"Nih, belanjaannya,” kata Adi begitu sampai di rumah.
“Kok, ngos-ngosan begitu?” tanya Sam heran.
“Udah jangan banyak tanya. Cepet diminum,” kata Adi jengkel. Ia mengambil gelas dan minum air banyak-banyak untuk menenangkan diri.
“Iya, jangan galak-galak dong sama orang sakit,” gerutu Sam, sambil menyobek pembungkus obat dan meminumnya langsung sekaligus dua tablet.
“Udah mendingan?” tanya Adi.
“Ya, belum. Mana mungkin kilat sih efeknya. Paling sekitar satu jam lagi baru mendingan,” kata Sam lemas.
“Nggak usah ngantor aja,” kata Adi.
“Mana bisa? Kerjaan lagi numpuk. Nggak apa-apa,” kata Sam sok kuat.
“Ya, udah. Ntar gue yang boncengin lo sampai kantor, deh. Sekarang mandi dulu aja. Terus makan,” kata Adi.
“Makan dari mana?” kata Sam, sambil berusaha berdiri, lalu perlahan-lahan menuju kamar mandi.
“Gue yang bikin. Elo mau apa?” tanya Adi.
“Apa aja. Terserah,” kata Sam menutup pintu.
Adi menyalakan kompor dan menuang minyak sayur. Dipecahkannya dua telur dan digoreng. Ia mengambil nasi yang sudah dimasaknya tadi dan memasukkannya ke wajan. Diambilnya bumbu masak, garam, lada, sedikit sayuran, dan potongan baso. Diaduknya semua menjadi satu. Untung dia punya hobi masak.
“Di, thanks ya dibeliin obat sama pembalut,” seru Sam dari dalam kamar mandi.
“It’s okay. Tapi gue nggak mau beliin lagi besok-besok,” seru Adi sambil mengaduk-aduk nasi gorengnya di wajan.
“Kenapa?” tanya Sam.
“Malu-maluin!!!” seru Adi.
“Kalo gitu mustinya gue aja yang ke warung,” kata Sam dari dalam kamar mandi.
“Tadi kan, darurat. Mana gue tega? Lain kali gue ingetin tiap bulan, biar nggak ada kondisi darurat kayak gini,” seru Adi sambil mematikan kompor. Begitu matang, Adi membaginya sama rata di dua buah piring.
Sam keluar dari kamar mandi dengan rambut basah.
“Makan dulu. Nasi gorengnya udah siap,” kata Adi.
“Wah, thanks,” kata Sam sambil mengambil sendok dan mencicipinya sedikit.
“Gimana?” tanya Adi.
“Enak. Pinter masak, lo, ternyata,” puji Sam.
“Siapa dulu, dong. Gueee,” kata Adi sedikit menyombongkan diri.
Sam duduk di meja makan dan mulai makan dengan lahap. Adi merasa senang. Ia duduk di meja makan dan memakan bagiannya. Kejadian memalukan barusan benar-benar menguras energinya. Rasanya ia bisa menelan anak sapi sekarang juga.
“Habis. Enak banget. Gue siap-siap dulu, ya,” kata Sam puas. Sepertinya rasa nyeri perut yang dialami sudah mereda. Meskipun demikian ia tidak tampak terlalu sehat.
“Gue ganti baju. Hari ini biar gue anterin,” kata Adi.
“Terus pulangnya gimana?” tanya Sam.
“Gampang. Kendaraan banyak. Cepetan ganti baju,” kata Adi.
Akhirnya Sam baru sampai di kantor sekitar jam setengah sepuluh pagi. Nugraha juga terlihat baru datang.
“Oi, Sam. Tumben dianter. Siapa?” tanya Nugraha cengar-cengir sambil melirik ke arah Adi.
“Temen kos,” jawab Sam singkat.
“Temen atau temen,” ledek Nugraha iseng.
“Temen kos,” jawab Sam.
“Ngibul, ah. Lo kan punya rumah. Ngapain ngekos?” tanya Nugraha.
“Reseh, lo. Dia ngekos di rumah gue. Sejak bulan lalu gue buka kos-kosan,” kata Sam jengkel.
Nugraha bersiul jahil. “Wow, cinta di kamar kos. Berita besar!” ledek Nugraha.
“Diem lo. Reseh. Jangan macem-macem, deh,” balas Sam sambil menjulurkan lidah.
“Kisah cinta Sam, si cewek tomboy!!” ledek Nugraha terus sambil masuk ke dalam gedung.
“Eh, jangan nyebar berita yang bukan-bukan. THANKS YA, DI!!” seru Sam, sambil buru-buru bergegas menyusul Nugraha, yang terus cengengesan sambil masuk lift.
Adi hanya nyengir kuda. Yang penting temannya sudah tampak lebih sehat daripada tadi pagi. Ia melangkah keluar area kantor menuju jalan raya, dan mencari kendaraan umum untuk pulang.