Pulang

1015 Kata
"Sudah diperiksa, Bu?" tanyaku mencoba tenang. Dalam situasi seperti ini, aku tak boleh ikut panik agar tidak gegabah dalam mengambil sikap. "Sudah. Tapi masih tinggi demamnya. Ibu ngga tau lagi harus gimana. Kayaknya dia rindu kamu. Beberapa hari ini dia murung terus," jawab Ibu panik. Mendengar suara Ibu yang panik membuatku turut merasa cemas. Maklum saja, ini pertama kali kami hidup berjauhan dan diusia Caca yang masih terlalu kecil harus kehilangan ayah dan hidup berjauhan dengan Ibu secara bersamaan. "Ibu jangan panik, ya? Obat penurun panasnya jangan lupa diminumkan. Sania usahain untuk pulang hari ini juga. Ibu tenang, ya?" "Iya. Tapi beneran ya, Nduk, jangan sampai ngga pulang. Ibu ngga tega melihat Caca sakit kayak gini," jawab Ibu memohon kepastian. "Sania janji, Bu. Sania usahain untuk pulang hari ini juga," jawabku meyakinkan sambil melirik jam yang bertengger di dinding. Setelah menutup panggilan dari Ibu aku terduduk lemas di bibir ranjang. Bibirku mengembuskan napas kasar untuk membuang cemas yang tiba-tiba hadir menyiksa jiwa. Aku tak tahu harus berbuat apa saat ini. Meminta izin untuk pulang pun sebenarnya aku tak berani, tetapi ini keadaan darurat. Mau tak mau aku harus mencoba bicara pada Adinda. Ah mengingat Adinda, pikiran burukku tentangnya sudah mulai hilang. Mengingat apa yang diucapkannya kemarin tak terjadi dan ini menunjukkan bahwa ia masih memiliki hati nurani untuk menjaga marwahnya sebagai istri. Memang sebagai manusia tak seharusnya asal percaya atas apa yang didengar dan menuduh orang lain buruk tanpa mencari bukti terlebih dahulu. Astagfirullah. Aku terlalu mudah percaya pada apa yang kudengar. Beruntung aku tak sampai melakukan tindakan apapun yang bisa mempermalukan diriku sendiri. Setidaknya ini membuatku tenang untuk meninggalkan Kiaa barang sebentar untuk memastikam kondisi Caca. "Ngga apa-apa, biar saya cuci sendiri," ujar Adinda saat aku baru saja masuk ke dapur. "Maaf ya, Mbak. Saya jadi ngerepotin Mbak Adinda." Bibi bicara sambil membersihkan lemari es. Pintu lemari es itu terbuka lebar dengan Bi Yati yang sedang berjongkok di depannya sambil membawa kanebo. "Iya. Bibi lanjutin aja kerjaannya. Ini juga mumpung aku masih libur," sahut Adinda lagi. Tangannya mengusap spons yang penuh dengan busa ke piring makan yang baru saja ia gunakan. "Biar saya bantu, Mbak," ucapku ketika sudah berada di belakang Adinda. "Ngga apa-apa, biar saya sendiri. Mbak Sania makan aja dulu. Kiaa sudah aman kan?" tanyanya. Piring yang sudah ia cuci itu diletakkannya di atas rak. Kemudian ia mengusap tanganya dengan lap yang tergantung di dekat wastafel. "Aman, Mbak. Tapi ada yang mau saya bicarakan," ujarku ragu-ragu. Kepalaku menunduk takut jika apa yang kuucapkan mendapatkan respon yang buruk darinya. "Ada apa, Mbak?" tanyanya dengan pandangan penuh selidik. Ia yang sudah selesai mengusap tangannya kembali duduk di meja makan setelah mengambil segelas air dari dispenser. Beruntung meja makan di rumah ini berada tepat di sebelah area dapur yang tak bersekat. Jadi bebas bicara sambil masak atau mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. "Anak saya sakit. Apa boleh saya minta izin pulang sebentar?" tanyaku lirih. Suaraku hampir tak terdengar. Tanganku memilin ujung baju, seperti biasa kala aku tengah gugup. "Berapa hari, Mbak? Jatah cuti saya kurang beberapa hari lagi. Bisa aja sih, tapi Mbak harus balik sehari sebelum saya masuk kerja lagi," ucapnya tegas. "Saya usahakan, Mbak. Saya mau memastikan kondisi anak saya saja. Barusan Ibu di kampung mengabari jika anak saya manggil-manggil ibunya terus." "Boleh. Biar nanti saya yang bilang sama Mas Risky," jawabnya santai. Hatiku lega mendengar jawaban Adinda. Ia jauh berbeda dengan apa yang diucapkan dua wanita saat resepsi pernikahannya kemarin. Aku tak menemukan sisi buruknya seperti yang dua perempuan itu ucapkan selama beberapa hari ini. "Tapi saya ngga bisa antar ya, Mbak? Mas Risky ngga ada soalnya." "Ngga apa-apa. Saya bisa naik bus." "Baiklah. Mbak Sania silahkan makan terus berkemas," ucapnya sebelum berdiri. Perempuan yang rambutnya ia cepol ke atas itu lalu pergi meninggalkan kami di dapur. "Rindu ibunya mungkin, Mbak," ucap Bi Yati membuka obrolan. Aku yang tadinya melamun langsung melihat ke arah Bi Yati yang masih sibuk membersihkan lemari es. Rak yang bersusun itu ia turunkan untuk bisa membersihkan bagian dalam lemari es. "Iya, Bi. Kata Ibu juga gitu." "Ya sudah, Mbak Sania buruan makan terus berkemas biar sampai rumah ngga terlalu malam," suruh Bi Yati. Tetapi aku sungkan jika makan sendiri sementara Bi Yati masih sibuk bekerja. Aku hanya mengiyakan tanpa berani memegang piring atau centong nasi. "Nunggu Bi Yati saja." Bi Yati memandangku dengan tatapan heran. Ia lantas membawa rak-rak itu ke dalam wastafel. Kemudian perempuan paruh baya itu menghampiriku di sebelah meja makan. "Anaknya lagi sakit mbok ya jangan santai-santai. Buruan makan biar bisa cepat balik pulang. Kasihan kan dia!" hardik Bi Yati. Aku tercenung mendengar ucapannya yang tegas. Benar juga, seharusnya aku tak sesantai ini. "Ayo saya temani makan, biar Mbak Sania bisa segera berkemas." Bi Yati lalu mengambilkan piring untukku juga untuknya. Kami lantas makan bersama sambil berbincang banyak. Termasuk awal mula ia meminta Mbak Yuni untuk mencarikan pengasuh bayi buat bayi Mbak Alisya. Setelah makan aku segera masuk ke kamar Kiaa. Melihat wajah mungil itu sedang terlelap, hatiku mendadak gerimis. Rasa sayang yang baru saja bersemi, kini terpaksa harus kutanggalkan sementara hingga aku kembali ke rumah ini. Kuambil ponsel yang terletak di atas nakas dekat dengan s**u Kiaa. Lalu kuambil beberapa foto bayi itu untuk melepas rindu saat aku masih belum bisa kembali. "Sayang, jangan rindu Ibu Sania, ya? Kalau urusan Ibu sudah selesai, Ibu janji akan kembali lagi ke sini buat jagain kamu," lirihku sambil memandangi wajahnya yang terlelap. Setelah berpamitan pada Mbak Adinda dan Bi Yati, aku berjalan menuju pangkalan ojek yang ada di pinggir pintu gerbang kompleks. Tak ada seorang pun yang bisa diminta untuk mengantarku ke terminal karena satu-satunya orang laki-laki di rumah ini hanya Mas Risky. Perjalanan dari kompleks perumahan menuju terminal tak membutuhkan waktu lama karena lokasi perumahan ini dekat dengan pusat kota. Beruntung tak susah pula mendapatkan ojek sehingga aku bisa dengan cepat sampai di terminal. "Makasih, ya, Pak," ujarku setelah motor berhenti sempurna dan aku segera mengambilkan uang sejumlah tarif yang ia minta. Namun ketika ojek itu hendak pergi, ia meraih tas tempatku menyimpan ponsel dan dompet ketika aku hendak menutup resleting tas selempang yang kugunakan. Sial.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN