Prolog
"Oliver ... Anyelir Merah, melambangkan kecantikan dan pesona luar biasa. Kelak, jika kau bertemu gadis seperti Anyelir Merah, dan hatimu merasakan nyaman saat menatapnya, maka kau harus menyerah. Menyerahkan hatimu padanya dan biarkan dia merawatmu, kau mengerti?".
Nyonya Hill menatap anaknya, wanita itu tersenyum tulus. Meski ada selang infus di tangannya, satu selang di hidung, dan beberapa selang di dãdanya. Nyonya Hill merasa waktunya sudah tidak lama lagi. Namun, kecemasan yang dia hadapi sekarang bukan karena waktunya yang sedikit, melain karena putera semata wayangnya. Oliver Geoffrey Hill. Oliver keturunan bangsawan terakhir keluarga Hill, pemuda itu mengidap kelainan. Penyakit aneh yang tak bisa dijabarkan oleh ilmuan manapun. Kini, anak berusia tiga belas tahun itu menatap ibunya yang sekarat. Perlahan dia mengusap air mata yang keluar dari sudut mata ibunya, menggenggam tangan ibunya. Ingin sekali dia menangis. Tapi entah mengapa dia tak bisa mengeluarkan air mata sedikitpun.
"Oliver, ibu harap kau hidup dengan baik. Ibu tak bisa menemanimu lebih lama lagi."
"Ibu ... Ibu akan pergi? tapi Aku belum bertemu dengan Anyelir Merah, Aku bisa mati, siapa yang akan merawatku?"
"Pasti ada ... bersabarlah ...." Sang ibu sekali lagi tersenyum, perlahan matanya tertutup. Hening, monitor jantung kini tak bekerja lagi, jam kematian diumumkan, dan pemakaman pun diadakan.