6. Tersekap Bersama

1486 Kata
"Mengapa kalian mencurangi kami!" bentak Susan membelalakkan bola mata hazelnya yang berkilat tajam penuh amarah. Susan berusaha menunjukkan emosi sekuat mungkin. Akan tetapi, para penjahat itu melihat Susan hanya seperti seekor kucing peliharaan yang sedang marah–tidak takut sama sekali. Para penjahat itu saling melempar pandang dan menertawakan gertakan Susan dengan keras. Salah satu dari mereka pun berkata, "Kami tak menjanjikan apa pun selain mempertemukan kalian, bukan?" Mereka pun kembali tertawa terbahak-bahak dalam ruangan yang suram itu. Cahaya matahari sore yang malu-malu menembus celah jendela, tak sedikit pun membuat Susan merasa hangat. Tangisan kedua bocah kembar yang masih dalam ikatan pun mewarnai suasana sore yang lebih beku daripada pagi musim dingin setelah badai salju. Satu per satu, para penjahat itu pun meninggalkan ruangan tersebut. Mereka menyisakan keempat orang sandera yang kini berkumpul dalam satu ruangan besar. Mungkin, inilah satu-satunya kebaikan yang mereka lakukan kepada keluarga Adrian. Alan dan Liana berlari mendekati Adrian yang kini tergeletak di lantai keramik yang berdebu tebal. Mereka bersimpuh di dekat sang ayah sambil menangis. Hanya kedua wajah mereka yang mendekat menciumi ayah mereka karena tangan masih terbelenggu. Susan, meskipun tampak ragu-ragu, mengikuti langkah anak-anak mendekati Adrian. Dia berlutut di dekat suaminya tanpa khawatir debu-debu tebal di lantai akan mengotori tubuhnya yang hanya mengenakan dress katun longgar musim panas berwarna kuning cerah. Air mata Susan menitik melihat darah mengalir dari luka yang terdapat di kepala Adrian. Mata indah Susan mengamati kemeja katun putih Adrian yang kini sudah sangat dekil, ternoda oleh darah dan tumpukan debu di ruangan itu. Adrian seperti sudah tak bernapas. Tangan Susan tanpa sadar meronta ingin membelai pria di hadapannya dan mengecek apakah dia masih bernyawa atau tidak. "Ibu, apakah Ayah meninggal?" tanya Liana yang mukanya sudah sangat sembap. Keindahan mata biru Liana tak tampak lagi karena air mata membuat cahayanya meredup. Susan pun menggeleng. Dia sendiri tak tahu apa jawabannya. Kemudian, wanita itu mendekatkan wajahnya ke hidung Adrian untuk mengecek apakah pria itu masih bernapas atau tidak. Bau amis darah menyeruak ke hidung Susan. Bercampur dengan bau keringat dan parfum Adrian yang khas. Bau yang sangat akrab di indra penciuman ibu dua anak itu. Saat tak sengaja kulit wajah mulusnya bersentuhan dengan cambang tipis Adrian yang belum tercukur, dadà Susan berdesir. Dia tak bermaksud mencium pria itu, tetapi entah mengapa perasaannya bergolak tak menentu. Lebih memalukan lagi, di saat yang sama, mata Adrian terbuka perlahan. Kontan saja, Susan terkejut dan segera menarik wajahnya menjauh dari Adrian. "Ak–ku ...." "Kukira Ibu tadi hendak mengecek apakah Ayah masih bernapas atau tidak. Ternyata Ibu malah mencium Ayah!" komentar Liana dengan sengaja memutarbalikkan fakta. Gadis kecil itu meringis untuk menggoda ibunya. "Li—" "Tak perlu malu, Bu! Kami tahu kalau Ibu merindukan Ayah!" tambah Alan mendukung sandiwara Liana. Pria kecil itu mengulum senyum melihat ibunya yang salah tingkah. Muka Susan memerah. Dia lega, tentu, karena Adrian sudah sadar. Namun, ibu muda itu sangat malu karena kini Adrian terpana menatapnya dengan ekspresi yang tak kalah terkejut. Adrian tersenyum mengamati keadaan Susan dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pria itu lalu bertanya, "Kamu baik-baik saja, Sue?" Susan hanya mengangguk. Akan tetapi, hal itu sudah membuat Adrian cukup senang. Pria bermata biru itu lalu memperhatikan kedua anak kembarnya untuk memastikan bahwa mereka juga baik-baik saja. "Kalian tidak terluka, bukan?" tanya Adrian dengan lemah. Bola matanya menatap si kembar bergantian untuk mengkonfirmasi kondisi keduanya. "Kami baik, Ayah! Ayah yang tidak baik," jawab Alan yang kemudian beringsut mendekat ke arah Adrian dan memberikan senyuman maskulin penuh semangat kepada pria yang sangat dia idolakan. "Kepala Ayah berdarah. Apakah Ayah merasa pusing?" tanya Liana yang kini berlagak seperti ahli kesehatan. Dia berlutut di dekat Adrian dan mengecek apakah ada luka lain di tubuh sang ayah. Adrian pun menggeleng dan memaksakan diri untuk memeluk kedua anak yang mengkhawatirkan dirinya. Dia pun segera melepas tali yang masih membelenggu Alan dan Liana sambil memuji bahwa keduanya adalah anak yang hebat. Itu bukan pujian kebohongan, melainkan kekaguman yang tulus dari seorang ayah. "Kalian berdua pemberani sekali! Aku sangat bangga ke kalian!" Adrian memeluk anak-anaknya sekali lagi sebelum mendatangi Susan. Adrian tampak berlutut di dekat sang istri yang menatapnya dengan tajam. Wajah malu-malu Susan telah menghilang, berganti lagi dengan ekspresi dingin yang menusuk hati Adrian. "Mau apa kau?" bentak Susan dengan ketus. Wanita muda itu memundurkan badan agar Adrian tak bisa menyentuhnya sedikit pun. "Sue, aku hanya akan melepas ikatan di tanganmu saja!" jawab Adrian berbisik. Namun, serta merta, Susan menggeleng. Dia tak ingin Adrian menyentuhnya lagi sedikit pun. Adrian yang tadinya sudah cukup senang, mengernyitkan dahi kebingungan dengan sikap Susan yang berubah drastis. Namun, dia mencoba maklum. Dari dulu, memang begitulah istrinya. Keras kepala dan sangat menjaga harga diri. Susan tak akan pernah mau dianggap w**************n. Siapa pun yang mengenal Adrian tahu bahwa mendapatkan hati Susan sama sekali tak mudah bagi pria itu. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana jerih payah Adrian memenangkan perhatian dan cinta Susan. "Alan! Bantu Ibu melepas ikatan ini!" pinta Susan kepada putranya. Sambil melirik Adrian sesekali dari sudut matanya, Susan menelan ludah. Dia tak ingin terkesan kurang berterima kasih. Namun, dia juga tak mau terlihat gampangan. Jangan sampai Adrian mengira dia akan dengan mudah memaafkan semua kesalahan besar itu. Alan pun menyeret kaki dengan malas untuk mendekati ibunya. Dia tak mengerti mengapa sang ibu masih marah kepada ayahnya setelah semua yang ayahnya lakukan untuk menolong mereka. "Ibu, Ayah sudah bersusah payah. Lembutlah sedikit, Bu," komentar Alan sambil berusaha melepas tali yang mengikat pergelangan tangan ibunya. Bibirnya mengerucut tanda tak senang. Bocah itu ingin Susan memperbaiki sikap kepada Adrian secepat mungkin. "Bila Ibu seperti ini, bagaimana dengan Liana di masa depan? Dia pasti akan meniru sikap ibu, bukan?" Susan mendengus kesal karena Alan tak bisa berhenti mengomentari baik buruk sikapnya. "Apa kamu ini bukan anak yang lahir dari rahimku? Bahkan matamu adalah mataku. Mengapa kamu lebih membela Ayahmu?" Gigi Susan menggertak kesal, membuat Alan sedikit takut. Namun, ketakutannya tentu hanyalah sedikit karena ada Adrian di tengah mereka. Selama ini, ayahnya memang selalu menjadi penengah di kala sang ibu mengomelinya. "Sudahlah! Kita harus cepat memikirkan cara untuk pergi dari sini," lerai Adrian sebagaimana diharapkan. "Jangan berdebat lagi!" Adrian dengan sikap profesional memang memprioritaskan keselamatan mereka berempat daripada harus merengek perhatian kepada Susan yang masih marah. Dia lalu segera menuju ke pintu yang ternyata terkunci rapat. Adrian menjauh dari pintu dan berlari cepat kembali ke arah pintu untuk melemparkan berat tubuhnya agar tercipta momentum yang cukup besar. Namun, berkali-kali pun dia mencoba, pintunya enggan terbuka. Hanya bergerak dan bergoyang sedikit seperti ranting besar terkena angin yang tak terlalu kencang. Pandangannya kemudian menyapu ruangan, mencari jendela yang barangkali lebih mudah dibuka. Namun, setelah diperiksa, ternyata jendela-jendela yang ada tertutup teralis besi. "Sialàn! Mengapa mereka mencurangiku setelah mendapatkan uangnya?" umpat Adrian kesal seraya menendang kursi kayu di ruangan tersebut. Bunyi bam yang keras pun menggema di ruangan tersebut. "Rumah ini sepertinya sebuah rumah persembunyian. Semuanya sulit dibuka walaupun sudah dipaksa sekuat tenaga," ujar Adrian sambil tetap berpikir keras untuk mengeluarkan mereka dari sini. "Adrian, apa kau membawa ponsel? Bukankah kita bisa menelepon 911?" ujar Susan yang mulai fokus ke hal yang sama dengan Adrian–keselamatan mereka–yang sekarang ini tentu lebih penting dari sekadar marah karena perselingkuhan Adrian. "Jangan memandangku seperti itu! Aku pun juga punya otak." Susan merasa risih saat ketiga orang yang bersamanya memperhatikan secara bersamaan, dengan wajah melongo, seolah-olah baru kali ini dia berkata dengan benar. "Oh, tepat sekali, Sue! Seharusnya itu hal pertama yang aku lakukan," jawab Adrian senang karena akhirnya Susan tak membahas malam nahas itu lagi. Adrian pun mengeluarkan benda pipih persegi panjang dari sakunya dengan segera. Akan tetapi, dia segera menggeleng kecewa. Wajahnya kembali muram. "Tak ada sinyal! Sialàn! Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Berhentilah mengumpat terus di depan anak-anak!" bentak Susan memperingatkan. "Kau sudah mengulanginya dua kali!" Batin Susan pun ingin mengumpat dengan umpatan yang jauh lebih buruk daripada yang dikeluarkan Adrian. Namun, dia tahan semuanya dan kadang mengungkapkan nyaris tanpa suara. Walaupun, bila salah satu dari anaknya ada yang membaca gerak bibir wanita itu, pasti akan segera tahu apa yang tengah dia ucapkan. Bagaimanapun juga, di sekolah, anak-anak belajar banyak hal yang orang tua tak pernah berharap anaknya akan mendapatkan hal-hal tersebut. Dengan putus asa, keempat anak beranak itu pun mendudukkan diri di lantai kotor yang sudah terlihat agak bersih karena tersapu oleh pakaian mereka. Mereka kompak menengadah ke atas sambil berpikir keras apa yang sebaiknya mereka lakukan lagi. "Mengapa aku mencium bau hangus? Apa kalian juga?" tanya Liana sambil mengendus-enduskan hidung. "Kau benar, Li. Aku juga mencium bau yang sama!" ujar Alan sambil melakukan hal serupa dengan saudara kembarnya. "Celaka! Ada asap!" seru Adrian panik setengah mati. "Mengapa semuanya jadi sekacau ini?" Tak lama kemudian, terdengar suara gemeretak seperti kayu terbakar. Terdengar pula bunyi benda-benda berjatuhan di luar ruangan. "Uuhuukk! Uhuhhkk!" Susan dan anak-anak serempak batuk karena asap yang kian tebal. Susan yang sangat panik pun berseru, "Adrian! Mereka membakar tempat ini! Apa yang harus kita lakukan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN