Kebetulan Yang Mengejutkan

1106 Kata
Hatiku nelangsa saat beberapa orang yang membantu mengejar ojek itu kembali dengan tangan hampa. Deru kenalpot bus yang keluar masuk pintu terminal tak membuat rasa nelangsaku memudar. Lidahku kelu untuk sekedar meminta pertolongan kepada sesama manusia di sekitar terminal ini. Semuanya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Pikiranku buntu untuk sekedar berpikir langkah kedepannya yang harus aku ambil. Yang ada dapam pikiranku hanya kondisi Caca. Di dalam tas itu ada dompet juga ponsel yang merupakan barang yang penting. Jika dua barang itu hilang, bagaimana caraku untuk pulang? Bagaimana caraku untuk mengabari Ibu bahwa aku akan terlambat pulang atas musibah ini? Seandainya saja ada Mas Risky di rumah, mungkin hal ini tidak akan pernah terjadi. Mungkin dia akan memastikanku masuk ke dalam bus sebelum benar-benar pergi meninggalkan terminal ini. Ah lagi-lagi aku berhayal terlalu tinggi. Jika di rumah saja dia abai, bagaimana mungkin mau mengantar apalagi menunggu hingga aku naik bus? Aku terduduk lemas di pinggir jalan. Beberapa pasang mata menatapku dengan tatapan iba. Aku pun bingung harus berbuat apa, sementara tak ada yang kukenal sama sekali di tempat ini. Jika aku kembali ke rumah Mas Risky pun aku tak memiliki ongkos untuk naik ojek kembali, apalagi jika kulanjutkan perjalanan untuk pulang ke kampung. "Mbak mau kemana tujuannya?" tanya seorang laki-laki sedikit tua yang tiba-tiba saja duduk di sebelahku. Ia memandang wajahku dengan tatapan iba. "Saya mau ke Jombang, Pak. Semua uang yang saya bawa ada di dalam tas itu," jawabku lirih. Aku tak berani menatap wajahnya. Rasa kalut dan bingung penuh berjejalan dalam kepalaku. "Mbak nya mau bantu-bantu di warung saya? Nanti saya kasih upah buat ongkos Mbak nya pulang," tawar lelaki di depanku ini. Aku mendongak, menatap wajah teduh lelaki di depanku ini. Tatapan yang sama dengan tatapan Bi Siti. Menenangkan. Tanpa berpikir panjang kemudian aku mengangguk cepat. Menyetujui permintaan lelaki tua yang mungkin bermaksud menolongku dengan caranya. Menolong yang tidak membuatku merasa dikasihani. Aku merasa dibutuhkan. Sejak kecil hidup mandiri membuatku terbiasa berusaha keras untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku dididik dengan keras oleh keadaan. Ibu yang lumpuh, kepergian Bapak dan tuntutan kebutuhan tak membuatku bisa bersantai menikmati masa muda. Aku bak kuda yang terus dipacu untuk berlari demi bertahan hidup. Beruntung beasiswa yang kudapatkan karena prestasi membuat guruku memperjuangkanku hingga tamat di jenjang sekolah menengah. "Baiklah, mari ikut saya ke warung sana," ajaknya seraya menunjuk sebuah warung yang tampak sepi. Lelaki berkaus oblong warna putih itu berjalan mendahuluiku menuju warung yang ditunjuk. Aku mengekor dengan hati penuh syukur. Setidaknya masih ada harapan untukku bisa bertemu dengan Caca dalam waktu dekat. "Mbak bantu saya cuci piring-piring ini, ya?" titahnya dengan menunjuk sebuah ember ukuran sedang yang penuh dengan perabotan kotor. Ember itu berada di sebuah ubin khusus mencuci berbentuk persegi yang di atasnya terdapat kran air dan lubang untuk saluran pembuangan di sudut sisinya. Terdapat sebuah kursi plastik di depan ember itu. Sepertinya kursi ini khusus untuk mencuci piring-piring kotor itu. "Boleh, Pak." Tanpa aba-aba lagi aku segera menyelesaikan tugas yang diberikan. Aku tak mau membuatnya kecewa karena telah memberi kepercayaan terhadapku untuk membantunya. Bapak berkaos itu dengan lincah dan lihai menyiapkan seporsi demi seporsi nasi dengan lauk yang sudah tertata dalam etalase khusus sesuai pesanan pembeli. Silih berganti pembeli datang, tidak sampai berjejal tapi terus berdatangan setelah satu pelanggan lainnya keluar. "Gimana warung hari ini, Pak?" tanya seorang perempuan yang baru datang. Ia memakai gamis potongan line A dengan lengan ia gulung ke atas hingga siku. Mata perempuan itu terbelalak setelah melihatku menyelesaikan satu per satu piring yang kucuci. "Heh, siapa kamu? Ngapain kamu di situ?" hardiknya dengan tatapan menusuk. Seketika aku berdiri seraya menunduk takut. Debar jantungku tiba-tiba berdetak berlompatan. Kuabaikan tanganku yang basah dan sedikit licin karena sabun yang masih belum bersih. "Buk, tadi Bapak yang suruh. Nggak apa-apalah namanya nolong orang!" sela Bapak berkaos putih yang tadi memintaku membantunya. "Nolong orang gimana? Sudah tahu dagangan sepi sejak kemarin tapi masih saja sok bantu orang, situ banyak duit? Iya?" omelnya dengan tangan dilipat di pinggang. "Kalau jualan sehari ngga dapat untung kamu mana mau tahu?" lanjutnya lagi. "Sejak kemarin memang sepi, Buk. Tapi barusan pembali datang silih berganti. Lihat dagangan kita sudah berkurang banyak!" ucapnya sambil menunjuk lemari makanan berdinding kaca yang terletak di atas meja. Terdapat beberapa macam lauk di piring-piring yang berbeda yang porsinya sudah berkurang banyak. Sedang disudut meja terdapat sebuah penanak nasi elektrik yang lampu indikatornya sudah mati. Di depan meja terdapat satu kompor dua tungku yang di atasnya terdapat masing-masing satu panci berukuran sedang. Ada centong panjang yang ujungnya menyembul keluar dari penutup panci yang terbuka separuh. Mata perempuan yang baru datang itu menyapu pemandangan sekeliling. Gurat emosi dari wajah yang juga tampak dari kilatan tatapannya perlahan mereda. Ada helaan napas yang terlihat dari gerak dadanya yang naik turun tak beraturan. "Lihat, Buk!" ujar lelaki itu lagi sambil membuka laci tempat mereka menyimpan uang. Seketika bibir ibu itu mengembang sempurna. "Alhamdulillah," pekiknya dengan mata tak lepas dari arah pandangan laci itu. "Mungkin kemarin-kemarin kita kurang sedekah sehingga warung kita selalu sepi. Lalu Bapak melihat Mbak ini menjadi korban pencopetan. Bapak pikir tak ada salahnya kita menolong dia sebagai bentuk ikhtiar kita untuk membuka ladang rejeki kita. Alhamdulillah langsung Allah balas dengan rejeki sebanyak ini," ucap Bapak itu dengan mata berkaca-kaca. "Yawes nggak apa-apa, lanjutin kerjaannya, Mbak. Kamu auranya bagus, bawa rejeki," pungkas ibu pemilik warung itu akhirnya. Aku pun bernapas lega mendengar perdebatan kedua pemilik warung ini. Tak bisa kubayangkan bagaimana nasibku jika ibu ini tak berkenan mempekerjakanku. Mungkin aku takkan bisa bertemu dengan Caca dalam waktu dekat. Ah ya, Caca. Harusnya sekarang aku sudah berada dalam bus untuk bertemu Caca. Semoga kamu baik-baik saja, Nak. Semoga mama bisa segera mendapatkan uang untuk bisa kembali pulang. "Sudah selesai, Mbak?" tanya Bapak pemilik warung. Ia berjalan mendekat ke arahku. "Sudah, Pak." Aku meletakkan piring terakhir ke atas rak. Lalu meraih lap untuk mengusap tanganku yang basah. "Ibu sedang ke pasar, saya kebelet ke kamar mandi, minta tolong dijaga sebentar, ya? Saya ngga akan lama," pintanya. Aku megangguk cepat. Sementara ia berjalan cepat ke arah belakang. Entah kemana kamar mandinya. Kulihat hingga pintu belakang pun tak kudapati bangunan kecil yang identik dengan bentuk kamar mandi. Ah biarlah. Aku ke depan saja. Aku duduk di bangku pelanggan, tepat di samping meja etalase makanan sambil menunggu pelanggan datang. Sambil tak henti bibirku mendoakan Caca agar ia baik-baik saja. Tak bisa aku bayangkan bagaimana dengan ibu yang panik sementara ponselku tak bisa dihubungi. "Ya Allah, mudahkan urusan hamba," gumamku. "Permisi, Bu. Es teh manisnya satu," sebuah suara membuatku mengarahkan pandangan ke seorang lelaki yang tiba-tiba saja duduk dan memesan minuman. Mataku terperanjat melihat siapa yang berada di depanku ini. Sungguh kebetulan yang mengejutkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN