Pertemuan
Bab 1
Risky
Maafkan aku. Aku terlalu cinta istriku. Tak bisa kubayangkan jika istriku tahu kalau aku berhubungan denganmu. Walaupun hanya sebatas berkirim pesan tapi itu jelas akan menggoreskan luka dalam hatinya.
Aku membaca pesan dari seseorang yang spesial buatku selama setahun ini dengan tangan gemetar. Darinya aku mendapatkan sebongkah perhatian yang tak kudapatkan dari suamiku. Meskipun hanya dalam dunia maya tapi itu cukup buatku merasa berbeda dan bahagia.
Lagi kugeser ke atas chat yang belum kuhapus.
Risky
Pagi Sayang. Sudah sarapan?
Jangan lupa istirahat ya!
Kamu sudah salat?
Ada beberapa chat lagi di atasnya tapi aku tak sanggup membacanya.
Setelah itu aku tak lagi bisa membalas pesannya. Tak ada pilihan lain untukku selain menerima. Pun juga aku tak ingin mendapat gelar pelakor dari masyarakat apabila aku terus memaksanya menuruti egoku.
Cukup menjadikannya penghuni hatiku yang selalu kusebut dalam doaku. Minimal jika ia tak dapat kumiliki, cintaku untuknya berupa sebuah doa kebaikan yang selalu kuminta pada Rabb-ku. Sang Pemilik Kehidupan.
Kuhela napas panjang dan dalam untuk melepaskan semua yang memang tak ditakdirkan untukku. Rasa getir dalam hati harus kuubah menjadi sebuah keikhlasan demi hidup yang terus berlanjut. Kumasukkan semua kenangan antara kami dalam hati dan kukunci rapat. Jika dia bisa berbahagia dengan pasangannya, mengapa aku tidak?
Keputusan ini cukup menjadi bukti bahwa Risky adalah pasangan yang baik. Lelaki yang mampu menjaga hati pasangannya sekalipun hatinya telah terbagi untukku. Ah bahagia sekali yang menjadi istrinya.
Kulihat wajah suamiku yang tampak letih tengah tertidur dengan dengkuran halus yang keluar dari bibirnya. Ia baru saja menikmati secangkir teh yang kusiapkan setelah kembali dari tempat kerjanya. Tubuhnya yang lelah karena menafkahiku tak patut kubalas dengan sebuah luka. Penghianatan.
Aku pun turut berbaring di sebelahnya dan memaksa mataku untuk melihat betapa sosok di sebelahku adalah anugerah yang Tuhan beri dalam bentuk nyata dengan segala ketidaksempurnaannya. Bukannya aku juga memiliki kekurangan?
"Sudah dibilas, Dek? Biar kujemur bajunya. Letakkan saja di situ," ujarnya saat melihatku tengah memindah baju terakhir yang baru kubilas ke dalam tabung pengering.
"Iya." Aku pun beranjak dari depan mesin cuci lalu mengambil sepiring nasi serta lauk dan kuajak Caca untuk sarapan. Gadis kecilku itu mengikuti langkahku menuju ruang tengah untuk makan bersamaku.
Sekilas kulirik suamiku dengan telaten memindah baju kering dari tabung ke dalam ember besar. Lalu membawa ember itu ke halaman belakang untuk menggantungnya ke atas tali jemuran.
"Bukannya apa yang dilakukan suamimu itu juga termasuk sebuah bentuk perhatian?" Sebuah suara memporak-porandakan hatiku yang masih sedikit merasakan luka akibat perpisahan. Ya, hatiku bergejolak. Sisi baik dan buruk dalam diriku sedang bertarung mencari pembenaran.
Aku terdiam sambil memangku piring yang berisi nasi dan mujair goreng kesukaan Caca. Seketika mataku mengembun, merasai hati yang telah m*****i ikatan suci pernikahan yang sudah kubina selama lima tahun ini. Ya, aku salah.
"Sudah makannya? Yuk ikut ayah, biar Mama mandi. Habis ini kita ke rumah nenek," ujarnya tanpa menunggu persetujuanku.
"Sudah, Yah." Caca bangkit lalu berlari kecil menuju sang ayah. Keduanya lantas sibuk dengan ayam dalam kandang di halaman belakang.
Lagi, sebuah suara memporak-porandakan hatiku.
"Perhatian dalam rumah tangga bukan hanya sekedar dalam bentuk kata-kata, tapi lebih dalam bentuk perbuatan yang nyata." Suara itu lagi yang berhasil menampar pikiran dan hatiku.
Aku menangis dalam kamar mandi. Sungguh aku adalah istri yang tak tahu diri. Suami yang perhatian kubalas dengan sebuah luka. Beruntung Allah masih sayang padaku dengan membuat Risky menjauh dari kehidupanku dengan sendirinya tanpa kuminta.
Mulai hari ini aku bertekad untuk tak lagi membuka kenangan akan hubungan yang hanya sebatas bayangan semu itu. Aku berjanji untuk mengubur semua kenangan saat kita masih bersama dalam dunia nyata. Ya, Risky adalah mantan kekasih hati yang terpisah karena takdir tak merestui kami.
"Nduk, makan dulu. Ibu tadi masak nasi jagung sama pepes pindang pencit." Sambutan ibu mertua saat aku, Mas Yudha dan Caca baru saja bergantian melepas uluran tanganku darinya. Meja yang penuh dengan nasi dan lauk menjadi pemandangan yang biasa ketika aku berada di rumah mertua. Ya, mertuaku memang selalu meminta kami makan ketika kami baru sampai.
"Sudah, Bu. Tadi sebelum ke sini sudah sarapan." Aku menolak dengan halus.
"Ya sudah, itu buatkan kopi suamimu," ucapnya. Ibu yang sedang menjahit kancing baju pelanggan itu memintaku untuk melayani suamiku sendiri. Hal yang biasa ketika aku berada di rumah mertua.
Mas Yudha langsung masuk ke dalam ruangan khusus jahit milik Ibu. Dinamo mesin jahitnya rusak, sengaja Ibu meminta Mas Yudha datang untuk melihat apa yang salah dalam dinamo itu. Mungkin minta diganti yang baru karena mesin itu sudah lama sekali.
"Pedalnya rusak, Bu. Ini nggak bisa diperbaiki. Kayaknya harus beli yang baru." Mas Yudha menunjukkan pedal dinamo pada Ibu.
Ibu menurunkan kaca mata yang dipakainya untuk melihat kondisi pedal yang dibawa Mas Yudha. Mata Ibu mengamati tiap inci dinamo dari tangan Mas Yudha.
"Ya sudah belikan yang baru saja. Maklum sudah lama, sudah waktunya ganti." Ibu berdiri lalu berjalan menuju lemari untuk mengambil uang.
Selembar seratus ribuan diberikan Ibu pada Mas Yudha. Tanpa banyak bertanya lagi, Mas Yudha berangkat membeli dinamo yang baru.
Ya, begitulah suamiku. Perhatiannya dalam bentuk perbuatan. Jika diminta tolong langsung dikerjakan ketika ia sedang tidak sibuk.
Hari berganti hari. Hitungan minggu berubah menjadi bulan. Hatiku mulai legowo menerima perhatian dalam bentuk nyata yang diberikan suamiku. Bukankah janji Allah adalah akan menambah nikmat ketika kita bersyukur?
Sedikit demi sedikit hatiku mulai merasakan nikmat yang Allah janjikan. Ikhlas yang kucoba paksakan berbuah manis. Hidupku terasa sempurna kembali. Hari ini aku sungguh bersyukur telah menikah dengan Mas Yudha terlepas dari segala kekurangannya.
Perlahan aku mulai melupakan kisah yang pernah terjalin antara aku dengan Risky meskipun aku masih menyimpan sebuah foto miliknya dalam ponselku yang kusimpan di file yang kusembunyikan.
Dering ponsel membuat istirahatku terganggu. Sebuah suara yang tak kukenal terdengar dari nomor milik suamiku.
"Malam, Ibu. Apa benar anda istri dari pemilik ponsel ini?"
"Iya, ada yang bisa saya bantu, Pak?" jawabku geragapan. Otakku masih mengumpulkan kesadaran dari puing-puing mimpi yang buyar karena getaran ponsel.
"Pemilik ponsel ini mengalami sebuah kecelakaan. Sekarang beliau sudah dibawa ke rumah sakit. Silahkan Ibu datang ke rumah sakit untuk melihat kondisinya juga menyelesaikan administrasinya."
"Astaghfirullah," pekikku. Dengan cepat aku berganti pakaian dan berangkat ke rumah sakit daerah setelah membangunkan salah satu kerabat yang tinggal di sebelah rumah.
Air mataku tak henti mengalir mengingat kabar yang baru saja kudapatkan. Suami yang kucintai kini mendapat musibah, semoga keadaannya baik-baik saja.
"Kepalanya mengalami benturan keras. Banyak darah mengalir dari kepalanya. Ini harus segera dilakukan tindakan operasi untuk membersihkan gumpalan darah dalam kepalanya." Sebuah suara dari seorang petugas rumah sakit membuatku terduduk lemas. Kabar yang menyakitkan.
Harapan antara hidup dan mati seketika berkelindan dalam kepalaku. Resiko yang dipaparkan ketika operasi itu berhasil juga cukup untuk menampar hatiku. Sungguh ini kenyataan terpahit dari sekedar perhatian yang sejak dulu kuelu-elukan darinya.
Sebuah nisan bertuliskan "Yudha Pratama" sudah terpasang diantara gundukan tanah merah yang baru saja menimbun jasadnya.
Air mataku dan Caca tak kunjung mengering melihat tubuh suamiku tercinta kini sudah terbujur kaku dalam liang lahat.
Suami yang belum lama ini baru kusadari betapa ia sangat perhatian padaku, kini Allah ambil dariku. Mengapa Allah ambil dia ketika hatiku mulai legowo menerima dirinya dengan segala kekurangannya?
Para pelayat sudah kembali dari area pemakaman. Hanya tersisa aku, Ibu mertua dan Caca. Kami sama-sama terpukul atas takdir yang baru saja memaksa kami menerimanya.
"Bagaimana aku akan melanjutkan hidup setelah ini, Mas?" tanyaku dalam hati. Sebagai seorang ibu rumah tangga tentunya aku bingung mencari pekerjaan untuk menopang kehidupan kami setelah ini.
"Bolehkah jika aku titip Caca pada Ibu?" tanyaku pada Ibu mertua saat aku baru saja menerima kabar dari saudara jauh Ibu bahwa ada temannya yang sedang membutuhkan seorang yang bersedia merawat bayi.
Bagiku saat ini, tak apalah pekerjaan apapun yang penting bisa menghasilkan uang untuk membesarkan Caca tanpa harus merepotkan Ibu mertua karena aku sudah tak lagi punya orangtua.
"Pergi saja jika itu inginmu. Jangan khawatir soal Caca, Ibu akan merawatnya dengan baik." Ibu mertua menitikkan air mata. Wajah Caca mewarisi wajah ayahnya yang membuat Ibu selalu merasa bahwa Mas Yudha masih ada di sisinya dalam bentuk kecil.
"Terima kasih, Ibu. Sania janji pada Ibu akan rutin mengirim uang bulanan untuk Ibu dan Caca," ucapku sambil merengkuh Ibu dalam pelukan.
Sebuah travel membawaku menuju rumah majikan yang sedang membutuhkan tenagaku.
Dengan bibir basah oleh dzikir aku menata hati sebelum tanganku mengetuk pintu rumah minimalis bercat putih ini.
Setelah beberapa saat menunggu seorang ibu paruh baya membukakan pintu untukku. Dengan ramah ia mempersilahkanku masuk.
"Mbaknya yang mau merawat bayi Den Bagus, ya? Tunggu sebentar saya panggilkan Nyonya dulu." Perempuan paruh baya itu melesat pergi tanpa menunggu jawaban dariku.
Kepalaku tak sanggup kudongakkan. Aku hanya sanggup menunduk pilu. Bagaimana tidak, aku mengorbankan waktu dengan putriku untuk merawat bayi yang lain yang katanya tak punya ibu. "Bismillah, demi masa depan Caca," lirihku dalam hati.
Seorang lelaki baru saja keluar dari balik pintu. Ia berdiri mematung dengan pandangan lurus ke arahku sambil menggendong bayi mungil dalam dekapannya.
Aku lantas melihat wajah sosok yang sedang berdiri tak bergerak itu. Bayi mungil dalam dekapannya menggeliat seraya menangis.
Mata kami seketika beradu. "Mas Risky?" lirihku.