“Lo pucet banget. Sini duduk dulu,” kata Adi menghampiri Sam dan meraih lengannya.
“Gila, badan lo dingin banget. Ini keringet dingin! Udah deh, nggak usah masuk kerja,” kata Adi sambil memapah Sam ke sofa terdekat.
Sam berjalan tertatih-tatih ke sofa terdekat, dan berjongkok di dekatnya. “Nggak... ada deadline... gue... butuh obat...musti ke warung...”
Sam merebahkan kepalanya di atas sofa, sambil berjongkok di atas lantai. Posisinya setengah menungging demi menahan sakit yang luar biasa.
“Ya udah. Gue yang beliin deh. Obat apa biasanya?” tanya Adi semakin khawatir.
“Obat... nyeri haid,” jawab Sam menahan sakit.
“Oke, obat nyeri haid. Apaaa?” seru Adi terkejut. Matilah dia! Niatnya sih mau menolong. Tapi kalau obat nyeri haid dibeli laki-laki rasanya agak gimanaa... gitu... Yah, paling nggak, Adi jengah kalau harus beli obat khusus wanita begitu. Di wajahnya muncul keraguan. Sam menangkap kejengahan itu dari wajah Adi. Ia berusaha bangkit dari sofa, namun dicegah.
“Jangan berdiri dulu. Elo duduk dulu di sana. Gue ambilin teh hangat dulu. Tadi gue udah bikin seteko,” kata Adi sambil bergegas mengambil secangkir teh hangat dan menyodorkannya pada Sam. Cewek itu meminumnya pelan-pelan. Keringatnya masih mengucur deras. Sofa jadi basah karenanya.
“Udah, kalo elo malu belinya, biar gue aja. Nggak apa-apa, kok. Udah biasa. Tiap bulan emang begini,” kata Sam mencoba tersenyum, meskipun jelas-jelas masih menahan sakit.
Adi malah jadi tidak enak hati. Jengah sih jengah. Tapi masa sebagai laki-laki dirinya tega membiarkan cewek yang sedang kesakitan di depan matanya? Apalagi cewek ini sudah menolongnya mencarikan kerja saat ia kesusahan. Sebagai teman, rasanya tidak bijaksana kalau ia tidak menolong di saat begini.
“Udah, biar gue yang beli. Elo di sini aja,” kata Adi sambil mengambil uang ke dalam kamar. Ia keluar lagi dengan uang di tangan.
“Thanks, ya Di. Sekalian beliin gue pembalut, dong. Yang ada wingnya, ya. Punya gue habis,” kata Sam sambil memejamkan matanya di dudukan sofa.
Eeeeeh???
Langkah kaki Adi terhenti.
Pem... ba... lut???
Apa telinga Adi tidak salah dengar?
Cowok... pergi beli pembalut????
Adi langsung membeku di tempat.
Mampus.
Pergi... jangan... kasihan... tapi malu... pergi... jangan...
“Kenapa, Di? Kok masih belum jalan?” tanya Sam.
“Eee... iya... mau pergi,” kata Adi buru-buru pergi.
Kepalang tanggung. Sudah terlanjur janji. Dasar b**o. Malu, deh. Malu, deh. Malu. Malu. Malu. Malu.
Adi pergi cepat-cepat hingga warung terdekat.
Seumur-umur dia belum pernah pergi beli pembalut. Lagian, cowok mana yang nggak malu beli pembalut?
Adi mematung sejenak di depan warung, ragu-ragu untuk bertanya. Si pemilik warung, seorang ibu-ibu separuh baya tampak heran melihat Adi diam saja di depan gerobaknya.
“Mau beli apa, Mas?” tanya si tukang warung.
“Anu... itu... mau beli... itu...” kata Adi tidak jelas.
“Anu itu apa? Nggak jelas,” kata si tukang warung bingung.
Beberapa orang lewat di depan warung. Sepertinya anak kuliahan yang ngekos dekat-dekat sini.
Adi menahan napas. Ia menunggu sampai rombongan anak kuliahan itu berlalu dari hadapannya. Setelah sepi, Adi mendekatkan wajahnya ke ibu-ibu tukang warung dan berbicara pelan sekali.
“Itu... Bu... pembalut wanita...” bisik Adi.
“Apaaa? Nggak kedengeran!!” teriak si tukang warung sambil memuncratkan ludahnya ke wajah Adi.
Adi langsung menjauh. “Sial, pagi-pagi udah kena semprotan ludah,” batinnya.
Ia berusaha berbicara lebih keras, “Pembalut wanita...” bisiknya.
“Apaaa? Garukaan? Di sini nggak jual, Mas!!” kata si tukang warung.
Aduuuh, Adi benar-benar jengkel. Dasar b***k!!
“Pembalut wanita!!!” teriak Adi keras.
Tepat saat itu beberapa wanita berpakaian blazer kantoran, muncul dari belokan gang.
Breeeng!! Muka Adi langsung merah padam.
“OALAAAAH!!! BILANG DARI TADIII, DONG!!! MAS MAU BELI PEMBALUT WANITA, YA? SAYA JUAL, KOK!! MAU YANG MANA? YANG MAKSI ADA. YANG REGULER ADA. YANG PAKE WING JUGA ADA,” kata si tukang warung dengan suara yang saking kerasnya bisa terdengar sampai ke ujung jalan.
Cewek-cewek kantoran itu sampai kaget mendengar suara si ibu tukang warung. Mereka berusaha menahan tawa, lalu saling berbisik, sambil memperhatikan Adi dengan ekspresi aneh.
Yeah, Right! Sekarang Adi benar-benar malu sekarang. Rasanya ia ingin ngumpet di dasar bumi sekarang juga. Ia menunduk dalam-dalam, berusaha menyembunyikan wajahnya yang mirip kepiting rebus.
“Jadi mau yang mana, Mas?” tanya si ibu tukang warung sekali lagi.
Cewek-cewek itu sudah sampai di ujung jalan sekarang. Adi melirik untuk memastikan kepergian mereka dengan tegang. Tiba-tiba terdengar suara tertawa terbahak-bahak di ujung jalan. Pasti cewek-cewek itu. Mereka pikir suara tawa mereka tidak bakal kedengaran oleh Adi. Mereka salah besar. Benar-benar salah besar!
Adi benar-benar malu banget. Hari ini baru saja di mulai tapi ia sudah jadi bahan tertawaan. Yeah, Right!! Benar-benar pagi yang indah!
“Yang wing, cepetan.”
“Ini Mas, belanjaannya,” kata Ibu tukang warung.
“Sekalian, obat nyeri haid,” kata Adi tergesa-gesa.
Ibu tukang warung itu mengambilkan obat yang diminta Adi.
“Kantongnya dong, Bu. Yang warnanya item,” kata Adi tak sabaran.
“Aduh, habis Mas. Belum beli lagi. Maap, saya nggak punya kantong,” jawab si ibu tukang warung.
Bener-bener sial! Masa dia harus bawa-bawa pembalut wanita di tangan sepanjang jalan. Mana barangnya gede lagi. Nggak bisa di kantongin!
“Aduuuh, gimana sih, Bu?” kata Adi merogoh sakunya, buru-buru menyerahkan uang dua puluh ribuan. Tanpa basa basi lagi, ia langsung pergi tergesa-gesa meninggalkan warung. Jalanan di gang semakin ramai dengan orang yang hendak pergi ke kantor atau kuliah. Adi berjalan semakin cepat.
“MAAS!!! MAS YANG BELI PEMBALUT WANITA!!! KEMBALIANNYA, MAS!!!” tiba-tiba terdengar teriakan keras dari si tukang warung.
Spontan orang-orang berhenti melangkah dan melirik benda berwarna merah jambu yang ada di tangan Adi. Mereka lalu saling berbisik satu sama lain. Beberapa cowok kantoran mulai cekikikan sambil menunjuk-nunjuk.
Keterlaluan!!
Adi malu banget. Bukannya berbalik, ia malah semakin mempercepat langkahnya. Pergi sejauh mungkin.
“MAAAS!! KOK MALAH LARI?? KEMBALIAN PEMBALUTNYA BELUM DIAMBIL!!! MAAAAS!!!” jerit si tukang warung semakin keras.
Adi yakin semua orang mendengarnya. Adi juga yakin semua orang pasti sedang menatapnya. Larinya jadi semakin cepat. Andaikan ia bisa lenyap ditelan bumi.
Nggak lagi-lagi, deh!! Nggak lagi-lagi deh Adi beli pembalut wanita!!
Sialan!!!!