Malam itu, setelah makan malam yang berlangsung dalam keheningan, Laras dan Andri duduk di ruang keluarga. Laras membawa dua cangkir teh hangat, meletakkannya di meja di depan mereka. Ia duduk di samping Andri, mencoba memulai percakapan dengan nada lembut.
"Bagaimana keadaan Dafa sekarang?" tanya Laras sambil menatap Andri dengan penuh perhatian.
Andri, yang sejak tadi tampak tenggelam dalam pikirannya, tersentak kecil mendengar pertanyaan Laras. Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Dafa sudah jauh lebih baik. Dokter bilang kondisinya stabil, dan tadi siang dia sudah bisa pulang ke rumah."
Laras tersenyum tipis, meskipun ada rasa canggung yang terasa di antara mereka. "Syukurlah. Aku senang mendengarnya," katanya tulus.
Andri mengangguk tanpa berkata apa-apa, kembali menyesap tehnya. Namun, Laras tidak ingin membiarkan percakapan itu berhenti begitu saja. "Mas, aku tahu Dafa penting buat kamu, dan aku sama sekali nggak keberatan kamu meluangkan waktu untuk dia," ucapnya hati-hati.
Andri menoleh, sedikit terkejut dengan pernyataan itu. "Sayang, aku benar-benar menghargai pengertianmu," katanya pelan.
Laras tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Dia anak kamu, Mas. Wajar kalau kamu mau ada disampingnya. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku mendukungmu, apapun itu."
Andri merasa ada beban di dadanya yang semakin berat. Perhatian dan kelembutan Laras seolah mengingatkannya pada tanggung jawab besar yang ia emban sebagai suami. "Aku tahu, Sayang. Aku tahu kamu selalu ada untuk aku. Maaf kalau aku kadang-kadang bikin kamu merasa diabaikan," ucapnya jujur.
Laras menggeleng, menyentuh tangan Andri dengan lembut. "Aku nggak merasa begitu, Mas. Aku hanya ingin kita selalu jujur satu sama lain. Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, aku ingin tahu. Kita bisa hadapi semuanya bersama-sama, kan?"
Andri terdiam, menatap Laras dengan rasa bersalah yang mendalam. Ia ingin mengatakan semuanya, tapi ia juga tidak ingin menghancurkan kedamaian yang mereka miliki saat ini. "Aku akan coba lebih terbuka, Laras. Terima kasih sudah selalu percaya sama aku," katanya akhirnya.
Laras tersenyum, merasa lega meski masih ada sesuatu yang menggantung di hati suaminya. Ia memutuskan untuk tidak mendesak lebih jauh, memberi Andri ruang untuk berbicara ketika ia sudah siap. "Aku percaya sama kamu, Mas," ucapnya lembut.
"Sayang, aku mau bicara soal sesuatu," ucap Andri dengan nada hati-hati.
Laras yang sedang merapikan selimut di sofa menoleh sambil tersenyum lembut. "Ada apa, Mas?"
Andri menghela napas panjang, matanya memandang Laras dengan penuh keraguan. "Soal waktu di rumah sakit kemarin ... apa yang Rina bilang waktu itu, soal liburan di vila ..."
Namun, sebelum Andri bisa melanjutkan, Laras mengangkat tangannya sedikit, meminta Andri berhenti bicara. Ia tersenyum lembut, tapi ada sedikit rasa berat di matanya.
"Mas, nggak usah bahas itu lagi," kata Laras pelan, tapi tegas. "Aku tahu, Rina hanya ingin membuat Dafa senang. Kalau itu bisa membuat Dafa lebih bahagia, aku nggak masalah."
Andri terdiam, tidak menyangka Laras akan merespons seperti itu. Ada rasa bersalah yang makin menumpuk di dadanya.
Laras menatapnya lembut, lalu mendekat dan menggenggam tangan Andri. "Aku percaya sama kamu, Mas. Dan aku juga tahu Dafa penting buat Mas. Jadi, kalau memang Mas merasa itu perlu, aku nggak akan menghalangi," ucapnya tulus.
Andri hanya bisa terdiam, hatinya berkecamuk antara rasa syukur atas pengertian Laras dan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia tahu Laras terlalu baik untuk disakiti, tapi situasinya semakin rumit, terutama dengan Rina yang terus berusaha mendekatkan dirinya kembali ke dalam kehidupan mereka.
"Laras ... terima kasih," ucap Andri akhirnya, suaranya bergetar sedikit.
Laras hanya tersenyum kecil. "Mas nggak perlu terima kasih. Aku cuma mau yang terbaik buat keluarga kita."
Setelah percakapan itu, Laras berdiri dari sofa, meraih tangan Andri dengan lembut. "Kamu kelihatan lelah, Andri. Yuk, kita istirahat," ajaknya dengan senyum menenangkan.
Andri menatap Laras sejenak, menyadari betapa tulus perhatian istrinya. Ia mengangguk pelan dan mengikuti Laras menuju kamar mereka.
Setibanya di kamar, Laras memastikan Andri merasa nyaman. Ia menyiapkan selimut dan memastikan lampu kamar redup. "Kalau ada yang kamu butuhkan, bilang saja, ya," katanya sambil duduk di tepi tempat tidur.
Andri hanya tersenyum kecil. "Aku sudah cukup, Laras. Terima kasih," jawabnya pelan.
Laras masuk ke dalam selimut dan merebahkan tubuhnya di sisi Andri. Namun, sebelum memejamkan matanya, ia menoleh ke arah suaminya. "Mas, apapun yang terjadi, aku ingin kita tetap saling percaya dan mendukung. Aku tahu kamu sedang memikirkan banyak hal, tapi ingat, aku selalu ada di sini untuk kamu."
Andri hanya menjawab dengan anggukan kecil dan senyuman tipis. Di dalam hatinya, ia merasa semakin terhimpit oleh kenyataan bahwa ia sedang menyimpan sesuatu dari Laras. Namun, ia memilih untuk menahan diri, berharap bisa menemukan jalan keluar tanpa harus melukai wanita yang begitu tulus mencintainya.
Beberapa menit kemudian, keheningan menyelimuti kamar mereka. Laras tertidur dengan tenang, sementara Andri masih terjaga, matanya menatap langit-langit kamar. Ia bergumul dengan pikirannya sendiri, mencoba mencari cara untuk menjaga rumah tangganya tetap utuh di tengah konflik yang perlahan menghantuinya.
***
Pagi itu, Laras sudah sibuk di dapur seperti biasa. Ia menyiapkan sarapan untuk Andri dengan penuh perhatian, berharap pagi mereka berjalan menyenangkan. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi ruangan, bercampur dengan wangi roti panggang dan telur orak-arik yang sudah matang.
Laras terlihat sibuk mengatur meja makan ketika suara langkah Andri terdengar dari arah tangga. Ia menoleh dan tersenyum hangat. "Pagi, Mas. Sudah bangun? Sarapannya hampir siap," sapanya dengan ceria.
Andri, yang masih terlihat sedikit lelah, mengangguk kecil. "Pagi, Sayang." balasnya sambil duduk di kursi meja makan. Ia memperhatikan Laras yang sibuk, merasa ada kedamaian di tengah kerumitannya.
Tak lama kemudian, Laras membawa piring-piring berisi makanan ke meja. "Aku buatkan kopi kesukaanmu. Kalau kurang manis, bilang saja," katanya sambil duduk di hadapan Andri.
Andri menyesap kopinya perlahan, mengangguk kecil. "Ini sudah pas, terima kasih," jawabnya.
Saat mereka mulai menikmati sarapan, Laras mencoba mencairkan suasana. "Hari ini kamu ada jadwal apa? Ada yang perlu aku bantu?" tanyanya dengan nada ringan.
Andri berpikir sejenak sebelum menjawab. "Nggak terlalu banyak, hanya beberapa rapat. Tapi aku mungkin akan pulang agak malam karena ada hal yang harus aku selesaikan," katanya hati-hati.
Laras mengangguk mengerti. "Baiklah. Jangan lupa makan siang, ya. Kalau ada waktu, kabari aku," ucapnya sambil tersenyum.
Andri hanya mengangguk, merasa semakin sulit menyembunyikan apa yang terjadi di balik rutinitas harian mereka. Namun, ia memilih untuk tetap fokus pada harinya, meninggalkan masalahnya untuk nanti.
Saat Laras dan Andri tengah menikmati sarapan pagi dengan suasana tenang, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah depan. Laras menghentikan sarapannya pada secangkir teh, menoleh ke arah sumber suara.
"Siapa ya, pagi-pagi begini?" gumam Laras sambil meletakkan cangkirnya.
Andri menatap Laras sejenak, terlihat ragu. "Biar aku yang buka pintu," katanya sambil berdiri dari kursinya.
Namun, Laras segera bangkit juga. "Nggak apa-apa, Mas. Aku saja," ucapnya dengan senyum kecil, lalu berjalan menuju pintu depan.