Cinta Yang Ditunjukkan Dengan Kebencian

2079 Kata
*Peringatan. 18+* -Cerita berikut mengandung konten dewasa, seperti perkelahian, kata-kata kasar, s*x, alkohol dan sebagainya. Pembaca diharap bijak- Arunika mengintip dari balik gorden berwarna pastel, menusuk tepat di mata Oliver. Matanya menyipit. Tidur nyenyaknya terganggu. Oliver menarik sendi-sendi tubuhnya yang kaku, dia terbangun. Dengan malas dia beranjak dari zona nyamannya lalu menyandarkan diri. Dia linglung sejenak. Beberapa detik kemudian, dia sudah mulai menyesuaikan pandangannya. Oliver mengalihkan pandangannya ke samping. Tampak Baekie berbaring membelakanginya, entah masih tidur ataupun sudah terjaga. Oliver tak mau tau. Tapi, mata Oliver terus saja mengawasi punggung itu. Tatapan anehnya seakan menembus kulit tipis Baekie. Perlahan Oliver menarik selimut Baekie agak ke bawah, lalu kembali menatap punggung telãnjãng Baekie, yang pucat dan dipenuhi bekas luka akibat perbuatannya tadi malam. Baekie yang sebenarnya sudah terjaga hanya diam. Dia masih merasakan kesakitan. Kesakitan dalam dirinya, kesakitan akibat buasnya perlakuan Oliver yang merobek-robek dirinya, rasa pedih yang tak menghilang meskipun disapu air mata berkali kali. Beberapa menit kemudian, Oliver memakai pakaian nya lalu berdiri menatap Baekie sekali lagi, sebelum akhirnya dia pergi tanpa sepatah katapun. Baekie terisak. Perasaannya hancur, hatinya bahkan lebih hancur lagi. Tak ada yang bisa dilakukannya selain menangis dan kembali menjadi hantu yang tak terlihat. "Joice!" Oliver mencari pengasuhnya di dapur, begitu keluar dari kamar Baekie. "Tuan Muda? tak biasanya Tuan ke dapur begini, ada apa?" Joice yang sedang memasak sarapan, langsung berhenti, tatkala Oliver memanggil namanya. Oliver mengusap wajahnya, raut wajah itu terlihat dingin, namun tersirat sedikit kecemasan. "Periksa keadaan Baekie. pastikan obati lukanya dengan baik hingga tak berbekas." Perintah Oliver lalu pergi menuju kamarnya. Joice yakin sudah terjadi sesuatu yang buruk, dengan segera dia berlari ke kamar Baekie. "Baekie," Joice membuka pintu, perlahan mendekati Baekie. "Baekie, Kau baik-baik saja?" Baekie terisak dari balik selimut, Joice membuka selimut Baekie. "A-apa yang terjadi? k-kenapa tubuhmu ...." Joice panik melihat keadaan Baekie, bibirnya agak membengkak, jelas itu adalah bekas tamparan. Tubuh babak belur. Di setiap bagian tubuhnya, terdapat luka memar dan sabetan tali pinggang, "Tuan Muda ... apa yang sudah dia lakukan ..." Joice menutup mulutnya. "J-Joice, Hiks ... k-kapan aku bisa pergi dari sini? bisakah Nyonya Magie membebaskanku?" "Sttt ... sayang tenanglah ... kalau Nyonya dengar kau bisa dapat perlakuan lebih parah, aku akan obati lukamu, Hmmm ...." Joice bergegas mencari kotak obat, menyuruh pēlayan membawakan air hangat, dan beberapa handuk. Dengan hati-hati, Joice mengoleskan obat ke luka Baekie. Baekie meremas bantal karena merasakan perih di lukanya. "Sekarang kau sudah mulai mau bicara, Kau mengabaikan Tuan Muda? makanya dia melakukan ini?" Baekie hanya diam. Pikirannya menerawang. Membayangkan perlakuan Oliver padanya. Tamparan, sabetan ikat pinggang, dan kesakitan saat Oliver menggagahi tubuhnya. Baekie menutup mata untuk menghapus kenangan itu. "Baekie ... Tuan Muda ... sebenarnya hanya anak yang butuh kasih sayang, karena penyakitnya dia dikucilkan, dia dihormati karena dia keturunan Bangsawan terakhir. selebih itu, orang-orang hanya ingin dia menderita, selain ibunya, hanya kau yang bisa menenangkannya, dia memang kasar, tapi ... Baekie ... bisakah kau tetap di sisi Tuan Muda? setidaknya sampai penyakitnya benar-benar sembuh." Baekie tak menjawab, entah apa yang ada dipikirannya, Baekie hanya memasang ekspresi datar seperti biasa, tak ada suara sama sekali, yang ada hanya keheningan dan luka dengan darah yang mengering. *** Oliver duduk dengan tatapan kosong di club malam langganannya. Edward yang biasa menemaninya entah kemana. Mungkin pergi mencari ide, keonaran yang akan dia buat selanjutnya. Berkali-kali dia mengacak rambutnya yang tampak beraturan saat ini. Oliver frustasi. Joice mengatakan, bahwa Baekie tak mau begerak dari tempat tidurnya. Tak mau makan sama sekali, bahkan tidak mandi. Sudah dua hari sejak kejadian itu. Oliver tak pernah masuk ke kamar Baekie. Dia hanya mengawasi dan menerima laporan Joice. "Siall! wanita itu sekarang melakukan aksi protes?" Oliver menghabiskan minumannya. "Hah, dia kira Aku akan membebaskannya? hantu brengsekk! Aku tak peduli kau makan atau tidak, kalau perlu mati saja sekalian." Oliver meminta pēlayan menuangkan lagi minumannya. Entah menapa dia mulai kesal! brak! Oliver memukul meja di depannya. "Brengsekk! Wanita itu, aku benar-benar membencinya. Dia pikir dia siapa? dasar pēlayan tak tahu diri!" Oliver meradang, lalu kembali menenggak habis minumannya. Seseorang duduk di samping Oliver, memesan minuman yang sama. "Kau frustasi?" Laki-laki dengan stelan hitam itu tersenyum, lalu mengecap sedikit minuman dari gelasnya. Oliver menoleh, kekesalan langsung menumpuk di wajah Oliver, tatkala melihat laki-laki tersebut. "Kau mau kita saling bunuh?" Oliver mengeluarkan pisau lalu menancapkannya di meja. "Wow, santai kawan, Kau tahu sendiri Aku tak berkelahi di tempat umum." "Karena itu Kau membayar orang untuk membunuhku di villa? Kau memang pengecut Chris." Chris terkekeh. Dengan santai dia mengisap rokok dari tangannya, lalu menghembuskan asap yang mengepul. Dia menatap asap itu hingga menghilang. "Lihat siapa yang bicara, pengecut menyebut orang lain pengecut." "Bajingann!" Oliver mencengkram kerah baju Chris. Tangannya terangkat, bersiap hendak memukul. "Tahan Kawan, ini tempat umum. Kau tak ingat status sosialmu?" "Apa pedulimu brengsekk! dan jangan memanggilku "Kawan", Aku bukan temanmu!" Chris mencengram tangan Oliver lalu menurunkan secara paksa dari kerahnya. "Sial, ini stelan baru." Ucapnya sambil menepuk-nepuk pakaian tersebut. "Ayo ke luar, kita bertarung. Bertarung sampai salah satu dari kita mati." Oliver mencabut pisaunya, lalu beranjak menuju pintu keluar. "Tidak hari ini." Ucapan Chris membuat Oliver terhenti, Chris berdiri lalu menatap Oliver lekat. "Aku sedang malas." Ucapnya, kemudian beranjak. Oliver memejamkan matanya demi meredam kekesalan yang menumpuk di kepalanya. "Oliver." Chris berhenti, menyulut sebatang rokok lagi, Dia menengadah ke udara, lalu menarik nafas dalam. "Manurutmu ... kenapa kita bermusuhan?" "Menurutmu kenapa? hah!" Oliver menyeringai, pertanyaan Chris adalah pertanyaan paling tak masuk akal, yang pernah dia dengar sejauh ini. "Seseorang yang mau membunuhku menanyakan ini?" "Pikirkan baik-baik, apa Kau benar-benar mengerti alasannya? Aku sudah terus berpikir, tapi tetap saja tidak masuk akal." "Kau berkali-kali hampir membunuhku, itu tidak masuk akal?" "Kau sama saja. Tikaman pisaumu masih membekas di perutku. Lucu sekali hahaha." Chris berlalu sambil terus terkekeh. Oliver kemudian duduk, dengan aneh dia juga ikut tertawa. Semenit kemudian dia berhenti, lalu ... Prang! dia membanting gelas ke lantai. "Chris sialann. Lain kali akan kubungkam mulutnya itu. *** "Baekie ... bangunlah Aku mohon, setidaknya makanlah sedikit." Joice cemas, Baekie terus saja berbaring di tempat tidurnya, ini sudah hari ke tiga. Setiap hari Joice memeriksa keadaan Baekie, tapi tetap saja, Baekie tak mau keluar dari selimutnya. "Setidaknya ayo bersihkan dirimu." Joice menarik selimut Baekie. Namun Baekie menahannya. Dia tak ingin keluar dari sarang tersebut. "Sayang, kalau Tuan Muda tahu ..." Joice menghela nafas, "Kutaruh makananmu di sini. Makanlah walau sedikit, Aku mohon." Joice kemudian keluar dari kamar. Perlahan Baekie membuka selimutnya lalu berbalik. Sekujur tubuhnya masih terasa nyeri. Di tatapnya makanan yang tersaji di meja. Baekie tak ada selera untuk memakannya. Ditariknya selimut untuk menutupi dirinya lagi. Lalu tidur untuk waktu yang panjang. Sorenya, Joice tahu pasti. Baekie tak kan memakan makanannya. Tapi dia tak bisa melakukan apa-apa. dibawanya nampan yang masih berisi makanan utuh itu keluar. "Biarkan dia mati!" Suara Oliver mengejutkan Joice. Prang! Oliver membanting nampan yang dibawa Joice. "Jika dia tak mau makan, maka biarkan, tak masalah jika dia mati." Ucapnya kesal, seperti biasa, ketika kekesalan memuncak, Oliver akan pergi dari rumah dan berkeliaran sesuka hatinya. Joice membereskan kekacauan yang dibuat Oliver. Bagaimanapun watak kasar Oliver sulit untuk diubah. Joice hanya bisa menghela nafas, melihat segala kekacauan yang ada di rumah besar ini. Rumah yang tak ada kekeluargaannya sama sekali. *** "Mau kemana Kau? mau buat onar lagi?" seorang laki-laki berusia lima puluhan berjalan kearah Edward. "Siall." gumam Edward, dia mengambil salah satu kunci mobil yang tergantung di dinding, lalu beranjak pergi. "Edward Still! jika kau melangkah sedikit lagi, Akan kusuruh orang untuk menyeretmu!" Edward terhenti, lalu berbalik. "Aku hanya ingin keluar, Ayah." "Berhenti bermain-main dan fokus dengan masa depanmu!" "Sayang, cukup." Nyonya rumah itu, yang tak lain adalah ibu Edward, keluar dari kamar karena mendengar kebisingan yang tak asing. Dengan sabar dia mengusap pundak suaminya. "Ibu, Aku pergi dulu." Ucap Edward lalu beranjak, Prang! Tuan Still membanting vas bunga ke lantai. Edward sekali lagi terhenti. Dia menatap ibunya yang terlihat cemas. "Kenapa ayah bersikap begini? memangnya apa salahku?" Plak! "b******n satu ini." Edward meringis mendapatkan tamparan keras di pipinya. Ibunya langsung menghambur memeluk Edward. "Sayang, hentikan! kenapa kau selalu memukul anak kita!" Wanita dengan wajah elegan tersebut memeriksa luka anaknya. Tampak darah menetes dari sudut bibir Edward. "Ibu akan mengobatimu sayang, tunggu di sini." "Lihat? anak ini menjadi liar karena kau terlalu memanjakannya!" Bentak Tuan Still. "Jangan menyalahkan Ibu! Aku liar karena ulah Ayah!" Edward meradang. "Tenang sayang, ibu baik-baik saja. Ayo kita ke kamar." "Sudah kubilang jangan manjakan dia!" Tuan Still menarik tangan istrinya. "Edward, ada laporan kau selalu bermain di club. Berkelahi dengan mafia, dan bermain dengan wanita. Kau terus-terusan mau menjadi b******n seperti ini?" "Laporan? hah, Ayah menyuruh orang mengikutiku, kan? Ayah memang luar biasa." Edward terkekeh. Buk! pukulan mendarat sekali lagi ke wajah Edward. Ibunya mulai menangis. Setiap hal ini terjadi, Edward lebih frustasi ketika melihat ibunya menangis. "Kenapa ayah begini padaku?" Edward memekik, tetesan bening mulai jatuh dari matanya. "Kau ..." Tuan Still mengangkat tangannya lagi. Dengan segera Nyonya Still menahannya. "Hentikan sayang, cukup! Edward sudah terluka." "Dia selalu membuat onar dan merusak nama baik keluarga, bagaimana dia bisa menjadi perangkat negara jika begini? Aku hanya memikirkan masa depannya!" "Masa depanku, atau masa depan Ayah!" Tuan Still terdiam, Nyonya Still masih menahan tangan suaminya erat. "Apa katamu?" "Ini bukan untukku, ini untuk masa depan Ayah! lagipula Aku bukan kakak!" Mendengar perkataan Edward, ibunya terhenyak, dia menatap Edward lalu menggelengkan kepalanya. "Aku benar kan, Bu? orang ini ingin merubah Aku menjadi anak kesayangannya. Sadarlah Ayah kakak sudah tidak ada!" "Apa yang kau ocehkan? anak tak tahu diri!" "Ya Tuhan ... Kalian berdua tolong hentikan, hiks ... Kumohon hentikan." "Ayah ingin aku seperti kakak yang pintar dan punya bakat meneruskan pekerjaan Ayah. Tapi Aku bukan dia! Ibu, tolong bilang pada orang ini, Aku tidak pintar seperti kakak. A-Aku tidak bisa bersama dengan para pejabat. Hiks ... aku hanya punya satu teman, dan beberapa kenalan mafia, keahlianku hanya berkelahi. Ayah dengar? Aku hanya bisa berkelahi! jadi berhenti merubahku sesuai dengan keinginanmu!" Edward berteriak. Dengan tersedu dia menghapus air mata di pipinya. Tuan Still terduduk. Ditatapnya potret besar di dinding. Tampak putra sulungnya tersenyum ceria, dengan penghargaan di tangannya. Dia mulai menangis. Nyonya Still berdiri, perlahan mendekati Edward lalu memeluk Edward erat. "Edward, anak Ibu yang malang, hiks ... maafkan Ibu sayang ... maafkan Ibu." Edward melepaskan pelukan Ibunya, lalu mengusap air mata di pipi ibunya dengan lembut. "Jangan menangis, Bu, Aku benci melihat Ibu menangis." Nyonya Still menganggukkan kepalanya. Tapi air mata tetap saja tumpah. Edward menatap ayahnya yang terduduk di lantai. "Ibu, Aku pergi." Ucapnya kemudian, lalu pergi meninggalkan rumah. *** Joice dengan lesu meletakkan nampan ke meja. Baekie masih seperti kemarin, tidak mau keluar dari selimutnya. Sudah berhari-hari makanan yang ditinggalkan di kamar Baekie tak terjamah sama sekali. Baekie hanya berbaring. Kadang dia hanya menatap kosong keluar jendela. Tubuhnya semakin pucat, rambutnya semakin kusut, Joice bahkan tak bisa mengganti selimut dan seprei seperti biasa. "Dia tak mau makan lagi?" terdengar suara Oliver dari belakang, membuat Joice terkejut. Segera dia membungkuk memberi hormat. "I-iya Tuan, sudah berhari-hari, dia bahkan tak beranjak dari tempat tidur, aku juga tak bisa membersihkan tubuhnya, Aku sangat khawatir," Joice menghela nafas berkali-kali. "Kau pergi saja. Aku yang akan mengurus Baekie." "T-tapi Tuan ..." "Kau tidak dengar? Aku bilang pergi!" Joice tak bisa berkata apa-apa, dia segera ke dapur. Oliver membawa nampan yang diberikan Joice, lalu bergegas masuk ke kamar Baekie. Oliver meletakkan makanan dengan kasar ke meja. Dengan kesal dia menarik tangan Baekie. Baekie terhenyak. Dia melayang lalu terduduk di kasur. Baekie menundukkan pandangannya. Tak melihat ke arah Oliver sama sekali. "Makan!" Oliver menunjuk makanan di meja rias. Memberi perintah agar Baekie beranjak dan segera makan, tapi Baekie bergeming. Dengan geram Oliver menarik tangan Baekie lalu mendudukkannya ke kursi. "Aku bilang makan!" Baekie hanya diam menatap bayangan Oliver dari cermin. Oliver yang tak bisa menahan emosi lalu mengambil makanan dan memaksa memasukkan makanan itu ke mulut Baekie. "Brengsekk! Aku bilang makan! makan!" Baekie menahan mulutnya, makanan menempel di bibir dan pipinya. Prang! Oliver melempar nampan beserta semua makanan didalamnya ke lantai. "Aaa!!" Oliver berteriak kesal, "Hantu, Kau menguji kesabaranku? b******k, Kau kotor sekali. Sini!" Oliver menyeret Baekie ke kamar mandi. Baekie meronta, berusaha melepaskan diri dari cengkraman Oliver. "Lepas!" Plak! Baekie tak sengaja menampar Oliver ketika berusaha melepaskan diri. Oliver memegangi pipinya lalu terkekeh "Hah, hahahaha, si Hantu, Kau menamparku? berani-beraninya." Oliver mengambil shower lalu menyemprotkan air ke wajah Baekie, dan keseluruh tubuh Baekie. "Kau kotor sekali, kalau kau tidak cantik setidaknya bersihkan dirimu, Brengsekk!" To Be Continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN