- Peringatan, 18+ Pembaca diharap bijak-
"Baekie Rosewood!"
Oliver mulai berang. Dibantingnya wadah air hangat, yang kini telah berubah warna menjadi merah, karena darah dari lukanya.
"Kenapa Kau diam saja? Aku perintahkan Kau untuk bicara! Ayo bicara!"
Baekie menatap Oliver lekat. Teriakan Oliver tak berpengaruh sedikitpun padanya. Setelah beberapa detik, dia mengalihkan pandangan, lalu beranjak mencari perban untuk membalut luka Oliver. Oliver mengacak acak rambutnya karena frustasi.
"Terserahlah! kau mau bicara atau tidak, dasar hantu!"
Oliver beranjak dari duduknya, tapi Baekie menyentuh tangan Oliver, membuat Oliver berhenti bergerak. Baekie menatap Oliver, lalu menunjukkan perban. Dengan kesal Oliver duduk lagi, memperhatikan Baekie yang mengobatinya, menatap wajah Baekie, bibir Baekie serta tubuh mungil Baekie yang terlihat rapuh.
"Sudah selesai? kenapa kerjamu lama sekali!" Oliver menarik tangannya, nyeri dari luka tersebut membuat wajahnya meringis
"Chris sialann! lain kali akan kubunuh dia."
Baekie mematung, menatap luka di tangan Oliver, entah apa yang ada di pikirkannya. Wajah yang tanpa ekspresi itu, tak bisa terbaca sama sekali.
"Kau mau tetap pakai handuk? pakai bajumu! kita pergi dari sini." Baekie bergerak begitu dikomando. Oliver berbaring menarik nafas lelah, pandangannya teralihkan oleh Baekie yang mengarah ke kamar mandi.
"Kau mau ganti di kamar mandi? hahahaha ... kau malu? dasar bodoh, aku sudah berulang kali melihat tûbuh telanjãngmu, tak ada yang menarik, ganti di sini saja."
Baekie kemudian berdiri di depan meja rias, membuka handuknya. Oliver menatap cermin yang memantulkan tubuh polos Baekie, perlahan Oliver mendekat. Tangan dinginnya menyentuh punggung Baekie.
"Aku akui, tubuhmu halus, mungkin karena kau tidak pernah keluar." Oliver menyeringai "Tapi ... Nancy lebih bagus, warna kulitnya lebih cantik, dan dãdãnya lebih berisi, kau ...."
Oliver membalik tubuh Baekie agar berhadapan dengannya, lalu menelusuri setiap bagian tubuh Baekie dengan matanya.
"Kau terlalu pucat, dan
..." Penelusurannya berhenti di dãdã Baekie, Oliver kemudian menyentuh dãda Baekie dengan kedua tangannya. "Dãdãmu lebih kecil," Oliver berbalik, Baekie terus saja diam. Bahkan sentuhan Oliver di dãdãnya tak merubah ekspresinya sedikitpun.
"Ya ... ya ... terus saja seperti itu, diam seperti hantu, itu sebabnya kau tak menarik, pakai bajumu, aku tunggu di Mobil!"
Oliver bergegas pergi, Baekie kembali menatap tubuhnya di cermin, hanya seperti itulah arti dirinya bagi Oliver, Hantu tanpa ekspresi yang tak menarik.
***
Nyonya Magie murka, tatkala melihat Oliver pulang dalam keadaan terluka. Dengan panik dia menyuruh pēlayan memanggilkan Dokter Keluarga.
"Sudah Bibi bilang, kan? jangan bermalam! lihat yang terjadi sekarang!"
Oliver tak mempedulikan ocehan Bibinya, dengan wajah datar dia menuju ke kamar untuk mengganti baju.
"Sudah Bibi bilang juga, jangan bawa si hantu ini! Oliver! Kau dengar Bibi?"
Melihat Oliver yang tak mempedulikannya, Nyonya Magie makin merasa kesal. Akhirnya kekesalan itu diluapkannya ke Baekie.
"Kenapa Oliver bisa terluka? apa saja yang kau lakukan! harusnya Kau melindungi Tuanmu! dasar hantu!"
Nyonya Magie menatap Baekie tajam, seolah ada api yang keluar dari matanya.
"Siall! manusia bisu ini, Aku merasa rugi telah membelimu!"
Suara Nyonya Magie bergema, Baekie hanya diam. Beberapa detik kemudian, dia berlalu melewati Nyonya Magie, menuju ke arah kamarnya.
"Mau kemana Kau!" Nyonya Magie menarik tangan Baekie. Baekie terhenti tapi matanya tetap lurus menatap pintu kamar.
"Manusia tak berguna ini!" Nyonya Magie melayangkan tangannya. Namun tiba-tiba gerakannya terhenti. Entah sejak kapan Oliver ada di sampingnya. Oliver menangkap tangan Nyonya Magie yang hampir mendarat ke pipi Baekie.
"Apa yang Bibi lakukan?"
Oliver menatap Bibinya kesal.
Nyonya Magie menarik tangannya dari genggaman Oliver, "Kau sudah gila? Kau membela hantu ini? Dia ..."
Plak! Semua terdiam, Nyonya Magie tak kalah terkejut. Sebuah tamparan mendarat ke wajah Baekie. Baekie memejamkan mata, menahan rasa panas di pipinya akibat tamparan Oliver.
"Dia wanitaku, menampar atau apapun itu, hanya Aku yang boleh melakukannya!"
Oliver lalu mendorong Baekie dengan kasar. "Kenapa Kau masih di sini? masuk ke kamarmu!"
Tanpa menoleh, Baekie langsung pergi ke kamarnya. Oliver menatap punggung wanita itu, hingga menghilang di balik pintu.
"Ingat! tak ada yang boleh menyentuh Baekie, tanpa seizinku."
Ucapnya lagi, lalu mengambil kunci mobil, dengan segera dia bergegas keluar rumah dan berkeliaran tanpa arah.
***
Oliver menelepon Nancy untuk menemaninya ke club, lalu ke pusat perbelanjaan. Nancy memilih pakaian dan semua kosmetik untuk dirinya dan Oliver membayar dengan wajah cuek.
Setelah beberapa kali berkeliling, Oliver terhenti. Matanya tertuju ke gaun merah yang terpajang di sebuah toko. Oliver masuk dan menatap gaun tersebut
"Sayang, modelnya bagus sih, tapi Aku tidak suka warna merah." Ucap Nancy yang terus saja bergelantungan di lengan Oliver.
"Bungkuskan itu!" perintah Oliver pada penjual.
"Sayang, Aku kan sudah bilang, tidak suka warna merah."
"Ini bukan untukmu."
Nancy tercengang, otaknya mulai berpikir yang tidak-tidak.
"Jika bukan untukku, lalu untuk siapa? Apa Oliver punya wanita lain? Brengsekk."
Nancy menatap Oliver, lalu tersenyum genit.
"Sayang, kalau Kau suka, Aku tak masalah memakai warna merah."
"Ini bukan untukmu, jadi diamlah." Oliver melepas gandengan tangan Nancy dari tangannya. "Pilihkan juga pewarna bibir dan rias wajah yang cocok untuk orang berkulit pucat!" Perintah Oliver lagi, penjual pun segera mencari semua yang Oliver minta. Berbagai macam kosmetik, lipstick berikut gaun merah, yang merupakan benda paling utama. Mereka bergegas membungkus dan menghitung semua belanjaan tersebut.
***
Oliver meninggalkan Nancy di pusat perbelanjaan. Nancy terpaksa harus naik taxi karena Oliver ingin segera pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, Oliver bergegas menuju kamar Baekie. Di tatapnya Baekie yang sedang duduk di meja rias, sambil merangkai bunga Anyelir. Baekie terhenti sejenak dari aktifitasnya. Oliver melempar semua barang bawaannya ke tempat tidur.
"Ini untukmu!" Ucapnya ketus, tak sampai lima detik setelah kalimat itu, dia langsung pergi keluar kamar.
Baekie memeriksa isi bungkusan tersebut. Seketika Baekie tersenyum, senyum yang tak pernah dia tunjukkan sebelumnya, Baekie mengambil gaun dari dalam bungkusan, lalu berdiri menatap dirinya di cermin sambil memegang gaun itu. Ini hadiah pertama dari Oliver untuknya, setelah bertahun-tahun Oliver tak pernah melihatnya sebagai manusia.
***
Beberapa hari kemudian. Baekie dengan gugup mengintip keluar kamarnya. Kakinya sedikit gemetar, dia juga agak kaku tatkala melewati pintu kamar, perlahan dia berkeliling dan melihat seisi rumah.
"K-Kau ... kenapa kau keluar kamar? Kau mau kabur?" Nyonya Magie yang tak pernah menduga Baekie akan keluar kamar tampak khawatir. Terlebih Baekie memakai gaun merah, dengan polesan pewarna bibir dan riasan tipis di wajahnya.
"Maaf Nyonya, bolehkah aku jalan-jalan di taman belakang?"
Nyonya Magie semakin shock, dia tak pernah mendengar suara Baekie sebelumnya, Bahkan dia mengira Baekie memang tidak bisa bicara.
"K-Kau bisa bicara?" Wanita itu terbelalak, setelah terpaku beberapa saat dia menarik tangan Baekie, memaksa Baekie untuk masuk ke kamar. "Kau tak boleh kemana-mana, kembali ke kamarmu!"
Baekie menahan dirinya. Dengan lembut dia melepaskan genggaman Nyonya Magie dari pergelangan tangannya. "Hanya sebentar nyonya, aku mau memeriksa keadaan kebun Anyelir."
"Kau pikir aku bodoh? kau mau kabur, kan? jangan coba-coba membohongiku!"
"Nyonya, biar saya yang menemani Baekie." Joice, Pengasuh Oliver berjalan sambil tersenyum ke arah Baekie.
"Saya akan menemaninya, Nyonya tenang saja, Baekie tak mungkin kabur."
Nyonya Magie menatap Baekie tak percaya, "Bagaimana kalau dia kabur? kau mau tanggung jawab?" hardik Nyonya Magie pada Joice.
"Tenanglah Nyonya, Baekie bukan gadis seperti itu." Joice tersenyum lembut.
"Baik, akan ku biarkan, tapi kali ini saja, kau tidak boleh keluar lagi!"
Perintah Nyonya Magie lalu pergi, Joice membungkuk dan mempersilakan Baekie berjalan duluan.
Baekie tersenyum diantara bunga Anyelir di taman, dengan hati-hati dia memetik beberapa tangkai bunga, lalu mencium wangi nya dan kembali tersenyum.
"Joice, seperti aku harus...."
Baekie terdiam, tatkala melihat Oliver yang menatapnya dengan ekspresi keherananan. Oliver yang baru saja tiba di rumah, serasa disuguhkan pemandangan langka. Oliver mendekat ke arah Baekie dan menatap sekali lagi memastikan dia tak salah lihat. Baekie si hantu, keluar kamar, memakai gaun yang dia beli, memakai riasan dan pewarna bibir, lebih tak masuk akal lagi Baekie tersenyum dan bicara.
"Sayang," suara Nancy menghentikan lamunan Oliver, Nancy berlari, lalu merangkul lengan Oliver. "Sayang, setelah ini kita kemana? apa aku boleh masuk ke kamarmu? kita bisa bêrcîntã di sana." Nancy tersenyum genit.
Melihat pemandangan di depannya, Baekie kembali ke ekspresi nya yang biasa, lalu bergegas kembali ke kamar, Oliver hanya terdiam lalu mendorong-dorong Nancy, yang sejak tadi terus saja menempel padanya.
***
Nancy terusir. Oliver menyuruh Nancy pulang, dengan kesal dia melempar High Heels nya ke sembarang tempat di dalam apartment. Begitu masuk ke kamar, terlihat Chris sudah ada di sana. Iya, Chris adalah musuh bebuyutan Oliver. Orang yang telah membayar geng untuk menyerang dan melukai Oliver di villa. Melihat Chris, Nancy langsung tersenyum, lalu duduk dipangkuan Chris dengan manja.
"Sayang, Oliver menyebalkan!"
"Dia kenapa?"
"Dia tidak mempedulikan Aku, dia bahkan tak pernah mau tidur denganku, kau percaya itu?"
Chris menyelipkan tangannya, ke dalam rok mini Nancy. "Kau kesepian ya?" Nancy mengangguk, sambil menunjukkan wajah cemberut yang dibuat-buat.
"Kenapa waktu itu serangannya gagal? padahal sudah kuberi informasi villa dengan benar."
"Dia hanya beruntung, lain kali aku akan menghajarnya untukmu." Chris membaringkan Nancy lalu meremas d*da Nancy.
"Benarkah? kau akan menghajarnya? hajar dia sampai babak belur." Nancy merangkul pundak Chris. Chris tersenyum, lalu mengangguk. Tangannya terus saja meremas d*da Nancy, sementara tangan lainnya memasuki celana dalam Nancy dan mengelus-elus area sensitif Nancy.
"Ahh ... iya sayang ... disana ... disana enak ... mmm ...."
To Be Continue