*Peringatan. 18+*
- Cerita berikut mengandung konten dewasa, seperti perkelahian, kata-kata kasar, s*x, alkohol dan sebagainya. Pembaca diharap bijak-
"Kau kotor sekali, kalau kau tidak cantik setidaknya bersihkan dirimu, Brengsekk!"
Oliver menyemprotkan air bertekanan tinggi ke wajah Baekie. Baekie terbatuk, air memasuki mulut dan hidungnya. Oliver malah makin menggila. Dia baru berhenti ketika melihat Baekie terengah-engah dan kesulitan bernapas.
"Sudah kubilang, kan, jangan bertingkah! hantu sialann!"
Baekie meringkuk di sudut kamar mandi. Gaun putih basah yang melekat ke tubuhnya, jelas sekali memperlihatkaan tubuh mungilnya yang hanya mengenakan celana dalam. Oliver terdiam sejenak, dengan kesal dia melempar shower ke lantai, lalu mengacak-acak rambutnya.
"Siall! Aku benar-benar sudah gila." Oliver menarik Baekie agar berdiri. Mendorong tubuh Baekie dengan kasar ke dinding. Baekie menatap tepat ke mata Oliver. Laki-laki itu seperti hewan buas, Baekie merinding. Tatapan Oliver seolah ingin menelannya hidup-hidup. Oliver bahkan tak berkedip, matanya menatap lekat ke dàdã Baekie yang terpampang di balik gaun basah tersebut.
"Baekie ... Kau masih tak mau bicara?" Oliver menyentuh wajah Baekie lalu turun ke leher. "Bicaralah ... sebelum aku melakukan sesuatu".
Oliver mencengkram leher Baekie. Kini Oliver menatap bibir cherry blossom milik Baekie. Perlahan Oliver mendekat. Satu detik, dua detik, keinginan untuk menyesap bibir mungil semakin kuat.
"Izinkan aku pergi dari sini!" ucap Baekie, sebelum bibir Oliver menyentuh bibirnya. Oliver menatap tajam.
"Kau benar-benar mau pergi dari sini?" Oliver mengencangkan cengkraman tangannya ke leher Baekie.
"A-Aku mau pergi darimu, tolong biarkan aku pergi!"
Baekie tercekik. Oliver merasakan panas di kepalanya. Plak! Oliver menampar Baekie dengan kesal. Baekie terjatuh ke lantai, namun Oliver segera menarik tangan Baekie, dan mendorongnya ke dinding lagi.
"Maaf Baekie, kau tak kan bisa pergi dariku, karena sekarang, Aku sudah memutuskan. Tugasmu bertambah." Oliver mengelus wajah Baekie. Menciumi rambut Baekie, lalu menyeringai. "Tak hanya menjadi penawarku, sekarang Kau juga harus menjadi p*lacurku."
Air mata Baekie tumpah dengan sendirinya. Baekie menggelengkan kepala, memohon agar Oliver melepaskannya. Oliver tersenyum horor. Wajah tampannya yang memang dari awal terlihat seperti brengsekk, kini berubah lebih seperti psikopat. Baekie berontak, dan segera melarikan diri. Oliver masih tersenyum, tak butuh tenaga lebih untuknya menangkap Baekie. Baekie ditarik paksa, Oliver memblokade tubuh Baekie Hingga tak ada celah untuk melarikan diri.
"Kenapa Kau lakukan ini? padahal Aku ... A-Aku ...." Baekie terdiam. Ditatapnya Oliver dengan penuh kekecewaan, Baekie bisa merasakan betapa hatinya kini tercabik-cabik. Air matanya mengalir deras.
"Kau apa? kau berperan sebagai korban? dan aku penjahatnya? Baekie ... ini semua salahmu, harusnya kau tetap diam seperti hantu. Tapi, tiba-tiba kau bicara. Ekspresi wajahmu mulai berubah. Kau marah ketika Aku bersama Nancy. Kau ... Kau memang berusaha menggodaku, kan?"
"Tolong lepaskan Aku. Kumohon, hiks ..."
"Kau pernah bilang Kau ini p*lacur mahal, kan? Kau hanya melayãni satu orang. Sekarang Kau harus lakukan tugasmu dengan baik."
Oliver menarik lepas gaun Baekie hingga menyisakan celana dalamnya. Dengan panik Baekie berusaha mendorong Oliver menjauh. Tapi Oliver membalikkan tubuh Baekie menghadap ke dinding. Dàdã Baekie menempel ke dinding yang dingin. Bak kesetanan, Oliver menciumi leher belakang Baekie, tangan kirinya menahan tubuh Baekie agar tidak bergerak, dan tangan lainnya membuka pakaiannya sendiri, hingga Oliver tak berpakaian sepenuhnya.
"Lepas!" Baekie berteriak, tenaga Baekie tak ada apa-apanya bagi Oliver. Oliver segera menarik Baekie dan memasukkan tubuh mungil itu ke bak mandi.
"Hentikan! Lepaskan Aku!" Baekie meronta sambil menangis. Baekie memukul-mukul Oliver, namun tak ada efeknya sama sekali.
Oliver mengangkat tangannya, Plak! "Diam!" Oliver menjambak Baekie. Baekie merintih, pipinya terasa perih. Oliver membalikkan tubuh Baekie dan menurunkan celana dalam Baekie. Baekie kembali merasakan kesakitan yang menusuk dirinya. Sekuat tenaga, Baekie berusaha merangkak menjauh. Tapi Oliver menarik pangkal paha Baekie menghujamkan dirinya lebih dalam, lebih dalam lagi dan semakin dalam.
"Akh!" Baekie mengepalkan tangannya. Menahan gerakan Oliver yang menggila. Oliver meraup d*da Baekie dari belakang sambil memompa dirinya lebih cepat. Baekie mengejang, jiwa Baekie seolah keluar dari tubuhnya, cengkraman Oliver di d*danya serasa menyakitkan, dan hujaman yang diterimanya tak pernah habis.
"Akh! Oliver, hentikan, kumohon!" Baekie berteriak, tubuhnya hampir rubuh. Plak! Oliver menampar bagian belakang Baekie hingga meninggalkan tanda merah, Oliver masih tak berhenti sedikitpun, terus saja menggila, dia mengerang dan mendesah hebat. Ketika dia hampir mencapai puncak kenikmatannya, ritme gerakannya menjadi dua kali lebih cepat. Tangannya yang berotot merengkuh tubuh Baekie. Baekie menjerit, wajahnya memerah menahan rasa sakit. "Baekie," Oliver membenamkan dirinya terlalu keras, Baekie rubuh dan Oliverpun melemah di belakang Baekie, Baekie tersungkur di bak mandi, Dia meringkuk sambil menangis, Oliver masih berdiri menatap Baekie, lalu menghidupkan air untuk memenuhi bak tersebut.
"Bersihkan dirimu, dan makan, atau Aku akan lakukan yang lebih parah lagi".
Oliver mengambil pakaiannya lalu keluar meninggalkan Baekie yang kesakitan dan menangis.
"Kenapa Kau lakukan ini? padahal Aku mencintaimu dari awal. Hiks ... bertahun-tahun Aku bertahan, hanya dengan menatapmu. Kenapa Kau menyakitiku, hiks ... k-kenapa?"
***
Edward berdiri di balkon apartment. Perlahan dia memanjat ke atas balkon yang berada di lantai 9 tersebut. Dia hampir goyang, namun dengan tenang dia merentangkan tangan, lalu memejamkan matanya. Kakinya berjinjit, sedikit angin kencang saja, maka dia akan kehilangan keseimbangan dan terjun bebas menghantam bumi. Oliver yang baru saja masuk ke apartment terbelalak. Dengan segera dia berlari ke arah Edward. Dua langkah dari tempat Edward berdiri, Oliver mengangkat tangannya, berhati-hati agar tidak membuat gerakan salah, yang bisa membahayakan nyawa Edward.
"Sial! Kau mau apa? turun dari sana sekarang!" Oliver mengulurkan tangannya. Edward perlahan menoleh ke belakang.
"O-Oliver ... A-Aku ..."
"Apa sebenarnya masalahmu?"
"T-tidak ada masalah apa-apa." Mata Edward memerah, perlahan dia mulai terisak.
"Jangan menangis b******k! turun dari sana segera!"
"A-Aku tidak bisa ..."
"Tak bisa katamu? seberat apa masalahmu hingga Kau mau bunuh diri?"
"Oliver ..."
"Setidaknya kalau mau mati, jangan di apartmentku, b******n!"
"Aku ketakutan!" Edward mulai menangis tersedu. "A-Aku ketakutan, hingga tak bisa bergerak. Oliver tolong Aku, hiks ... di sini mengerikan sekali."
Oliver mengusap dahinya, kedua tangannya kini di taruh dipinggang. "Sebenarnya mau apa Kau di atas sana?"
"Berhenti bertanya. Tolong Aku, huwaaa... Aku takut. Oliver, jangan biarkan Aku jatuh. Tolong."
"Jangan lihat ke bawah." Oliver berusaha mendekat, tapi Edward terlanjur kehilangan keseimbangan.
"Aaa!" Beruntungnya Oliver langsung menarik Edward, mereka berdua terguling di balkon. Oliver kesakitan karena sikutnya membentur lantai, sementara tubuh Edward dingin, karena menahan rasa takut.
"Si b******k ini, Kau benar- benar mau mati?"
"Siapa yang mau mati? A-Aku ... hiks, Aku ingin mengambil itu."
Edward menunjuk ke arah tanaman di balkon sebelah. Tampak sebuah sapu tangan berwarna merah muda, tersangkut di tanaman tersebut.
"Kau hampir menjadi mayat di apartmentku hanya gara-gara itu?" Oliver menggeleng tak percaya. Dengan segera dia masuk ke dalam sambil menggosok-gosok sikutnya.
"Itu bukan sembarang sapu tangan, itu dari orang spesial."
"Terserah! kenapa kau tidak lompat saja sekalian. b*****t!"
"Bagaimana caraku mengambilnya?"
"Itu urusanmu! sial, Kenapa Kau harus di sini? membuatku semakin stress!"
Beberapa menit kemudian, Edward menghela nafas, terus saja memeriksa sapu tangannya di balkon. Oliver yang sudah jengah akhirnya mengambilkan sapu tangan Edward, dengan cara pergi ke kamar sebelahnya, dan meminta izin untuk ke balkon.
"Kenapa otakmu tidak bisa memikirkan hal seperti ini? kenapa harus memanjat balkon segala?"
"Maaf, Kau tahu, Aku kan tidak pintar." Edward menyeringai, segera dia menyimpan sapu tangan tersebut di balik jasnya.
"Kukira kau benar-benar ingin bunuh diri." Ucap Oliver sambil menghela nafas.
"Awalnya memang begitu, tapi setelah berpikir dan membayangkan ibuku, Aku tak jadi melakukannya. Kau tahu? bahkan saat kita sekarat, jika memikirkan orang yang kita cintai, maka kita berusaha untuk tetap hidup, matipun tidak akan tenang."
Oliver terdiam mendengar perkataan Edward. Tiba-tiba wajah Baekie muncul di benaknya. Saat dia berkali-kali sekarat dan hampir mati. Pelukan Baekie membuatnya bertahan. Apakah tubuhnya otomatis merespon energi tersebut? energi dari tubuh Baekie yang membuat dia bisa kembali kekeadaan normal. Apakah alasannya tenang hanya karena hangat tubuh Baekie? atau karena hatinya sudah diserahkan Ke wanita itu, hingga hanya dia yang mampu menenangkannya?
"Edward. Jika kau tak ingin seseorang meninggalkanmu, apa arti sebenarnya?"
Edward menatap wajah temannya itu. "Artinya, Kau membutuhkan dia."
***
Beberapa hari berlalu, Oliver mondar-mandir di kamarnya, otaknya terus saja memikirkan Baekie. Oliver merasa dia benar-benar gila. Setiap hari dia selalu menginginkan Baekie. bahkan makin menginginkan Baekie. Oliver tak bisa melupakan nikmatnya tubuh Baekie, tak bisa melupakan suara Baekie, dan sensasi bercinta yang mengundang gairah Oliver untuk menyesap semua bagian tubuh Baekie. Oliver hampir stress. Ketika Baekie mengatakan ingin pergi meninggalkannya. Oliver langsung naik darah, dan mengamuk. Apakah ini seperti yang dikatakan Edward? dia membutuhkan Baekie. Tapi kebutuhan seperti apa sebenarnya? Oliver tak bisa berpikir dengan benar, dengan segera dia mengambil kunci mobil dan melangkah keluar kamar.
"Tuan Muda!" Suara Joice menghentikan langkah Oliver. Tampak Joice berlari dengan wajah cemas ke arahnya. "Tuan... Bolehkah saya menelepon Doktor keluarga?'
"Kenapa? bukannya Bibi tidak ada di rumah?
Joice menggeleng "Bukan Nyonya Magie Tuan, Baekie ... Baekie sepertinya lemah sekali, dia pucat dan suhu tubuhnya tinggi." Mendengar perkataan Joice. Oliver segera berlari ke kamar Baekie.
Tampak Baekie terbaring di tempat tidur, wajahnya yang memang sudah pucat menjadi makin pucat. keringat dingin membasahi tubuhnya. Baekie mengerang dan mengingau setengah sadar.
"Baekie Bangunlah! Baekie ..." Oliver menaruh tangannya ke dahi Baekie. hawa panasnya bukan main-main. "Sial. Kenapa bisa begini?" Oliver dengan segera menggendong Baekie dan berlari ke arah Mobil.
"Tuan, Mau kemana?" Joice ikut berlari dengan susah payah di belakang Oliver.
"Rumah Sakit!"
To Be Continue