Bab 9. Kedatangan Rina

1009 Kata
Saat Laras membuka pintu, Dafa, bocah berusia tujuh tahun itu, langsung berlari masuk ke dalam rumah dengan penuh semangat. "Papa! Papa!" panggilnya sambil menuju ruang makan, tempat Andri masih duduk. Andri, yang sedang menyeruput kopinya, langsung menoleh. Wajahnya menunjukkan keterkejutan sekaligus kebahagiaan melihat Dafa. "Dafa? Kenapa kamu di sini, Nak?" tanyanya sambil berdiri dan membungkuk untuk menyambut pelukan Dafa. Dafa memeluk Andri erat, wajahnya berseri-seri. "Aku kangen sama Papa," katanya polos. Sementara itu, Rina berdiri di ambang pintu, tersenyum penuh arti sambil menatap Laras. "Maaf, Laras. Dafa terus merengek ingin bertemu dengan Mas Andri. Aku rasa lebih baik aku langsung membawanya ke sini," ujar Rina dengan nada lembut, seolah tidak ada yang salah. Laras, yang terkejut dengan situasi itu, hanya bisa tersenyum tipis, berusaha menjaga sikap. "Oh, nggak apa-apa, Mbak. Silahkan masuk," ucapnya sambil mempersilahkan Rina masuk ke dalam rumah. Rina melangkah masuk, matanya mengamati interior rumah dengan penuh rasa penasaran. "Rumah kalian sangat nyaman, Laras," katanya, memuji, meskipun nada bicaranya terasa sedikit menyindir. Laras hanya tersenyum sopan, memilih untuk tidak menanggapi komentar itu. Ia memandang ke arah Dafa yang tampak bahagia bersama Andri, lalu kembali mengalihkan perhatiannya ke Rina. "Aku akan buatkan teh. Silakan duduk dulu," ucap Laras sambil berjalan menuju dapur, meninggalkan Andri dan Rina di ruang tamu bersama Dafa. Andri, yang masih menggendong Dafa, menatap Rina dengan tatapan bingung sekaligus kesal. Ia tahu Rina sengaja datang tanpa pemberitahuan, dan ini pasti bagian dari rencananya. Namun, ia memilih untuk tidak memulai konfrontasi di depan Dafa. Rina, dengan senyum tipisnya, duduk di sofa dan berkata, "Dafa benar-benar merindukanmu, Mas. Dia terus menyebut-nyebut namamu sejak pulang dari rumah sakit." Andri hanya mengangguk kecil, menahan diri untuk tidak mengatakan apa-apa yang bisa memperkeruh suasana. Sementara itu, Laras di dapur mencoba menenangkan dirinya sendiri, merasa sedikit terganggu dengan kehadiran Rina yang tiba-tiba, namun tetap berusaha bersikap profesional sebagai seorang istri. Setelah Dafa duduk di sofa, ia memandang Andri dengan mata berbinar-binar. "Papa, kapan kita liburan ke puncak? Aku pengen banget jalan-jalan sama Papa," katanya penuh semangat. Andri menghela napas sambil tersenyum tipis, mengusap kepala Dafa dengan lembut. "Dafa masih ingat soal itu, ya? Nanti Papa lihat dulu jadwalnya, ya, Nak," jawabnya sambil mencoba terdengar tenang. Namun, Dafa tampak tak mau menyerah. "Tapi Mama bilang kita pasti pergi! Aku udah siapin daftar tempat yang mau aku kunjungi!" ucapnya sambil melirik ke arah Rina, berharap ibunya akan mendukung permintaannya. Rina tersenyum lembut, menatap Andri dengan tatapan penuh maksud. "Dafa benar, Mas. Bukankah kita pernah janji sama dia? Anak-anak butuh waktu berkualitas bersama orang tuanya," ujarnya, seolah menegaskan bahwa itu adalah kewajiban Andri. Andri menoleh sekilas ke arah Laras yang baru saja keluar dari dapur membawa nampan berisi teh dan kudapan. Ia merasa serba salah, terutama karena Laras pasti mendengar percakapan tersebut. Laras meletakkan teh di meja sambil tersenyum kecil. "Berlibur ke puncak ide yang bagus, Dafa. Udara di sana pasti sejuk, dan kamu bisa banyak bermain," ucapnya, mencoba menunjukkan dukungan meskipun hatinya terasa sedikit berat mendengar rencana itu. Dafa tersenyum lebar mendengar tanggapan Laras. "Makasih, Tante Laras! Papa, kita harus pergi ya, ya?" rengeknya lagi sambil menarik tangan Andri. Andri hanya bisa tersenyum tipis sambil mengangguk pelan, merasa tidak punya pilihan lain selain menyetujui permintaan anaknya. "Baiklah, Papa akan coba atur waktunya, ya. Tapi kamu harus janji jadi anak yang baik," katanya dengan nada lembut. Dafa mengangguk cepat, wajahnya cerah penuh antusiasme. Sementara itu, Rina diam-diam tersenyum penuh kemenangan, merasa rencananya untuk terus melibatkan Andri dalam kehidupannya mulai berjalan dengan mulus. Laras, meskipun tetap tersenyum, merasakan sesuatu yang tak nyaman menggelayuti hatinya. Namun, ia memilih untuk menyimpan perasaannya sendiri, mencoba menenangkan diri bahwa ini semua demi Dafa, anak Andri. Laras duduk di samping Andri, berusaha tetap tenang meskipun hatinya terasa berat. Ia memandang Dafa yang sedang berbicara dengan semangat tentang liburan ke puncak, sementara Rina duduk di seberang mereka, memperhatikan setiap detil dengan mata yang penuh perhitungan. Andri merasakan ketegangan yang ada di antara mereka, namun ia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Ia merasakan tatapan Laras yang sedikit cemas, dan meskipun ia tahu Laras mungkin merasa tidak nyaman dengan kehadiran Rina, Andri berusaha menjaga suasana agar tetap tenang. Dafa yang antusias bercerita tentang rencananya selama di puncak, sesekali menatap Andri dan Laras bergantian, berharap keduanya setuju dengan idenya. "Pokoknya, kita harus bawa banyak camilan, terus kita main bola di lapangan besar!" katanya dengan mata berbinar. Laras tersenyum kecil, mendengarkan setiap kata Dafa, meskipun hatinya sedikit galau. Ia tahu betul, liburan bersama Andri dan Dafa akan menjadi waktu yang menyenangkan, namun kehadiran Rina semakin membuatnya merasa terasing. Andri, yang melihat Laras duduk di sampingnya, memutuskan untuk merangkul bahunya sejenak, memberi rasa aman pada istrinya. "Nanti kita atur waktu, ya, Dafa. Puncak sepertinya tempat yang tepat untuk liburan. Papa dan Tante Laras akan pikirkan jadwalnya," ujar Andri sambil memberi senyum kecil pada Laras, berharap bisa sedikit meringankan ketegangan yang ada. Dafa mengangguk dengan semangat, sementara Rina hanya mengamati mereka berdua dengan senyum tipis. Keadaan di ruang tamu terasa seperti permainan peran yang tak terucap, masing-masing berusaha memainkan perannya dalam keluarga ini dengan cara yang berbeda. Suasana yang awalnya tenang tiba-tiba berubah tegang saat Rina melontarkan pertanyaan yang tak terduga. "Ngomong-ngomong, Laras, kenapa di usia pernikahan kalian yang sudah dua tahun, kamu belum juga hamil?" tanya Rina dengan nada yang terdengar sangat langsung, namun seperti berusaha terdengar casual. Laras terkejut mendengar pertanyaan itu. Matanya langsung terfokus pada Rina, dan untuk sesaat ia merasa canggung. Di satu sisi, ia tahu bahwa Rina sengaja menanyakan hal itu untuk memancing respons, mungkin untuk menciptakan ketegangan. Namun, Laras berusaha menjaga ketenangannya, tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan Rina. Andri yang mendengar pertanyaan itu langsung menatap Rina dengan tatapan tajam, merasa tak nyaman dengan arah percakapan yang dibawa oleh mantan istrinya. "Rina, itu bukan pertanyaan yang tepat," jawabnya dengan nada serius, mencoba menahan agar percakapan itu tidak berlanjut. Rina hanya tersenyum tipis, seolah tidak peduli dengan ketegangan yang timbul. "Aku hanya penasaran, Mas. Tentu kamu ingin punya anak, ‘kan? Dafa sudah besar, dan rasanya pasti akan lebih lengkap jika ada adik untuknya." Rina kemudian mengalihkan pandangannya ke Laras, menunggu reaksi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN