku membawa teh tanpa ia minta. "Saya tadi dengar Mbak Adinda teriak dan terisak, makanya saya berinisiatif membuatkan Mbak secangkir teh chamomile hangat agar Mbak jadi rileks. Kebetulan saya nemu teh ini di lemari es. Jadi saya pikir tak ada salahnya membuatkan sesuatu untuk Mbak agar moodnya membaik," jawabku takut-takut. "Sejak kapan Mbak berada di depan kamar saya?" tanyanya tegas. Ia tak mempertimbangkan kepedulian yang kuberikan untuknya. Mungkin, perempuan di depanku itu sibuk mencari tahu apakah aku mendengarkan pembicaraan yang baru saja dilakukan. "Baru saja." Aku tersenyum yakin untuk membuatnya percaya bahwa aku tak mendengar apa pun yang ia bicarakan. "Oh," jawabnya singkat. Wajah yang semula terlihat tegang perlahan mulai melembut. Rupanya jawabanku mampu membuatnya yakin. "Silahkan diminum, Mbak. Mumpung masih hangat," ujarku ramah. "Saya permisi," pamitku. Dengan cepat aku berjalan keluar kamar Mbak Adinda. Sakit hatiku mendengar apa yang ia bicarakan dengan seseorang tadi. Sebagai seorang istri tak seharusnya ia berkata demikian. Mas Risky keluar untuk bekerja, ia bukan sedang jalan-jalan atau main-main. Ia sedang bekerja, seharusnya ia memahami bagaimana pun kondisi suaminya. "Yakin dengan pikiranmu? Bukannya dulu kamu juga melakukan hal yang sama?" Sebuah suara dalam hatiku sukses menampar ingatanku. Ah ya, aku pernah melakukan hal yang sama seperti Adinda. Tetapi Allah masih sayang padaku dengan menjauhkan kami untuk setia pada pasangan kami masing-masing. Astagfirullah. Aku menunduk. Tak seharusnya aku menghakimi Adinda seperti itu. Setiap manusia mempunyai kesalahan tetapi setiap manusia juga memiliki kesempatan untuk merubah diri. Seharusnya aku lebih bersabar. Sebaiknya aku diam dan menunggu apa yang terjadi esok hari. Semoga apa yang diucapkan Adinda dalam sambungan telepon kemarin tak terjadi. Minimal dari itu aku bisa melihat bahwa Adinda memiliki kemungkinan untuk berubah lebih baik. Dan setelah itu tuduhanku terhadapnya adalah salah. Waktu berjalan begitu cepat. Hingga malam hari Mas Risky tak kunjung kembali. Bahkan hingga Adinda selesai menikmati makan malamnya ia masih saja bersedih. Perlahan aku iba padanya. Seharusnya beberapa hari pasca resepsi adalah hari-hari yang indah bagi setiap pengantin baru. Tetapi tidak dengan Adinda. Ia termenung sendiri di ruang tamu menunggu sang suami kembali pulang. "Sebaiknya Mbak Adinda istirahat saja. Biar saya yang bukain pintu kalau Bapak pulang," ujarku. Mata itu memindai wajahku dengan seksama. Ia tengah mencari ketulusan dalam ucapanku. Kubalas tatapan mata pengantin baru di depanku ini agar hatinya tenang. Setidaknya ia tidak merasa sendiri di rumah ini. "Makasih ya, Mbak? Saya kesel sama Mas Risky, lebih mentingin kerjaannya daripada saya," keluhnya. Gurat kesedihan tersirat dari sorot matanya yang sendu. Tangan yang saling bertaut menunjukkan bahwa ia tengah cemas menunggu sang suami. Helaan napasnya terdengar jelas dan kentara. Seharusnya ini adalah malam-malam yang panjang dan menyenangkan bagi setiap pengantin baru. Tetapi sebaiknya sebagai perempuan kita belajar memahami kondisi pasangan kita masing-masing. Belajar memahami lebih dulu untuk mereka bisa memahami keadaan kita karena sejatinya pernikahan itu adalah saling berbagi. "Sama-sama, Mbak. Jangan sedih," ujarku pelan. Perempuan yang tengah memakai dress selutut motif bunga-bunga itu kemudian bangkit dari duduknya. Ia berjalan dengan malas menuju kamar tidur miliknya. Pakaian yang tipis dan tampak feminim itu sepertinya sengaja dipakai untuk menyambut kepulangan sang suami, sayangnya persiapannya tidak menghasilkan apapun. Aku mematikan lampu ruang tamu yang tadinya menyala. Kemudian berjalan masuk ke kamar Kiaa untuk istirahat. Meskipun aku memang tengah menunggu Mas Risky pulang, tetapi tak sopan jika aku menunggu di ruang tamu. Biar aku tunggu di dalam kamar seakan-akan aku sudah terlelap. Beberapa saat setelah menunggu aku mendengar suara ketukan pintu. Segera aku bangkit dari tempat dudukku untuk membukakan pintu ruang tamu. Kuputar anakan kunci dan membuka pintunya perlahan. Tampak wajah letih dan kusut tepat berada di hadapanku. Wajah itu terperanjat kaget melihat aku yang tengah berada di balik pintu yang diketuknya. "Adinda kemana?" tanyanya membuka obrolan. Aku yang tengah menunduk di balik pintu langsung memandang wajahnya sebelum menjawab pertanyaannya. "Ibu saya suruh istirahat. Kasihan sudah nunggu sejak sore," jawabku sopan. Sekalipun hatiku tengah kebat-kebit mengatur debaran rasa ketika berhadapan dengannya, aku harus tetap terlihat tenang. Ini adalah kali pertama aku berinteraksi dengannya di malam hari sejak aku bekerja di rumahnya. Ada rasa berbeda saat kami sedang hanya berada berdua dalam satu ruangan seperti ini. Entahlah, ini hanya perasaanku saja atau ia juga merasakan hal yang sama. Setelah menjawab pertanyaannya aku kembali menunduk. Tak sanggup lagi aku terlihat biasa saja saat ini. Ada debar yang tak mampu kukuasai. Beginikah cobaannya menjadi janda ketika melihat lawan jenis? Oh Allah, jaga hati dan pikiranku. "Ya sudah, kamu masuk biar saya kunci sendiri pintunya," jawabnya datar. Aku berjalan dengan cepat menuju kamar. Hatiku tak kuasa melihat kondisinya yang menyedihkan. Mata yang sayu, wajah kusut dan baju yang sudah tidak serapi saat berangkat. Mungkin hari ini sangat melelahkan baginya. Teringat dulu saat aku masih berumahtangga dengan Mas Yudha, aku selalu menunggunya hingga ia pulang. Semalam apapun kedatangannya aku tak pernah bisa membiarkan dia datang tanpa kehadiranku. Dan aku biasanya sudah menyiapkan air hangat untukknya melepas penat. Tetapi sayangnya Mas Risky bukan Mas Yudha, bukan kewajibanku melayani kebutuhannya meskipun sebenarnya hatiku ingin. Pagi sekali kulihat seorang wanita paruh baya datang dengan membawa sepeda angin. Ia memarkirkan sepedanya di garasi mobil dekat dengan mobil Mas Risky. Sepertinya perempuan itu terlambat datang, terlihat dari caranya memarkirkan sepeda dan berjalan tampak seperti orang buru-buru. "Pagi, Mbak," sapanya saat aku hendak mendorong stroller Kiaa untuk jalan-jalan pagi. "Pagi juga, Mbak-nya Bibi di sini?" tanyaku ramah. "Iya. Saya masuk dulu ya? Sudah terlambat ini," jawabnya sambil berlalu ke dalam. Aku lantas melanjutkan acara jalan-jalan pagiku bersama Kiaa. Pagi yang cerah dengan udara segar yang menyejukkan bagus untuk tubuh dan menyegarkan pikiran setelah seharian berada di dalam rumah. Ini adalah caraku bertahan untuk tetap tinggal di lingkungan yang bukan tempat kelahiranku. Ada sesak yang menghimpit d**a saat aku merasa asing si tempat yang baru. Jika sedang merindukan suasana rumah, aku lebih memilih menghibur diri dengan jalan-jalan keliling kompleks perumahan atau membantu pekerjaan rumah tangga. Tetapi di rumah baru ini sepertinya aku harus memulai kebiasaan yang baru lagi karena kembali adaptasi dengan lingkungan yang baru. Ah susah sekali, tapi ini demi masa depan Caca. Aku mengajak Kiaa bernyanyi sambil asik mendorong stroller yang ditempatinya. Tetapi baru beberapa langkah kakiku menjauh dari pagar rumah, telingaku mendengar sebuah teriakan dari arah dalam rumah. Kepalaku mencari sumber suara itu. Tiba-tiba muncul sosok gagah nan tampan dengan kemeja polos warna biru muda dengan celana bahan warna hitam keluar dari ruang tamu. Wajah lelaki itu tampak tegang. Bibirnya menutup rapat dengan sorot mata yang tak ramah sama sekali. "Berantem lagi?" gumamku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN