Bab 7. Tekad Rina

984 Kata
Andri kembali ke ruang perawatan dengan wajah yang sulit ditebak. Dafa sudah kembali tertidur, sementara Rina terlihat duduk di kursi dekat tempat tidur, memainkan ponselnya. Begitu melihat Andri masuk, Rina langsung tersenyum. "Kenapa lama sekali, Mas? Ada apa?" tanya Rina sambil berdiri mendekati Andri. Andri menghela napas panjang. "Rina, aku mau bicara sama kamu. Kita bicara di luar," ucapnya dengan nada serius. Rina mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan sikap Andri yang tiba-tiba tegas. Namun, ia menyembunyikan keterkejutannya dan mengangguk. "Baiklah," katanya, meletakkan ponselnya di atas meja kecil. Keduanya melangkah keluar ruangan dan berhenti di lorong yang cukup sepi. Rina menatap Andri, mencoba membaca ekspresinya. "Ada apa, Mas? Kenapa wajahmu seperti itu?" tanyanya dengan nada manis. Andri menatap Rina dengan tatapan yang sulit diartikan. "Rina, aku tahu kamu mungkin punya perasaan tertentu terhadap aku, tapi aku perlu kamu tahu satu hal: aku sudah menikah dengan Laras, dan aku nggak akan meninggalkan dia," ucapnya langsung, tanpa basa-basi. Senyum di wajah Rina perlahan memudar. "Mas, aku nggak tahu apa maksudmu—" "Rina, aku nggak mau bertele-tele," potong Andri. "Aku tahu kamu sengaja memanfaatkan situasi ini untuk mendekatkan aku ke kamu. Aku di sini untuk Dafa, bukan untuk menghidupkan kembali apa yang sudah berakhir di antara kita." Wajah Rina berubah dingin. Ia menyilangkan tangan di d**a, mencoba mempertahankan ketenangannya. "Jadi, kamu pikir aku pakai Dafa untuk mendekatkan diri ke kamu? Mas, aku hanya seorang ibu yang butuh bantuan untuk anaknya. Apa salah kalau aku minta tolong sama ayahnya?" Andri menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku nggak bilang kamu salah peduli sama Dafa. Aku hanya ingin semuanya jelas, Rina. Aku nggak akan kembali ke masa lalu. Laras istriku, dan aku mencintai dia. Kalau aku ada di sini, itu karena aku ingin jadi ayah yang baik untuk Dafa, bukan untuk kita." Rina menatap Andri dengan mata yang berkaca-kaca, meskipun ia berusaha keras menahan emosinya. "Mas, kamu nggak bisa meniadakan apa yang pernah kita punya. Aku tahu kamu masih peduli, bahkan kalau kamu nggak mau mengakuinya." Andri menggelengkan kepala. "Peduli? Ya, aku peduli sebagai ibu dari anakku. Tapi itu saja, Rina. Tolong, jangan buat ini jadi lebih rumit." Rina terdiam, menatap Andri dengan tatapan penuh luka. Namun, ia tak mengatakan apa-apa lagi. Setelah beberapa saat, ia akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah, kalau itu yang kamu mau." Andri menatap Rina sejenak, mencoba memastikan ucapannya tulus. "Terima kasih, Rina. Aku harap kita bisa menjaga semuanya tetap fokus untuk Dafa," katanya sebelum kembali melangkah masuk ke ruang perawatan. Rina tetap berdiri di lorong, menggenggam erat tangannya sendiri. Dalam hati, ia tahu ia belum selesai. "Laras mungkin menang untuk sekarang," pikirnya, "tapi aku belum menyerah." Beberapa hari setelah menjalani perawatan, Dokter akhirnya memberikan kabar baik bahwa Dafa sudah pulih dan diperbolehkan pulang. Wajah ceria Dafa terpancar jelas ketika Rina membereskan barang-barangnya di kamar rumah sakit. "Yeay, Dafa pulang! Papa nanti anterin Dafa, kan?" seru Dafa sambil menatap Andri dengan penuh harap. Andri tersenyum kecil, mengusap kepala putranya. "Tentu, Papa anterin kamu pulang," jawabnya lembut. Sementara itu, Rina yang sibuk merapikan tas Dafa, melirik Andri dengan pandangan penuh arti. "Terima kasih, Mas, sudah banyak membantu selama Dafa dirawat," katanya sambil tersenyum manis. Andri hanya mengangguk singkat. "Dafa anakku. Aku nggak akan membiarkan dia sendirian," ucapnya tanpa emosi berlebih. Tak lama kemudian, semua barang sudah siap. Andri membantu mengangkat tas dan membimbing Dafa keluar dari kamar. Rina berjalan di sampingnya, berusaha menjaga percakapan tetap menyenangkan sepanjang perjalanan ke mobil. Setelah mengantar mereka ke rumah, Andri memastikan Dafa benar-benar nyaman di kamarnya. Saat Dafa akhirnya tertidur lelap karena kelelahan, Rina menghampiri Andri yang tengah bersiap untuk pergi. "Kamu nggak mau masuk sebentar? Minum kopi, mungkin?" tawar Rina dengan nada lembut, senyum kecil menghiasi wajahnya. Andri menggeleng pelan. "Aku harus pulang. Laras pasti sudah menunggu," jawabnya singkat sambil melirik jam tangannya. Rina tersenyum tipis, tetapi ada kekecewaan yang jelas di matanya. "Baiklah. Tapi kapan-kapan, mungkin kamu bisa mampir untuk melihat Dafa, ya? Dia pasti senang kalau Papanya sering datang," katanya dengan nada penuh harap. Andri menatapnya sesaat sebelum mengangguk. "Aku pasti akan datang untuk Dafa." Tanpa banyak bicara lagi, Andri melangkah keluar dan masuk ke dalam mobilnya. Sementara itu, Rina berdiri di depan pintu, menatap mobil Andri yang menjauh dengan pikiran yang berkecamuk. Dalam hati, Rina berbisik pada dirinya sendiri, "Laras mungkin masih di sisinya sekarang, tapi aku tahu Dafa akan selalu jadi alasan Mas Andri kembali ke sini." Dengan tekad yang semakin kuat, Rina kembali ke dalam rumah, merencanakan langkah berikutnya untuk mendekati mantan suaminya. *** Saat Andri tiba di rumah, pintu sudah terbuka sebelum ia sempat mengetuk. Laras berdiri di ambang pintu dengan senyum lembut yang selalu menyambut kepulangannya. "Kamu sudah pulang?" tanyanya sambil memperhatikan wajah Andri yang terlihat lelah. Andri mengangguk kecil, menghela napas panjang sebelum masuk ke dalam rumah. "Iya, Dafa sudah pulih, dan aku baru saja mengantarnya pulang," ucapnya sambil melepas sepatu. Laras menghampirinya, menaruh tangan lembut di lengan Andri. "Kamu pasti capek. Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Mau makan sekarang atau nanti?" tanyanya penuh perhatian. Andri menatap Laras sejenak, merasakan perasaan bersalah yang tiba-tiba menghantui hatinya. Laras selalu ada untuknya, selalu mendukung tanpa pernah mengeluh. Namun, ia merasa hubungannya dengan Laras sedang berada di ujung ketegangan karena situasi dengan Rina. "Aku makan nanti saja, Sayang. Aku mau bersih-bersih dulu," jawab Andri sambil tersenyum tipis. Andri langsung mencium kening Laras dengan lembut. Laras mengangguk mengerti. "Baik. Kalau begitu, aku akan siapkan teh hangat untukmu. Kamu bisa santai dulu di ruang keluarga setelah selesai." Andri hanya membalas dengan anggukan kecil sebelum berjalan menuju kamar. Laras menatap punggung suaminya yang semakin menjauh, merasakan ada sesuatu yang tidak ia pahami. Meski Andri tidak banyak bicara, Laras tahu ada beban yang sedang disimpan oleh suaminya. Namun, Laras memilih tidak mengungkitnya. Baginya, memberi ruang pada Andri adalah cara terbaik untuk menjaga keutuhan rumah tangganya. "Aku hanya ingin dia tahu, aku selalu ada untuknya," bisik Laras dalam hati sambil berjalan ke dapur untuk menyiapkan teh hangat yang dijanjikannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN