Chapter 8 : Samantha

787 Kata
“Dasar cowok b**o!! Buka mata yang bener. Jangan ngelindur, dong!!” bentak Sam kesal.   Adi mengerjapkan matanya beberapa kali dan betul-betul yakin kalau penglihatannya tidak salah. Sejauh yang ia sadari, dirinya terlentang di atas lantai hanya mengenakan celana pendek dan cowok itu sedang mengelap tubuhnya dengan handuk hangat dengan posisi membungkuk di atasnya.   Tubuh mereka begitu dekat. Apa lagi yang bisa dipikirkannya? Hari ini betul-betul sial. Kalau ada cowok yang ingin memperkosanya saat ini, hal itu bukanlah mustahil.             “Nih, pake,” kata Sam melemparkan handuk yang dipegangnya. Cowok b******k. Sudah membuatnya repot di malam hari, sekarang menuduhnya yang bukan-bukan. Memang segitu sintingnya dia hingga ingin memperkosa cowok?             Cowok itu masih mematung, menatap Sam penuh curiga.   “Baju kering. Aku ambil dari dalam tas kamu. Abis kamu pingsan kelamaan,” kata Sam melemparkan sebuah kaus dan celana pendek dari dalam tas. Sekilas ia sudah sempat memeriksa tas cowok itu.   Paling tidak dari isinya, Sam bisa memastikan kalau cowok ini bukan rampok atau semacamnya. Tampaknya ia memiliki cukup uang di dompetnya dan ada kartu kredit serta kartu debit bank yang cukup ternama. Yang jelas tidak masuk kategori gelandangan.   Dari KTPnya, cowok ini tinggal di Pondok Indah. Lumayan kaya. Tapi, ngapain dia malam-malam begini ada di sini? Mana mungkin nyasar?             Adi menangkap baju yang dilemparkan cowok pemilik rumah padanya, lalu dengan tergesa-gesa mengenakannya. Sekarang yang terpikir olehnya saat ini adalah bagaimana cara menghabiskan waktu tanpa harus memperburuk keadaan. Ia sama sekali tidak ingat bagaimana ia bisa terdampar di dalam rumah ini.   Apakah cowok ini menemukannya di tengah jalan atau... entahlah Adi sama sekali tidak ingat. Kepalanya terasa nyeri berdenyut-denyut.   Ketika tamunya setengah melamun, Sam menyodorkan secangkir teh panas yang baru saja diseduhnya. Ia juga menyeruput teh yang sama di cangkirnya.   “Minum dulu, biar hangat. Nanti jangan lupa minum obat flu,” kata Sam pendek.   Adi mengambil teh itu, mengangguk sambil menggumamkan kata terima kasih, lalu meminumnya perlahan. Tubuhnya jauh lebih hangat sekarang.   Sam duduk di depan tamunya sambil minum dari cangkirnya perlahan-lahan. Ia menunggu cowok itu menjelaskan sesuatu padanya, namun ternyata tidak. Cowok ini jauh lebih pendiam dari yang ia kira. Mungkin dialah yang harus memulai pembicaraan lebih dahulu, sebagai tuan rumah.   “Jadi, kamu mau apa di sini? Kalau mau menginap semalam aja sih ga usah bayar. Tapi, kalau mau ngekos, biayanya lima ratus ribu sebulan. Udah murah, harga pas. Bawa komputer atau elektronik harganya nambah lagi. Kalau mau nyuci ada cuci kiloan deket-deket sini. Cari makan juga gampang. Air galon bisa patungan. Beli sendiri juga boleh. Kulkas disediain. Kalau mau masak juga bisa tapi gasnya patungan,” kata Sam tanpa basa basi.   Adi melongo memandang cowok yang ada di depannya. Oh, ia baru saja teringat. Sesaat sebelum pingsan, ia masih sibuk mengebel rumah ini karena melihat papan pengumuman kos-kosan. Jadi, cowok ini pemiliknya. Berarti, dia telah ditolong masuk olehnya. Mengingat hal itu, Adi jadi malu sendiri. Pikirannya berprasangka terlalu jauh.   “Sori, tadinya saya kira ketangkap cowok gay. Kalau boleh saya mau ngekos di sini. Sebentar saya ambil dompet dulu,” kata Adi sambil mengaduk-aduk isi tasnya, namun tidak menemukan dompetnya. Ia kemudian meraih celananya yang basah kuyup di lantai dan merogoh sakunya, namun dompet itu tidak ditemukan juga.   “Nih, dompet. Makanya jangan pingsan di tengah jalan, dong. Dirampok orang, apes nanti. Namanya juga Jakarta,” kata Sam sambil melemparkan dompet yang sejak tadi dipegangnya di bawah tatakan cangkir.   Tamunya melihat Sam dengan curiga, lalu membuka isi dompetnya dengan khawatir.   “Tenang aja. Nggak ada yang hilang, kok. Gue cuma ngecek kamu siapa. Mana ada yang mau masukin rampok ke dalam rumah sendiri kan?” kata Sam tersenyum meringis.             Adi tersenyum tidak enak. Ia membuka dompetnya dan menemukan segalanya masih utuh tanpa kurang sedikitpun. Puuuh... ia menarik napas lega. Dikeluarkannya uang sebesar lima ratus ribu dari dalam dompetnya dan memberikannya kepada si pemilik rumah. Cowok itu mengambilnya dan menghitungnya dengan cermat.             “Oke, berarti mulai hari ini kamu resmi ngekos di sini. Ayo, gue tunjukin kamarnya. Oh, ya, nama gue Samantha. Tapi kamu boleh panggil gue Sam,” jawab cowok si pemilik rumah.             “Nama saya Adi. Kamu Samantha? Nggak salah? Samuel kali,” bantah Adi tidak mempercayai pendengarannya.             “Enggak, tuh. Nama gue Samantha. Gue cewek,” jawabnya singkat, lalu mengangkat barang milik Adi.             Adi melongo. Cewek. Cewek. Jadi, dari tadi ia terus salah mengira. Ia tersenyum, lalu akhirnya tertawa, tertawa sampai puas. Menertawakan dirinya. Bodoh. Benar-benar bodoh. Sejak tadi ngapain dia ketakutan nggak jelas? Cewek. Orang yang menolongnya adalah cewek.             Cewek... cewek??? Astaga... ceweeek!!!!             “Wuaaaaa!! Elo, cewek, berani-beraninya nelanjangin gue!!” jerit Adi panik, malu setengah mati.             “Diem! Gue nggak napsu ngeliat bodi lo,” jawab Sam tidak peduli.             “Oh, gitu ya...” sahut Adi syok.             “Udah, jangan berisik. Ini kamar elo. Gue mau tidur sekarang. Badan kayak gitu aja dibanggain. b*****g aja nggak bakalan pengen perkosa elo,” kata Sam dongkol, masuk ke kamarnya dan membanting pintu.             Tinggal Adi berdiri di luar dengan ternganga, melongo kaget.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN