Rasa

2412 Kata
*Peringatan, cerita ini memuat konten dewasa, berisi adegan kekerasan, kata-kata kasar dan sebagainya. Pembaca diharap bijak* Setelah mengusir Nancy dari rumahnya, Oliver bergegas masuk ke kamar Baekie. Baekie baru saja mengganti baju, dan menghapus riasannya. Ketika Oliver datang, Baekie berpaling. Dia tak mau melihat Oliver sama sekali. "Kenapa kau mengganti bajumu? kenapa kau menghapus riasanmu? pakai lagi gaun yang tadi dan pakai lagi riasannya, aku ingin melihatnya lagi." Baekie hanya diam, lalu berbaring ke tempat tidur dan menyelimuti dirinya. "Siall! Baekie Rosewood! Kenapa Kau begini? apa yang salah denganmu?" Baekie bungkam, dia memejamkan mata, berusaha mengabaikan keberadaan Oliver. Emosi Oliver mulai meluap. Oliver menarik selimut Baekie, lalu menarik tangan Baekie dengan kasar. Tubuh Baekie yang ringan melayang dan terduduk di kasur. "Kau ... dasar hantu brengsekk! kenapa kau diam saat aku bicara? Kau bahkan bicara pada Joice, kenapa tak mau bicara padaku?" Baekie masih bisu, dia menundukkan pandangannya, sementara tangannya menggenggam seprei erat. "Sialann! sebenarnya apa maumu! Aku tanya apa maumu!" "Berhenti bermain dengan wanita itu!" Baekie menatap Oliver dengan tatapan marah. Oliver tersentak. Wajahnya terperangah. Beberapa detik kemudian Oliver tertawa. Dia tak menyangka dengan apa yang didengarnya. "Hahaha ... jadi karena itu? Hantu ini, tak bisa kupercaya. Kau cemburu pada Nancy?" Oliver tersenyum geli. Baekie tak menjawab, dia kembali berbaring ke tempat tidur. Membelakangi Oliver. Oliver menarik Baekie dari tempat tidur, lalu mendorong Baekie ke lantai. "Wanita gila ini. Kau ... kenapa Kau bertingkah seperti ini?" perlahan Oliver mendekati Baekie yang sedang meringkuk di lantai. Plak! Plak! dia menampar pelan pipi kanan Baekie. Baekie beringsut mundur, sebelum akhirnya dijambak oleh Oliver. "Jangan bertingkah aneh Baekie. Atau kesabaranku akan habis." Ucapnya lalu mendorong kepala Baekie. Baekie diam tak bergerak. Oliver kemudian keluar dari kamar, dengan berbagai hal berkecambuk di kepalanya, serta perasaan aneh yang tak bisa dia tafsirkan dengan logika. *** Oliver duduk di club dengan musik yang memekakkan telinga. Ditemani Edward, yang tak tak jelas entah dia benar-benar kawan, atau hanya seorang laki-laki pemabuk yang tak punya teman lain selain Oliver. Edward hanya tahu bersenang-senang. Ketika ada masalah, bersenang-senang adalah obatnya. Itulah yang dia ajarkan pada Oliver sekarang. "Oliver, Kau tak membawa Nancy hari ini?" Edward menggerak-gerakkan kepalanya sambil meminum beberapa teguk anggur. "Jangan tanya Nancy padaku, Aku tak tahu dia di mana." Oliver meneguk sedikit anggurnya. Obat yang ampuh untuk Edward ternyata tak berefek untuk Oliver. Dia tampak bosan dan tak menikmati musik sama sekali. "Kau ingin ganti wanita? biar Aku carikan yang sesuai tipemu." Edward melirik kesana kemari. Seperti katanya, dia berusaha mencari wanita untuk Oliver. "Edward, Kau pernah tidur dengan wanita?" Pertanyaan Oliver membuat Edward shock. Cukup shock hingga berhasil menyemburkan minuman dari mulutnya. "Teman! Kau belum pernah tidur dengan wanita?" Edward terbelalak. "Kau belum pernah tidur dengan Nancy?" "Tentu saja ... Aku ... pernah tidur dengan wanita. Tapi bukan Nancy." "Jadi ada wanita lain lagi? No problem kawan, kadang kita harus ganti bahan untuk mendapatkan makanan yang enak, sudah berapa wanita yang kau tiduri? dilihat dari gayamu ... harusnya ... belasan orang." "Kau tidur dengan wanita sebanyak itu?" Kini Oliver yang terbelalak tak percaya. Edward mendekati Oliver lalu menepuk pundak temannya itu. "Oliver. Aku serius bertanya, Kau tak pernah tidur dengan wanita?" "Sudah kubilang pernah! hampir setiap hari jika hujan." Oliver tampak kesal. Edward mendekatkan wajahnya ke wajah Oliver. "Berapa orang wanita yang telah kau tiduri sejauh ini?" mata Edward menyipit, kini dia serius ingin mendapat jawaban dari Oliver. "Satu. Buat apa Aku tidur dengan banyak wanita? dasar kau ini." Edward terkekeh, tak bisa dia percaya, Oliver dengan kepercayaan dirinya yang tinggi, dengan tabiatnya yang buruk dan kasar ini, hanya meniduri satu wanita. "Baiklah, jika hanya satu orang, berarti permainannya bagus." Edward tersenyum usil. "Jadi sebagus apa dia? gaya apa yang pernah kalian pakai sejauh ini?" "Kau gila ya? Aku hanya tidur. Itu tidak seperti yang ada dipikiranmu!" Oliver menepis tangan Edward dari pundaknya. Edward menggelengkan kepala, lalu menepuk keningnya sendiri. "Kau ... Kau sakit kawan. Kau sakit. Ada wanita di depanmu, dan kau hanya tidur tanpa melakukan apa-apa? Sudah dipastikan. Kau sakit." Edward kembali menggerakkan tubuhnya ke lantai dansa. Oliver kesal. Entah mengapa dia harus bercerita pada Edward yang bahkan tidak tertarik pada apapun, selain bersenang-senang. *** Tok, tok, Joice mengetuk pintu kamar sebelum membukanya sendiri. "Baekie, Aku bawakan makan siangmu." Joice mendekat membawa nampan berisi buah-buahan dan nasi dengan taburan daging, serta biji wijen di atasnya sebagai lauk. Baekie yang selalu duduk di depan meja rias, menatap Joice datar. Joice meletakkan nampan tersebut ke meja, lalu berdiri di belakang Baekie. "Hari ini tidak berniat keluar kamar? waktu itu Aku sempat terkejut, sekaligus senang, karena Kau sudah sedikit berani menunjukkan sisi dirimu yang lain." Baekie menundukkan kepalanya, Joice tersenyum, dengan lembut Joice mengambil sisir dan menyisir rambut Baekie. "Tuan Muda ... apa Kau membencinya?" Mendengar pertanyaan itu, Baekie mengangkat kepalanya, menatap Joice dari pantulan cermin, lalu menggelengkan kepalanya. "Aku berharap Tuan Muda memperlakukanmu lebih baik." Ucap Joice kemudian. "Oliver ... apa dia selalu bermain dengan wanita?" suara lembut yang agak berat, keluar dari bibir Baekie. Joice menatap Baekie takjub. Bertahun-tahun dia masuk ke kamar ini, membawakan makan siang, mengganti seprei, dan menyisiri rambut Baekie, tak pernah sekalipun Baekie bicara padanya. Tapi, semenjak hari itu, sejak hari di mana Baekie dibawa keluar oleh Oliver, Joice mulai mendapati perubahan dari diri Baekie. Joice tersenyum, keriput menghiasi wajahnya, namun wajah itu tetap terlihat cantik. "Sejak kapan?" tanya Joice sambil menyelipkan rambut Baekie kebalik telinga. "Maksudnya?" Baekie menatap Joice kebingungan. Pertanyaan yang dia tanyakan malah dibalas dengan pertanyaan oleh Joice. "Sejak kapan Kau menyukai Tuan Muda?" "A-Aku tidak ..." Baekie terdiam, "Itu yang namanya suka?" gumamnya kemudian. "Lebih tepatnya, suka dalam arti yang tinggi, Kau tak hanya menyukai Tuan Muda, tapi mencintainya, terlihat jelas dari tindakanmu selama ini." "Cinta? benarkah?" Baekie termenung, bayangan Nancy yang memuakkan terlintas dipikirannya. "Tidak mungkin!" Baekie berdiri dari duduknya lalu berbaring di tempat tidur. "Jangan lupa makan siangmu." Ucap Joice kemudian, dengan senyum lembut Joice keluar dari kamar, menutup pintu dan berdiri sejenak. "Semoga, kalian berdua memiliki kisah yang baik." *** Edward duduk di tangga pintu masuk club. Bajunya compang camping, dia terkekeh sejenak, lalu menyulut rokok yang hampir patah di tangannya. "Hari ini tujuh kali pukulan, empat kali tendangan, tenaga si Tua itu memang luar biasa." Edward meludah, tampak saliva bercampur darah keluar dari mulutnya. "Edward!" Nancy berdiri di depan Edward, Edward melambaikan tangannya, lalu tersenyum menunjukkan giginya yang memerah karena bercak darah. "Di mana Oliver?" Tanya Nancy, sambil menaruh tangannya di pinggang. Riasan Nancy malam ini terlihat gelap, rok hitam panjang dengan belahan sepaha, dan atasan kurang bahan dengan warna senada, membuat dirinya seolah dikelilingi aura hitam kelam. "Hahaha, Nancy, Kau penyihir? lihat dandananmu." Edward tertawa terbahak-bahak, bukan hanya otaknya yang tak begitu pintar, tapi Edward juga punya selera humor di bawah standar. Dia tertawa geli hanya dengan melihat dandanan Nancy. "Dasar gila." Nancy memperhatikan Edward dengan kesal. "Kau sekarang jadi gelandangan?" Ucapnya sambil menendang telapak kaki Edward yang berselonjoran di tangga. "Nancy, ayo tidur denganku." Ucap Edward sambil memegang tangan Nancy, Nancy menepis tangan Edward lalu mundur beberapa langkah. "Sinting ya? Aku tanya Oliver di mana!" "Mungkin sedang tidur dengan perempuan lain." Jawab Edward sekenanya. Nancy naik darah, ingin sekali dia menghajar kepala Edward dengan sepatu. "Kenapa berkumpul di sini?" Oliver datang dengan tiba-tiba, Nancy dengan cepat merubah ekspresinya, dia menggandeng Oliver, dan menciumi pipi Oliver. "Sayang, dari mana saja? Aku mencarimu, tapi malah menemukan gelandangan ini." Ucap Nancy manja. Oliver menurunkan tangan Nancy, lalu berjalan mendekati Edward. "Wajahmu kenapa?" "Hahaha, Kau hanya melihat wajahku?" Edward mengangkat bajunya, memperlihatkan perutnya yang memar. "Di sini juga sakit, Ayahku sepertinya latihan banyak hari ini." Oliver menghela nafas, sudah berkali-kali Edward dihajar Ayahnya. Tetap saja, Edward selalu bertingkah konyol. Dia selalu mencari gara-gara, melakukan segala hal yang dilarang Ayahnya. Tak peduli berapa banyak pukulan, berapa banyak memar, dia tak pernah jera. "Berhenti mencari masalah dengan Ayahmu." Ucap Oliver kemudian. Edward adalah satu-satunya orang yang mau berteman dengan Oliver. Walau Edward tidak terlalu setia kawan, dan terlihat memanfaatkan dirinya, Oliver tidak ambil pusing, lagipula Edward tak melukainya sama sekali. "Beri Aku uang. Aku harus ke hotel. Semua kartuku disita si Tua itu." Edward mengulurkan tangannya. Oliver mengeluarkan uang dari dompetnya. "Bodoh, harusnya Kau punya dana cadangan, percuma kaya raya, tapi otakmu tak jalan." "Memang punya, Kau dana cadanganku, hahahaha." Edward terkekeh, lalu mengambil uang yang diberikan Oliver, dengan segera dia beranjak. "Ah, Nancy, Kau benar-benar tak mau tidur denganku?" Edward tersenyum, lalu mengedipkan matanya ke arah Nancy. "Sayang, temanmu gila." Nancy menatap Edward dengan wajah cemberut. "Oliver tak kan keberatan, dia punya wanita lain." Edward menyeringai. "A-Apa!" Nancy terlonjak, dengan kesal dia memukul bahu Oliver. "Kau benar-benar punya wanita lain?" "Edward, jangan bikin kekacauan lagi, pergi sekarang, dan Nancy, Aku punya wanita lain atau tidak, tak ada hubungannya denganmu. Kau pikir Aku tak tahu, Kau tidur dengan pemilik club ini?" "Edward! Kau ... Kau mengadu pada Oliver?" Nancy terlihat marah, Edward terkekeh lalu segera berlari meninggalkan mereka. "Sayang, A-Aku ..." "Tak masalah, terserah Kau mau tidur dengan siapapun, Aku tak peduli." Oliver pergi meninggalkan Nancy, Nancy berteriak kesal, dandanannya yang seperti penyihir begitu menyokong emosinya saat ini. "Edward b******k! awas saja, Aku akan membalasmu." *** Oliver terlihat lelah tatkala ia memasuki rumah. Dia berkeliling ke setiap bagian ruangan. Hampir enam menit lamanya. Ketika melewati kamar di ujung lorong, dia terhenti. Oliver berjalan ke arah kamar tersebut, pintu dibuka. Tampak Baekie duduk di meja riasnya. Mengenakan gaun putih dengan pita merah mudah di bagian leher gaun tersebut. Rambutnya yang hitam terurai indah, Oliver mendekat lalu duduk di tempat tidur. "Baekie. Jujurlah padaku, Kau benar-benar cemburu pada Nancy?" "Kau masih bermain dengan wanita itu?" Oliver terperangah, bukan karena pertanyaannya yang dijawab dengan pertanyaan, tapi karena ini kali pertama Baekie langsung membalas ucapannya. Biasanya dia bahkan tak mau bicara sama sekali. Baekie terlihat kesal, dengan segera dia berbaring di tempat tidur, membelakangi Oliver. "Baekie, buka bajumu." Baekie tak menggubris. Dia hanya diam tanpa bicara apapun. "Baekie Rosewood! kau tuli? aku bilang buka bajumu!" "Kau tidak sakit, kau tak butuh tubuhku." Oliver sekali lagi terkejut atas sikap Baekie. "kau tak pernah kumat lagi, kan? apa aku sudah boleh pergi dari sini?" "Apa katamu?" Oliver meledak, ditariknya Baekie dari tempat tidur, lalu ... Plak! Oliver menampar Baekie hingga sudut bibir Baekie pecah. "Kau sudah berani menantangku? kau mau pergi dari sini? hahaha, dasar brengsekk!" "Kalau begitu, berhenti bermain dengan wanita itu!" Baekie berteriak lantang, Oliver terbelalak tak percaya, Plakk! Oliver menampar Baekie sekali lagi, Baekie tersungkur dan memegangi pipinya. "Sekarang kau sudah pintar berteriak? Hahaha ... Siall. Hantu, kau menyukaiku? kau pikir aku menyukaimu? hanya karena membelikan hadiah? kau itu hanya pêlayãnku! berani-beraninya kau membentakku." Baekie berdiri, lalu menatap Oliver geram, "Kalau begitu izinkan aku pergi, aku tak mau menjadi pēlãyanmu lagi, aku tak mau memberikan tubuhku padamu lagi!" "Memberikan tubuh? kau tau apa arti memberikan tubuh yang sebenarnya? kemari!" Oliver menarik rambut Baekie dan melempar Baekie ke tempat tidur. Dengan kasar Oliver merobek gaun Baekie satu persatu, Baekie berusaha melawan tapi tubuh dan tenaganya yang kecil tak sebanding dengan tenaga Oliver. Oliver duduk di atas Baekie yang sudah tidak mengenakan apapun lagi. "Lepas ... kau mau apa? lepaskan aku!" Baekie memukul-mukul tubuh Oliver, namun Oliver menangkap tangan Baekie dan membelenggunya keatas kepala Baekie. "Kau mau tau arti memberikan tubuh yang sesungguhnya? akan aku tunjukkan, hari ini! Aku akan mengambil semuanya, Semua yang ada pada dirimu, Tubuhmu ... Milikku!" Oliver melumat kasar bibir Baekie, Baekie hampir kehabisan nafas, Baekie terengah, tak ada kesempatan untuk melarikan diri, dengan segala upaya, Baekie lalu menggigit bibir Oliver. "Shitt!" Plak! Oliver menampar Baekie hingga mengeluarkan darah dari sudut bibirnya. "Hiks ... lepaskan aku ... aku mohon." Air mata perlahan jatuh dari sudut mata Baekie, melihat pemandangan itu, Oliver malah menatap Baekie takjub. "Wah Baekie ... bagaimana ini? aku semakin menginginkanmu!" Oliver membuka ikat pinggang nya, Baekie menatap Oliver ketakutan, Baekie berusaha lari dari tempat tidur, namun Oliver menarik Baekie dan Plakk! sebuah pukulan mendarat ke tubuh Baekie. Baekie terguling, mengerang kesakitan, Oliver semakin menggila, Plak! Plak! bekas luka menghiasi tubuh Baekie, Baekie melemah dan hanya bisa menangis, Oliver menjatuhkan ikat pinggang nya lalu menatap Baekie. "Akh!" Baekie kesakitan ketika Oliver menyentuh luka diperutnya, Baekie menatap Oliver dengan tatapan memohon agar Oliver berhenti, alih-alih berhenti, Oliver malah tersenyum, lalu melumat bibir Baekie beberapa detik. "Ya ampun, Baekie ... apa yang sudah kau lakukan padaku? aku sangat menginginkanmu, kau terlihat nikmat, bagaimana bisa begini?" Oliver menciumi luka di tubuh Baekie, Baekie meremas seprei menahan sakit di sekujur tubuhnya. Dengan kasar Oliver lalu m*njilati dan merem*s d*da Baekie. "Oliver tolong hentikan hiks ..." Oliver berhenti, lalu menatap Baekie. "Kau memanggil namaku? Baekie ... kau membuatku gila, menangislah ... memohonlah ... panggil namaku, aku menyukainya." Oliver kembali tersenyum lalu meremas d*da Baekie dan tangan lainnya berusaha memasuki area sensitif Baekie. Baekie panik, dengan sisa kekuatannya Baekie berusaha melepaskan diri, namun percuma saja, Oliver dengan tubuhnya yang bidang dan tangannya yang berotot bukanlah lawan Baekie. Oliver berhasil memasukkan kedua jarinya ke dalam area sensitif Baekie. Tubuhnya menahan kaki Baekie agar tetap terbuka, Baekie menegang, air matanya terus mengalir karena sakit di sekujur tubuhnya dan kini ditambah siksaan dibagian bawah tubuhnya. "Hiks .... Oliver ... Argghhh, hentikan, ku mohon, sakit ...." Baekie berusaha bergerak, Oliver menarik tubuh Baekie ke bawah lalu menggigit paha Baekie. Baekie makin kesakitan. "Baekie, ini benar benar gila, Aku tak bisa melepaskanmu, kau terlalu nikmat." Oliver makin mempercepat laju tangannya, Baekie mengerang dan terus saja menangis. Beberapa menit kemudian, Baekie melemah, Plakk! Oliver menampar Baekie agar tetap sadar, Baekie merasakan sesuatu menghujam ke dalam dirinya, Entah itu rasa nikmat atau kesakitan, Baekie menegang hebat, mencengkram pundak Oliver, Oliver memasuki Baekie tanpa basa basi, memompa dengan cepat, sambil mulutnya berada di d*da Baekie, melakukan segala sesuatu di bagian tubuh itu sepuasnya. "Oliver ... hentikan, Aku tak tahan lagi ... sakit sekali!" Baekie merintih, menggeleng-gelengkan kepalanya, menahan rasa sakit dari tindakan Oliver. Air matanya terus saja tumpah. "Iya ... seperti itu, panggil namaku Baekie, ah ... nikmat sekali, teruslah bicara, Baekie..." Oliver makin bersemangat. Sementara Baekie hampir pingsan. "Akh ... A-Aku kesakitan, Oliver berhenti, kumohon." "Terus begitu ... terus bicara ... Baekie ...." Oliver makin mempercepat ritmenya, Baekie menggeliat tak tahan lagi menanggung tekanan dari Oliver. gerakan Oliver semakin cepat, dan semakin cepat, Meski kesakitan, Baekie mencapai klimaks, membuatnya berteriak. "Oliver!" "B-Baekie ...." Oliver rubuh di atas tubuh Baekie, nafasnya terengah-engah, Baekie hilang kesadaran, karena kesakitan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, Oliver menciumi bahu Baekie dan menempatkan kepalanya diatas d*da Baekie, diapun tertidur sambil memeluk Baekie erat. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN