1. Awal Kehancuran
Adrian Thomas, pria yang dielu-elukan oleh media sebagai pria sempurna, memiliki segalanya di dunia ini. Karir bersinar di usia sangat muda yang dibarengi dengan harta melimpah, istri cantik bagai bidadari, dan anak-anak yang lucu. Semua yang diinginkan oleh seorang manusia ada pada dirinya. Pria kaya yang terhormat, dengan keluarga bahagia.
Setiap kolega memandang Adrian dengan tatapan luar biasa, baik berarti pemujaan, kagum, atau iri. Tak jarang dia mendapatkan hadiah berupa undangan makan malam, oleh-oleh dari luar kota, atau pun justru batu sandungan untuk menjatuhkan. Namun, semua pujian dan rintangan itu seolah tak mempengaruhi kehidupan Adrian. Dia selalu bisa melalui semua hal dengan proporsional.
Tentu saja, ada sosok yang sangat berjasa di balik bersinarnya prestasi Adrian. Siapa lagi bila bukan sang permaisuri tercinta–Susan. Susan selalu mendukung suaminya sejak mereka belum menikah. Mengeluarkan Adrian dari kegelapan malam dan membawa pria itu dalam terangnya sinar mentari.
Tak ada istri sehebat Susan yang bisa membantu pekerjaan suaminya bagaikan Adrian bekerja sendiri. Tak pernah sekali pun Adrian merasa tak puas dengan bantuan sang istri. Apalagi setelah pekerjaan selesai, mereka berdua tentu akan menghabiskan waktu romantis bersama.
Setelah melahirkan, Susan yang tadinya sering mengunjungi Adrian di kantor, bahkan menemani ketika ke luar kota, menjadi lebih sering di rumah. Saat itulah, Adrian mulai membutuhkan bantuan seorang sekretaris.
Adrian yang memang sangat tampan, tentu menjadi incaran para wanita yang tak tahu diri. Namun, Adrian sangat pandai menjaga diri. Tak seorang wanita pun dapat melenakan Adrian dari pandangan istrinya.
Betapa terpujinya seorang Adrian. Susan merasa sangat beruntung mempunyai suami seperti Adrian. Sesuatu yang sangat diharapkan seorang wanita. Kesetiaan yang hakiki pada satu pasangan.
Suatu hari, Adrian terpaksa harus mencari sekretaris karena Alya, sekretarisnya yang sekarang, mengajukan pengunduran diri karena hamil. Saat itulah titik balik kehidupan Adrian dimulai. Orang tak akan mengerti, karena tampak luar, semua seperti baik-baik saja.
Evita, sekretaris baru Adrian, adalah wanita yang sangat luar biasa pesonanya. Selama ini, dia memiliki rekam jejak luar biasa dalam memikat pria. Tak satu lelaki pun akan bisa menolak pesona kecantikan dan kemolekan tubuh sekretaris itu. Entah bagaimana caranya, sekarang dia bisa berada di kantor Adrian. Apa boleh buat, dia juga bukan orang sembarangan dalam pekerjaan. Dia benar-benar tahu apa yang harus dilakukan sebagai sekretaris profesional.
Namun, Evita tak pernah setia pada satu atasan saja. Dia memilih untuk selalu berganti atasan agar tak bosan. Prinsipnya, mencicipi banyak hidangan enak akan membuat hidupnya lebih menantang. Beberapa bos besar yang pernah memiliki Evita saat ini merasa penasaran apakah seorang Adrian akan jatuh juga ke dalam kuasa nafsu yang ditawarkan seorang Evita?
Suatu hari, saat berada di sebuah pesta, Susan bersapa dengan salah satu kawan lamanya, Bella, yang juga menjadi istri seorang direktur di perusahaan minyak yang cukup ternama. Kawan lama adalah predikat yang tersemat secara resmi. Namun, sejatinya, para wanita yang duduk di bangku sosial lapis atas selalu bercengkerama seolah memegang belati di mulut mereka. Itulah sebabnya, Susan tak terlalu bersemangat menghadiri pesta yang diadakan oleh rekan bisnis suaminya.
Bella menghampiri Susan dengan seringai sinis yang tak ditutupi, seolah datang mengibarkan bendera perang dengan kepercayaan diri tinggi bahwa dia akan menang. "Apa kabar, Susan? Lama kita tak berjumpa."
"Tentu saja aku sangat baik," jawab Susan ketus dan singkat. Dia tak suka perangai Bella yang hanya akan menyapanya bila ada sesuatu yang buruk saja.
"Oh, aku kira tak akan sebaik itu," timpal Bella dengan senyuman yang sungguh memuakkan. "Oh, ya! Kudengar, sekarang suami kamu ganti sekretaris, bukan? Kalau tak salah namanya ...." Bella pura-pura berusaha mengingat nama orang yang akan dia sebut untuk memberi kesan dramatis.
"Evita!" ujar Susan tanpa memandang Bella. Dia hanya memperhatikan gelas minumannya tanpa berkedip. Dalam hati, Susan ingin segera kabur dari tempatnya berdiri saat ini. Dia tak ingin memberi waktu kepada ular berbisa di sebelahnya untuk menggigit dan menginjeksikan racun di tubuhnya.
"Oh, iya! Aah, aku sampai lupa. Evita! Padahal dia sangat terkenal di kalangan teman-teman kita!" lanjut Bella dengan gaya yang sangat centil.
"Bella. Sebenarnya apa maumu?" tanya Susan dengan marah. Dia sungguh tak ingin berlama-lama dalam suasana yang sangat bodoh ini. "Aku tak pernah menyukai gosip. Dan aku tak ingin sedikit pun mendengar gosip tentang Evita! Dia baik. Bahkan sekarang, dia sedang menjaga anak-anakku di rumah."
"Ooh, Susan! Kau begitu emosi. Aku tentu tak akan berbagi gosip dengan wanita yang tak suka dengan berita miring. Namun ...." Lagi-lagi, Bella berhenti karena ingin memberikan tekanan kepada setiap kata-katanya. Matanya yang licik memandang Susan seolah akan memangsanya hidup-hidup. "Aku yakin kali ini kau pasti tak akan menolak kabar dariku."
Susan marah. Dia bergegas melangkah menjauh dari Bella, menyibakkan pemandangan kaki indah di balik belahan gaun panjangnya. Namun, Bella dengan cepat mencegah temannya kabur dengan berkata, "Sexretary!"
Mau tak mau, Susan berhenti. Kata-kata Bella ternyata memang sangat tepat, bagai anak panah yang diluncurkan tepat pada sasaran–hati Susan. Istri mana yang tak takut mendengar istilah seperti itu. Apalagi bila kata-kata itu tersemat pada sekretaris suami mereka.
"Kabarnya, tak pernah ada pria yang sanggup menolak godaannya. Aku hanya mengabarkan ini karena kau temanku," lanjut Bella dengan senyuman miring. "Hati-hatilah! Aku tak ingin rumah tangga temanku yang terkenal sangat harmonis ini dihancurkan oleh ular seperti Evita!"
Bella kemudian hendak pergi meninggalkan Susan dengan membawa senyuman kemenangan. Namun, Susan masih punya nyali untuk membalas serangan Bella. Dia pun berkata dengan lantang, "Jangan samakan suamiku dengan suamimu!"
Bella mendelikkan mata. Kini Susanlah yang tersenyum puas. Dia tak tahu bahwa mendengarkan gosip, terkadang ada gunanya. Suami Bella memang dikenal sangat suka selingkuh. Tak hanya dengan sekretarisnya, bahkan membayar model dan artis terkenal yang ingin dia tiduri.
Air mata menggenang di sudut mata Bella. Tak lama, wanita itu pun menangis karena tak kuasa mengingat masa lalunya yang buruk. Apa boleh buat, dia tak bisa meninggalkan sisi suaminya karena tak sanggup hidup miskin. Karena itulah, dia selalu merasa iri dengan rumah tangga Susan yang harmonis.
"Berani-beraninya kau menghinaku! Rasakan nanti! Pembalasan pasti akan datang padamu, Susan!" seru Bella, masih terus menangis. Dia pun pergi sambil berlari. Sempat dia terjatuh karena terjerat kabel sound system. Saat itu, Susan merasa bersalah karena pembalasannya mungkin terlalu berlebihan.
Susan pun menghampiri Adrian dengan tak bersemangat dan mengajaknya pulang. Dia bahkan tak menjawab pertanyaan Adrian yang penasaran mengapa moodnya begitu buruk.
Malam itu pun, menjadi malam terburuk bagi Susan. Tak pernah dia meragukan kesetiaan suaminya sampai seperti ini. Mata Susan hanya melirik beberapa kali ke arah suaminya. Entah mengapa, kata-kata Bella saat ini terngiang-ngiang di kepalanya. Benarkah Adrian kali ini akan gagal mempertahankan kesetiaannya?
Sejak percakapannya dengan Bella, Susan merasa tak tenang. Hampir setiap hari dia merasa paranoid. Dia jadi lebih sering mendatangi kantor Adrian, bukan karena perasaan rindu dan perhatian seperti dulu, tetapi karena perasaan tak tenang. Walaupun, tak pernah ada bukti bahwa Adrian melakukan perbuatan laknat itu, tetapi Susan merasa tak tenang.
Jangan-jangan mereka melakukan saat ke luar kota. Jangan-jangan mereka melakukan di waktu-waktu tertentu yang tak diketahui orang? Begitulah setiap harinya. Membuat Susan semakin was-was.
"Sayang, mengapa kau akhir-akhir ini tampak gelisah?" tanya Adrian suatu malam. Dia ingin menyentuh Susan. Namun, melihat istrinya yang resah, Adrian merasa tak enak untuk mengganggu.
"Tidak, aku hanya ...," jawab Susan ragu. Melihat wajah Adrian yang seolah tak melakukan dosa, membuat Susan merasa sangat bersalah. Apakah dia terlalu terpengaruh dengan kata-kata Bella?
"Sepertinya, kau harus berlibur," saran Adrian kepada istrinya.
Siapa pun wanita yang mendengar suaminya menawarkan liburan, tentu akan menyambut dengan suka cita. Biasanya, Susan juga sangat antusias mendengar kata liburan. Namun, tidak kali ini. Dia justru curiga akan tipu muslihat yang direncanakan suaminya.
"Apa kau akan ikut?" tanya Susan menyelidik.
"Aku masih banyak pekerjaan. Kau bisa liburan ke Singapura atau ke Tokyo dengan anak-anak," jawab Adrian sedikit kecewa.
Suram mewarnai wajah Susan. Tampak sangat jelas hingga Adrian merasa ada sesuatu yang tak beres. "Apa kau tak suka pergi bersama anak-anak?"
Susan hanya menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, mungkin sebentar lagi akan mengalir air mata dari sana. Dia memalingkan wajah agar tak terlihat oleh suaminya.
"Apakah kau takut akan merindukanku?" bisik Adrian di dekat indera pendengar sang istri sambil menggigit kecil daun telinga itu, membuat gelombang hangat mengalir di tubuh Adrian. Namun, Susan bergeming, tak merespons hangat seperti biasanya.
Adrian merasa kekecewaan istrinya dikarenakan kesibukannya yang akhir-akhir ini membuat sang istri kurang mendapat perhatian. Sehingga dia justru melakukan pendekatan lebih jauh untuk menggoda istrinya. Melakukan rutinitas malam mereka yang beberapa hari ini tak sempat mereka lakukan.
Suasana malam itu begitu intens. Susan akhirnya menyerah dengan perlakuan manis Adrian dan memutuskan melupakan sejenak semua masalah yang menyebabkan pikirannya kacau.
Setelah kegiatan yang melelahkan, Adrian berbaring sambil memeluk istrinya. Dikecupnya sang istri dengan penuh rasa sayang seraya tersenyum sangat manis.
"Baiklah, aku akan mengajak anak-anak liburan ke Tokyo. Tolong minta Evita untuk merencanakan perjalanannya," kata Susan sambil tersenyum. Dia memeluk suaminya dengan senyuman penuh arti. Entah apa. Hanya Tuhan yang tahu apa yang ada di hatinya saat ini.
Hari yang ditentukan pun tiba. Susan dan anak-anak akan berangkat ke Tokyo hari itu. Rencananya, mereka akan berlibur selama tiga hari saja karena jadwal anak-anak yang cukup padat. Adrian tak bisa mengantarkan mereka ke bandara dan meminta Evita untuk mengantar. Namun, Susan menolak, dia memilih untuk naik taksi saja.
Namun, semua itu hanya rencana. Tengah malam, Susan kembali ke rumah dengan perasaan berdebar-debar. Dia tak pernah berangkat ke bandara. Diam-diam dia menggunakan mobil sewaan dan membawa anaknya bermain berkeliling kota. Bila memang kondisi suaminya dan Evita sedang menjalin hubungan gelap, pastilah mereka akan memanfaatkan tiga hari ini untuk menghabiskan waktu bersama.
Susan memandang kedua anak kembarnya yang tertidur pulas di jok belakang. Hatinya remuk, napasnya sesak, tetapi dia harus bertahan demi mereka. Keluarlah Susan dari mobil sendirian dan segera menerobos masuk ke dalam rumah.
... dan betapa terkejutnya dia saat mendapati pemandangan nista di sofa ruang tamu. Pergumulan laknat pasangan haram yang membuatnya merasa mual dan ingin muntah!
"Terkutuk kalian! Manusia laknat!" seru Susan membuat Adrian terperanjat setengah mati. Evita pun menghentikan kegiatannya karena Adrian mengempaskannya dengan kasar hingga dia jatuh ke lantai.
"Susan! Aku .... Aku .... Aku bisa jelaskan!" seru Adrian dengan panik.
Namun, bencana tak berhenti sampai di situ. Tiba-tiba, anak-anak mereka, Liana dan Alan masuk ke rumah dan menyaksikan pemandangan yang tak seharusnya dilihat oleh anak seusia mereka.
"Ayah?" tanya Liana.
"Mengapa, kok, Tante Evita tidak memakai ba—"
Alan tak meneruskan perkataannya karena Susan langsung menarik keduanya dan membawa mereka lari keluar. Tak ada lagi harapan bagi keluarga mereka. Susan tak akan bisa menerima pengkhianatan Adrian. Seruan Adrian tak akan dia dengar. Segala keindahan yang telah dibangun di atas cinta, kini telah hancur berkeping-keping.