Suara Siapa?

1101 Kata
"Maaf," ucapnya setelah aku menarik tanganku dari bawah tangannya. Aku mengangguk cepat. Ada sebuah rasa yang menjalar dari tanganku ke seluruh sendi-sendi dalam tubuhku setelah merasakan sentuhannya. Hanya sentuhan biasa, bukan sentuhan dengan rasa tapi sudah membuat kepalaku terasa ada yang berjalan lambat. Kami terdiam beberapa saat. Bergulat dengan isi pikiran masing-masing. "Kamu masuk saja, biar aku yang ambil," ucapnya tanpa melihatku. Tangan kokoh itu dengan cepat membuka pintu mobil bagian belakang. Aku lantas masuk ke rumah baru Mas Risky dengan hati tak menentu. Seharusnya tadi aku tersenyum atau membalas menyentuh tangannya karena respon dia hanya diam tanpa berucap apapun sebelum aku menarik tanganku. Setidaknya itu satu kemajuan dari perubahan sikapnya. Adakah yang harus disyukuri dari semua ini? Suara tangis Kiaa membuatku tersadar bahwa lelaki yang tadi mneyentuh tanganku adalah suami orang. Astagfirullah hal adzim. Aku memukul kepalaku menggunakan telapak tanganku dengan keras. "Bo doh Sania! Kamu bo doh!!" umpatku kesal. Aku merutuki diriku sendiri. Tak seharusnya aku senang atas sikap dia barusan karena dia sudah menjadi suami orang lain. Aku berjalan mencari sumber suara. Rupanya keduanya ada di kamar paling depan. Kepalaku melongok ke dalam ruangan tersebut. Ragu hendak masuk, aku pun berjalan ke arah belakang. "Kamu boleh tidur dengan Azkiaa, karena kamu di sini sebagai pengasuh, bukan pembantu. Kamar kamu ada di sebelah kamar utama. Mulai besok pagi pembantu di sini akan datang setiap pagi hari untuk masak dan beres-beres rumah jadi kamu tak perlu repot-repot memasak," ujar Mas Risky mengagetkanku. Aku yang berjingkat refleks menunduk. "Iya, Tuan," jawabku sopan. Meskipun begitu aku tetap tak berani menatap wajahnya. Sepertinya Mas Risky bisa merasakan kebingungan yang sedang kurasakan. Ia menjelaskan detail pekerjaanku di sini. Dia peka. Namun ada yang aneh dengan ucapannya barusan. Aku tidur di kamar Kiaa? Ngga salah? Bukannya bayi sekecil itu pada umumnya tidur dengan orangtuanya? Itu aturan darinya agar dia bebas tidur dengan istri barunya atau bagaimana? Ah lelaki ini penuh misteri. "Nunggu apa lagi? Kamu beresin barang Kiaa sama barang kamu juga," ujarnya lagi membuyarkan lamunanku. Aku mendongak menatap sumber suara. Kukira lelaki itu sudah pergi dari hadapanku, rupanya ia masih berdiri di situ sambil membingkai wajahku. "Ah iya. Baik, Tuan." Tanpa melihatnya lagi aku segera berjalan menuju kamar sebelah ruangan tempat Kiaa dan Adinda berada. Aku berjalan dengan hati penuh tanda tanya. Sikapnya terkadang menunjukkan sebuah perhatian tetapi wajah dingin itu terlihat menyebalkan. Ah aku harus memasang benteng kokoh dalam hatiku agar tak terpengaruh sikapnya yang tak jelas itu. Kakiku tiba di depan kamar yang kutuju. Mataku menyapu sekeliling ruangan. Kamar yang cantik, lebih cantik dari kamar Kiaa di rumah Bu Maria. Ada gambar bunga-bunga kecil sebagai walpaper dinding di kamar ini. Ditambah lemari susun dengan gambar karakter putri Cinderella dan putri lainnya disetiap daun pintunya. Terdapat sebuah ranjang berkuran sedang yang terletak di sudut ruangan. Di sebelah ranjang itu terdapat box bayi dengan sprei bergambar karakter kuda poni yang berwarna pink, membuat kamar ini terlihat semakin cantik. Tanpa bertanya pun semua sudah tahu jika kamar ini adalah kamar milik anak perempuan. Ada beberapa mainan tertata rapi di dalam sebuah lemari berbentuk rak berpenutup kaca. Terdapat beberapa boneka bermacam-macam karakter yang menghiasi satu rak di dalam lemari bagian atas. Lantainya beralaskan playmate yang terasa empuk jika diinjak. Terasa benar jika kamar ini memang khusus disiapkan untuk putri mereka. Aman dan nyaman. Aku bergegas menata barang-barang Kiaa ke dalam lemari. Juga menata ranjang tidurnya karena setelah ini adalah jam tidur Kiaa. Aku tak mau bayi itu rewel karena pola tidur yang berubah. "Sepertinya dia mengantuk ya, Mbak?" tanya Adinda mengagetkanku. "Iya, Mbak. Ini jamnya dia tidur memang," jawabku sambil menerima badan Kiaa dari uluran tangan mama sambungnya. "Ya sudah bobok yang nyenyak ya, Sayang," ujar Adinda setelah mencium kening Kiaa. "Iya, Mama," jawabku dengan suara yang kubuat seperti anak-anak. Adinda pergi meninggalkan ruangan ini dan berbelok ke arah kamar utama. Aku melihat tubuh ramping itu berjalan hingga hilang dari pandangan mataku. Sungguh bahagia jadi Adinda bisa menikah dengan lelaki semapan dan setampan Mas Risky. Terkadang aku iri melihat mereka yang memiliki pasangan yang baik, mapan dan penuh perhatian. "Aku harus pergi, kerjaan ini ngga bisa diwakilkan. Pak Tio sedang sakit, aku harus turun tangan sendiri untuk mengurusnya," ujar sebuah suara dari samping kamar. Sepertinya itu suara Mas Risky. Aku menghentikan aktifitasku sejenak untuk mendengar apa yang mereka debatkan. "Tapi kan kita baru menikah, Mas? Tak bisakah kamu memberikan waktu luang untukku beberapa hari saja selama aku libur kerja?" "Ini masalah urgent, bukan perkara bisa memberikan waktu luang atau tidak, tapi kamu harus bisa memahami bagaimana pekerjaanku!" "Ini moment spesial kita, Mas. Apa iya, aku ditinggal begitu saja. Ini sudah melenceng dari rencana awal kita untuk bulan madu ke Bali. Oke aku terima, tapi kalau kamu harus pergi juga, bagaimana denganku?" pekik Adinda lantang. "Beginilah konsekwensinya menikah dengan pengusaha. Kamu harus mengerti. Sudah, ini sudah siang, aku terlambat!" Suara pintu dibanting membuatku berjingkat kaget. Badan Kiaa pun turut bergerak karena kaget tetapi tak sampai menangis. Setelahnya aku tak lagi mendengar teriakan Adinda dan Mas Risky. Kembali perhatianku kuarahkan pada Kiaa yang sudah kembali terlelap di atas box bayi miliknya. Kupandangi wajah mungil di dalam box ini. "Ah anak cantik, malang sekali nasibmu, Nak," gumamku sambil mengusap pucuk kepala Kiaa. Kondisi rumah yang sepi dan sunyi membuatku tak tahu harus mengerjakan apa lagi saat Kiaa sudah tertidur. Kulihat di luar kamar tak terdapat seorang pun yang ada di rumah ini selain aku dan Adinda yang tengah berada di dalam kamar. Telingaku mendengar suara isakan di dalam kamar sebelah. Kudekatkan telingaku ke daun pintu kamar itu. Iya benar, suara Adinda. Kupegang hendel pintu kamar milik Adinda, tetapi tanganku ragu hendak membuka pintu itu. Kembali kujauhkan tanganku dari hendel itu dan aku berinisiatif untuk membuatkan teh hangat untuk Adinda agat ia tenang. Beruntung rumah Mas Risky ini tak sebesar rumah Bu Maria, sehingga tak sulit untukku meraba seluruh ruangan di dalamnya. Kakiku melangkah lurus ke arah belakang dan kutemukan sebuah dapur mini yang cantik dan rapi. Dengan lincah tanganku meracik teh manis untuk Adinda, nyonya besar di rumah ini. Ah Nyonya, bolehkah aku berkhayal jika suatu saat aku juga menjadi nyonya?. Mustahil. "Sadar Saniaaa!! Sadar!!" ocehku lirih sambil tanganku memukul kepalaku pelan. Kubawa secangkir teh hangat yang kubuat ke kamar Adinda. Tetapi tak lagi kudengar suara tangisnya, berganti dengan suara obrolan. Tanganku terhenti di hendel pintu dan kembali kudekatkan telingaku tepat di pintu yang berada di depanku. "Kalau gini aku nyesel, ngapain juga aku mau nikah sama dia! Belum apa-apa sudah ditinggal kerja!" Aku kaget mendengar suara dari dalam kamar ini. Apa mungkin ada seseorang yang baru masuk dan keduanya tengah berbincang di dalam? Atau dia sedang menelpon seseorang?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN