Chapter 7 : Pertemuan

451 Kata
Sam akhirnya berhasil menemukan sebuah payung yang masih berfungsi baik di antara payung-payung yang sudah rusak. Rumahnya memang sangat berantakan. Ia bukan orang yang rapih dalam membereskan barang.   Sudah berapa lama si penelepon tadi menunggu? Mungkin sekitar 10 menit. Bukan waktu yang lama. Namun rasanya seabad bagi orang yang berdiri dengan putus asa di tengah hujan deras. Sam bergegas mengambil sandal, dan membuka kunci rumah. Cowok tadi sekarang tergeletak tak berdaya di depan pintu pagarnya.             Gawat!   Jangan-jangan cowok itu pingsan. Atau, lebih parah lagi... sekarat!!             Apa yang harus dilakukannya? Sam menelan ludah. Ia tentu tidak ingin dirinya masuk koran. Ia sudah bisa membayangkan headline koran besok pagi.             DITEMUKAN MAYAT PRIA DI DEPAN RUMAH KOS! DIDUGA IA MATI KEHUJANAN KARENA TIDAK DIBUKAKAN PINTU. APAKAH INI SALAH SATU FENOMENA KEKEJAMAN KOTA JAKARTA?             Tidak. Tidak. Tidak. Hal itu tidak boleh terjadi!             Sam buru-buru membukakan pintu. Cowok itu tidak bereaksi mendengar pintu pagar rumah dibuka. Dengan hati-hati, Sam menghampiri cowok itu dan mendekatkan jarinya ke lubang hidung calon mayat di depannya. Tolonglah! Jangan sampai dia mati. Paling tidak, jangan mati di depan pintu pagar rumahku, batin Sam.             Aliran udara yang keluar masuk di hidung pria itu terasa pelan di jari Sam.   Bernapas! Bernapas! Orang ini masih bernapas! Oh, syukurlah!   Sam menepuk-nepuk pipi orang itu dengan kasar, berharap bisa membangunkannya dari pingsan.   “Mas, mas!! Bangun, mas!! Mas!! Mas!! Bangun!!” seru Sam berulangkali.   Meskipun sudah ditampar berkali-kali sepertinya orang itu tidak sadar juga. Waduh! Terpaksa. Tidak ada cara lain. Sam membuka pintu pagarnya lebar-lebar, memegang payungnya di satu sisi, dan memapah tubuh cowok itu dengan tangan lainnya. Lalu, dengan setengah menyeret, Sam membawanya masuk.   Akhirnya setelah beberapa kali bolak balik dengan menguras tenaga, akhirnya Sam berhasil membawa cowok itu beserta barang-barangnya. Benar-benar malam yang melelahkan. Tangannya mati rasa. Badannya setengah basah kuyup. Sam pergi mengambil handuk untuk mengeringkan bagian tubuhnya yang basah, lalu mulai menyeduh teh. ******************   Adi terduduk selama beberapa saat. Tenaganya terasa menguap. Semua kejadian yang dialaminya hari ini benar-benar telah membuatnya merasa lelah. Kalaupun harus mati pun kini ia tidak peduli. Kepalanya terasa sakit berdenyut-denyut. Rasa kantuk menyerangnya. Badannya terasa dingin. Ia memejamkan matanya dan dalam sekejap ia tertidur. Tubuhnya terayun-ayun seolah-olah melayang di sumur tidak berdasar.   Samar-samar ada sesuatu yang hangat menyentuh Adi. Mula-mula di wajahnya, lalu di tubuhnya. Sesuatu telah mengusir rasa dingin dari tubuhnya dan menggantinya dengan kehangatan.   Perlahan-lahan Adi membuka matanya. Penglihatannya mengabur. Ia menyentuh hidungnya. Kaca matanya tidak terletak di tempat seharusnya berada, di depan kedua matanya. Di mana kaca matanya? Adi meraba-raba ke sekelilingnya dan menemukan kaca mata itu persis di sampingnya.   Ia memakai kaca matanya dan menyadari situasi yang sedang terjadi pada dirinya. Dalam sekejap ia merasa sangat malu, sekaligus panik.   “Ja... jangan... saya bukan gay,” kata Adi ketakutan seraya merangkak menjauh.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN