Momen Tak Sengaja

1279 Kata
"Sa, siapin baju-baju kamu sama barang-barang Kiaa ya? Kalian ikut pindah ke rumah Risky yang di perumahan Grand Kencana," ujar Bu Maria saat aku sedang membuatkan s**u untuk Kiaa. "Pindah, Nyonya?" tanyaku kaget. Aku refleks menghentikan gerakan tanganku memindahkan s**u bubuk ke dalam botol s**u milik Kiaa. "Iya. Setelah pulang dari hotel Risky dan Adinda langsung pindah ke rumahnya," jawab Bu Maria cepat. Ia tengah duduk di bibir ranjang dan menepuk paha Kiaa yang mengantuk. Bayi mungil itu menggeliat karena lapar. Astaga, aku pun ikut pindah? Bagaimana hidupku di sana nanti? Bagaimana kikuknya sikapku saat hanya tinggal berempat di sana dengan keluarga kecilnya? Astagfirullah. "Kenapa, Sa? Kok bengong?" tanya Bu Maria saat aku terdiam sambil menggenggam s**u Kiaa yang belum kuaduk. Mataku terperanjat saat mendengar pertanyaan Bu Maria. Perempuan paruh baya itu rupanya mengamatiku. "Hei, Bayi kecil," sapa Dimas tiba-tiba. Ia baru saja masuk ke kamar Kiaa tanpa permisi dan langsung berbaring miring di sebelah Kiaa. Tangannya memegang kedua pipi Kiaa yang gembul. "Ihh, tangannya! Bayi lagi ngantuk pake di gemes-gemes," hardik Bu Maria saat Dimas mencoba menggoda Kiaa yang tengah mengantuk. Tangan gemuk Bu Maria menepuk tangan Dimas yang menggemas pipi Kiaa. "Sini botolnya, biar saya yang bantuin. Kamu siap-siap dulu," ujar Bu Maria mengusirku. "Siap-siap kemana sih, Ma? Baru juga Dimas datang sudah disuruh pergi Sanianya. Kan Dimas juga pengen ngerumpi sama kalian," seloroh Dimas. Ia menatapku dan Mamanya bergantian. "Ngerumpi apa sih! Laki-laki pakai ngerumpi segala! Ke resto sana, bantuin Pak Tio," perintah Bu Maria pada putra bungsunya. "Alah, Ma. Masih capek, besok aja lah." Dimas semakin meluruskan badannya. Ia lantas menggoda Kiaa kembali hingga bayi itu menangis. "Kamu ini!" Bu Maria dengan sigap menggendong Kiaa dan menimangnya. Satu tangannya yang lain memegang botol s**u yang dimasukkan ke dalam mulut Kiaa. Aku tak lagi memperdulikan anak dan ibu yang tengah berdebat itu. Fokusku beralih pada koper yang sudah dibawa kemari oleh Bu Maria. Kutata satu persatu baju-baju Kiaa yang sepertinya tak ada yang murah. Semua bahan bajunya terasa halus dan tidak panas saat dipakai. Terlihat sekali jika baju-baju ini tidak dibeli disembarang toko baju bayi. Disela-sela menata baju, aku kembali terbayang bagaimana nanti aku harus bersikap saat tinggal di rumah Mas Risky. Akankah aku bisa menahan segala rasa dari kemesraan keduanya di depan mataku? Ya Allah, cobaan apalagi ini? Usai menata baju milik Kiaa, aku pamit pada Bu Maria untuk berganti mengemas baju-bajuku sendiri. "Ikut pindah juga, Nduk?" tanya Bi Siti saat aku tengah berhenti di depan dispenser. Tanganku memencet satu tombol berwarna biru untuk mengisi gelas yang kupegang. "Iya, Bi." Aku tersenyum menatap wajah Bi Siti. "Seharusnya memang begitu karena Den Bagus di sini hanya setelah Kiaa kehilangan mamanya. Sebelumnya mereka tinggal di rumah itu," sela Bi Siti. Aku menatapnya dan mengangguk lalu meneguk air yang telah terisi penuh dalam gelas yang kupegang. Setelahnya aku mengabaikan Bi Siti yang sedang memasak di dapur untuk mengemas pakaianku sendiri. Rasa takut itu masih menjalari tubuhku. Bukan takut yang bagaimana, aku hanya takut tak bisa menguasai diriku ketika melihat sepasang suami istri itu bermesraan di rumah mereka sendiri. Tentu aku akan merasa sakit mengingat rasaku padanya masih utuh. Sayangnya tak tersentuh. "Hai Cantik," sapa Adinda saat aku baru saja kembali ke kamar Kiaa. Ia juga baru sampai di rumah ini. Wajahnya tampak berseri-seri. Senyum selalu terkembang dari garis bibirnya yang berwarna merah. Ah aku lupa, mereka berdua pengantin baru, tentu sedang merasa indah-indahnya. "Haii Mama," jawabku dengan suara kubuat seperti anak-anak. Aku memaksa wajahku untuk turut tersenyum menyambut kedatangan dua orang di depanku. Sedangkan wajah Mas Risky hanya diam dan datar. Setelah melihat keadaan putrinya baik-baik saja, lelaki itu pergi meninggalkan kamar Kiaa. Hanya ada Adinda yang masih berada dalam ruangan bersamaku. "Pinter ngga selama ditinggal Papa pergi? Hemm, anak Cantik," tanyanya sambil menggemas pipi gembul Kiaa. Adinda lalu menggendong Kiaa. Ia menimang-nimangnya dengan penuh kasih. Rupanya bayi mungil itu peka terhadap kedatangan orangtuanya. Setelah menghabiskan satu botol s**u, ia tak kunjung tidur juga. Aku melihat ada setitik rasa sayang dari sinar matanya. Tiba-tiba saja terlintas dalam ingatanku ucapan dua gadis diacara pernikahan Adinda kemarin. Apa iya Adinda licik? Sementara aku melihat ada kasih sayang untuk Kiaa darinya. Ah ada ataupun tidak, tak patut aku mempercayai ucapan orang yang tidak kukenal. "Sudah siap?" tanya Mas Risky di ambang pintu. Ia bertanya pada Adinda yang masih sibuk bermain dengan Kiaa. Sedang aku tengah membereskan sisa barang Kiaa yang masih tertinggal di atas ranjang. "Sudah, Papa. Kita berangkat?" tanya Adinda yang suaranya juga dibuat seperi anak-anak. "Ya sudah buruan pamit sama Mama dan yang lainnya." Tanpa permisi lelaki berkaus polo warna cokelat itu berlalu begitu saja. Adinda pun turut kekuar bersama Kiaa dalam gendongannya. Sedang aku mengekor di belakangnya sambil menarik koper Kiaa juga menenteng tas bawaanku. Bu Maria dan Dimas sudah menunggu di teras. Keduanya menunjukkan raut wajah sedih melepas kepergian Kiaa dari rumah mereka. "Hati-hati ya, Sayang, cucu Nenek," ujar Bu Maria sambil menciumi pipi Kiaa. "Kapan-kapan Om juga mau main ke rumah Kiaa, biar ketemu sama embak berhijab yang cantik jelita," goda Dimas sambil melirik ke arahku. Ah lelaki muda ini terlalu genit. Sungguh berbeda dengan sang kakak yang berwibawa. Aku menunduk sambil menahan senyum. Bukan karena ada yang lucu, hanya saja aku bersyukur pernah menaruh rasa pada kakaknya yang lebih baik dari adiknya, kelihatannya. Kepalaku kemudian mendongak, tak kusangka ada sepasang mata yang sedang mengintaiku dengan tatapan datar. Ah Mas Risky, selalu menatapku dengan wajah yang seperti itu. Tak bisakah sedikit saja ramah terhadapku? Tak apalah rasa ini tak terbalas tapi setidaknya kamu bersikap seperti biasa padaku. Ah sayangnya aku hanya mampu mengeluh dalam hati. "Sudah buruan masuk, saya ada kerjaan pagi ini," titah Mas Risky. Adinda segera masuk ke dalam mobil. Aku menyusulnya dengan membawa barang-barang Kiaa juga barang bawaanku. "Ini biar saya yang bawa," pinta Mas Risky seraya meraih barang-barang yang kupegang untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Aku terharu melihat tingkah Mas Risky. Dinginnya tatapan mata itu tak sebanding dengan sikapnya yang manis, menurutku. "Mbak Sania asli mana?" tanya Adinda saat kami sudah dalam perjalanan. "Saya asli Jombang," jawabku ramah. "Jombang? Papa Kiaa juga kan pernah sekolah di sana ya?" jawabnya sambil melirik Mas Risky yang tengah sibuk berkonsentrasi. "He'em," jawab Mas Risky tanpa menoleh. "Jombang itu lumayan luas, Mbak," sahutku. "Anak saya masih di sana," lanjutku lagi. "Oh Mbak Sania punya anak? Sama siapa di sana?" "Sama Neneknya." "Ayahnya?" Adinda kembali bertanya. "Sudah meninggal beberapa bulan lalu," jawabku mantab. Sepasang mata milik si pengemudi mobil itu melirikku sekilas melalui kaca spion. Ada tatapan yang tak biasa saat aku tak sengaja beradu pandang dengannya di dalam kaca itu. "Ups, maaf. Saya tidak tau," sahut Adinda cepat. "Nggak apa, Mbak. Sudah jalannya," kataku lagi sambil tersenyum untuk mengurai rasa sungkan yang membalut wajahnya. Beberapa saat perjalanan kami sudah sampai di rumah Mas Risky. Rumah modern minimalis yang berwarna abu-abu matang kombinasi abu muda tampak elegan. Ada beberapa pilar kecil di pinggir teras yang membuat rumah itu tampak gagah. Ada dua kursi kayu di sisi kanan dan kiri meja kecil yang berada di teras rumah itu yang berhadapan langsung dengan taman kecil. Cantik rumahnya. "Tolong barang-barang Kiaa ya, Mbak Sania?" ujar Adinda sambil berlalu ke depan pintu rumah. Ia membuka pintu itu terlebih dulu tanpa menunggu sang suami. "Baik, Mbak." Aku berjalan ke bagian belakang mobil yang rupanya pintunya sudah dibuka otomatis oleh Mas Risky. Lelaki itu berjalan ke bagian belakang mobil sambil memegang ponsel miliknya. Wajahnya menunduk menekuri ponsel di tangannya sehingga tak melihat jika aku sudah berada bagian belakang mobil. Tanganku memegang hendel pintu hendak kubuka. Tetapi tangan kekar itu melakukan hal yang sama di hendel pintu yang sudah kupegang. Merasa ada sesuatu di tangannya, mata lelaki itu mendongak. Seketika pandangan kami beradu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN