Gratak! Gratak!
Bunyi kayu terbakar mulai terdengar dari dalam kamar. Suasana ruangan menjadi sangat panas dan pengap karena asap yang menyusup masuk. Semakin lama semakin banyak jumlahnya, membuat keempat tawanan yang berada di dalamnya merasa semakin tersiksa.
Adrian menelan ludah. Rahangnya mengeras. Dia memang menginginkan untuk berkumpul kembali dengan Susan dan anak-anak. Namun, dia tak pernah menginginkan ini semua ini terjadi. Apa yang akan harus dia lakukan sekarang? Kondisi saat ini begitu buruk.
Adrian yang tak mampu berpikir jernih, segera menendang dan memukul pintu. Namun, pintu yang terbuat dari kayu oak yang berat itu bergeming. Haruskah mereka menunggu pintunya terbakar habis oleh api? Bila iya, sudah pasti kondisi mereka sama buruknya dengan pintu tersebut.
Adrian tak berputus asa. Dia kembali mencoba menggedor pintu dengan berlari dan menumbukkan badan ke pintu. Namun, hasilnya semakin melemah saja karena tenaganya semakin berkurang.
Kini, Adrian tak sendiri. Susan berusaha membantu dengan melakukan hal yang sama. Namun, hasilnya masih belum sesuai yang diharapkan. Pintu belum membuka.
Asap putih semakin tebal memenuhi ruangan. Alan dan Liana semakin terbatuk-batuk tak sanggup menahan serangan asap yang serasa mencekik leher mereka. Susan semakin khawatir dengan keadaan kedua anaknya. Wanita itu lalu menyobek pakaiannya untuk dijadikan masker anak-anaknya.
"Pakai ini! Setidaknya akan mengurangi jumlah asap yang masuk!" seru Susan dengan panik. Dia sudah tak bisa lagi menangis atau marah. Tenaganya hampir habis hanya untuk bertahan hidup.
Si kembar pun mengenakan masker apa adanya dari sobekan pakaian Susan. Mereka mengibaskan sebelum memakainya agar kain yang hendak mereka pakai terbebas dari sebagian besar debu. Setelahnya, mereka menutup muka dengan cukup rapat. Asap yang menyesakkan pernapasan memang berkurang. Mereka berdua bisa sedikit merasa lega.
Alan mulai bisa berkonsentrasi lagi untuk mengamati sekitar ruangan di saat ayah dan ibunya berusaha mendobrak pintu. Dia terkenang oleh kata-kata Adrian yang menyebutkan bahwa rumah ini adalah tempat persembunyian karena banyak bagian yang sangat kokoh dan sulit ditembus.
"Ayah! Lihat itu!" seru Alan sambil menarik ujung kemeja ayahnya yang tengah bersiap mendobrak pintu untuk kesekian kalinya, mungkin ke 20 atau 21 kali.
Adrian pun menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh putranya. Ada satu ubin yang agak masuk ke dalam akibat Adrian membanting kursi tadi. Anehnya, hanya satu saja ubin yang agak terdorong ke bawah.
"Biasanya di tempat persembunyian di dalam n****+ yang aku baca, pasti selalu ada ruang rahasia." Alan menjelaskan dengan sangat yakin dan penuh harap bahwa kali ini dia pasti benar.
Adrian menatap Alan dan berkata, "Kerja bagus, Jagoan! Ayo kita cek ke sana!"
Adrian dan Alan bergegas berlari mendekat ke arah ubin berukuran 80x80 meter tersebut. Adrian mengecek pinggiran ubin yang melesak ke dalam, kemudian mendorong sekuat tenaga. Memang bergerak, tapi hanya sedikit karena tak cukup gaya untuk memberi tekanan di titik terlemahnya.
Adrian lalu berdiri dan mencoba cara ekstrim yang cukup bodoh. Dia melompat-lompat di atas ubin tersebut dan hasilnya sungguh mengejutkan. Ubin tersebut melesak makin dalam dengan kecepatan sangat tinggi, membuat Adrian tak sempat naik ke atas untuk menyelamatkan diri.
"Aarrrghhh!"
"Ayaaah!"
Terdengar bunyi bum yang sangat keras di bawah sana yang begitu gelap. Alan melongok ke dalam lubang untuk mencari Adrian. Namun, dia tak melihat apa pun di bawah sana.
"Ayah! Kau baik-baik saja?" seru Liana yang khawatir. Dia memandang Alan dengan wajah marah karena memiliki ide gila.
Tak lama, muncullah cahaya yang sepertinya berasal dari senter ponsel Adrian. Kemudian, suara yang diharapkan muncul, "Alan! Kau benar sekali! Kerja bagus, Jagoan! Ada ruang bawah tanah di bawah sini. Tapi aku ragu, di mana jalan keluarnya."
Alan, Liana, dan Susan berkerumun di sekitar lubang besar di lantai. Wajah Adrian yang menengadah dari bawah sana, sayup-sayup terlihat. "Carilah cahaya matahari kalau kau bisa menemukannya!" seru Susan menambahkan dengan penuh harap. Dia tak ingin hidup mereka berakhir dengan konyol di tempat ini.
"Sayang, ini sudah gelap di luar! Tidak mungkin menemukan cahaya matahari!" timpal Adrian yang lupa bahwa dia dan Susan dalam kondisi memprihatinkan dan dalam proses perceraian.
Alih-alih mempedulikan panggilan sayang dari Adrian, Susan justru makin panik. Asap semakin tebal memenuhi ruangan. Jika Adrian tak menemukan jalan keluar, akan percuma saja turun ke ruang bawah tanah. Itu hanya akan memperpanjang penderitaan mereka selama beberapa jam saja.
"Adrian, kondisi sudah semakin buruk di sini. Asap semakin banyak. Apa kau tak ada gagasan lain selain meminta kami menunggu?" tanya Susan dengan suara keras sambil memeluk kedua anak kembarnya.
Sementara Alan dan Liana sudah mulai terbatuk-batuk lagi. "Ibu, aku tidak tahan. Kita ikut ayah saja ke bawah!" rengek Liana dengan tak sabar. Dia paling benci asap lebih dari apa pun di dunia ini. Dia tak tahan dan ingin langsung melompat ke bawah bila sang ibu tak menahannya.
"Liana benar, Bu. Kita lompat saja ke bawah!" Alan pun sudah mulai tak tahan. Matanya mulai berair karena asap yang semakin tebal.
"Sepertinya aku tahu jalan keluarnya! Kalian turunlah satu per satu! Ayah akan menangkap kalian agar tak cedera karena tak ada tangga atau tali yang bisa membantu." Adrian pun mengulurkan tangannya ke atas. Bersiap menangkap satu per satu anak-anak dan istrinya.
Pertama, Liana melompat turun. Adrian menangkap putri kecilnya tanpa kesulitan. "Wah, mengapa kamu terasa semakin ringan, Sayang?" tanya Adrian kepada Liana.
"Tentu, Ayah! Beberapa hari ini aku berdiet." Liana menjawab dengan senyuman yang sangat manis.
Dari temaram cahaya senter ponsel, Liana dapat melihat bibir ayahnya yang komat-kamit melafalkan umpatan kasar. Dia tahu, ayahnya pasti tak akan setuju dengan program diet apa pun yang dia jalankan karena begitulah katanya sifat natural seorang ayah.
"Ayah, aku akan melompat!" seru Alan kepada ayahnya. "Jangan bantu aku! Aku bisa sendiri."
Alan menjatuhkan diri ke bawah, menyusul saudarinya. Namun, betapa kecewanya dia saat sang ayah tetap saja menangkapnya. Wajahnya yang bersungut-sungut tetap terlihat oleh Adrian walaupun mukanya masih ditutup masker kain darurat buatan Susan.
Alan bergegas melompat dari pelukan Adrian dengan perasaan kesal. "Mengapa Ayah menangkapku? Bukankah aku sudah bilang bahwa ini mudah bagiku?" protes Alan keras. "Aku bukan Liana yang harus ditimang dan digendong setiap saat, Ayah!"
"Apa kau bilang? Aku tidak semanja itu tahu!" protes Liana marah. Terjadilah keributan kecil di antara saudara kembar itu yang tentunya sangat tidak mendukung suasana.
"Hentikan kalian! Sekarang ini keselamatan adalah yang utama!" bentak Adrian. "Dan kau, Alan! Ayah tahu kau ini jagoan. Tapi Ayah tak ingin mengambil risiko apa pun saat ini."
"Sedang apa kalian? Jangan ribut di saat seperti ini!" seru Susan dari atas sana. Dia kemudian sengaja melompat ke bawah tanpa memberi aba-aba agar Adrian tak perlu menolongnya. Dia tak ingin disentuh oleh Adrian.
Namun, sebagaimana yang terjadi pada Alan, Adrian pun dengan sigap menangkap Susan. Hanya saja, berat badan Susan yang tentu tidak seringan anak-anak, membuat Adrian yang tak menyiapkan diri dengan baik terjatuh dan tertindih oleh tubuh sang istri. Wajah keduanya pun bersentuhan. Bahkan, tanpa sengaja, bibir mereka saling menempel.
Alan dan Liana pun serentak berseru, "Ooouchh! Ya ampuuun!"