Chapter 13 : Sakit Perut

596 Kata
Sam sibuk mengutak-atik desain layout untuk iklan poster yang dibuatnya di layar komputer. Beberapa program dibukanya sekaligus, termasuk Freehand dan Fotoshop. Kali ini kliennya adalah pasta gigi Closer, yang target pasarnya adalah remaja. Seperti biasa, hari ini ia pulang malam lagi. Ia melirik jam dinding.   Pukul delapan malam. Mungkin Adi sudah selesai memberi kursus. Ia meraih ponsel yang tergeletak di mejanya dan menelepon. Ternyata lancar. Syukurlah. Sam kembali mengutak-atik pekerjaannya sampai larut malam.             Pukul dua belas malam, Sam baru sampai di depan rumahnya. Ia mengeluarkan kunci gembok dan membuka pintu pagarnya perlahan. Lampu ruang tengah masih menyala. Ia memarkir motornya, mengunci pintu, lalu mengeluarkan kunci pintu rumah.             Di dalam rumah, Adi masih sibuk mengetik di depan laptopnya. Ia tampak bersemangat sekali. Sam melepaskan sepatu ketsnya dan menaruhnya di rak sepatu. Ia melepas kaus kaki dan menaruhnya di keranjang cucian kotor.             “Baru pulang?” tanya Adi, menyadari kehadiran Sam. “He-eh,” jawab Sam. “Mau langsung tidur?” tanya Adi lagi.             “Iya, capek banget. Ngomong-ngomong lantainya bersih amat. Lo bersihin?” tanya Sam sambil menguap.             “Iya, gue sapu, terus gue pel. Kan lebih enak kalau bersih. Besok gue mau ke binatu. Mau titip cucian kotor?” tanya Adi.             “Boleh, thanks ya,” kata Sam. “Sama-sama,” jawab Adi.   “Gue mau tidur sekarang. Besok bangunin gue jam delapan, ya. Yuk, duluan,” kata Sam berlalu masuk ke kamarnya dan dalam hitungan detik sudah tertidur nyenyak.             Adi tersenyum. Ia memang sengaja menunggu Sam pulang. Tapi, nampaknya Sam tidak sadar. Tidak apa-apa. Itu hanyalah inisiatif yang muncul dari rasa kesetiakawanannya. Dengan gerakan cepat, Adi menyelesaikan kalimatnya, lalu mematikan laptop. Setelah memeriksa dan memastikan semua jendela dan pintu terkunci dengan benar, Adi mematikan semua lampu, dan pergi tidur. *********             Tok tok tok...             “Sam, bangun dong! Udah jam delapan nih! Mau tidur sampai kapan?” seru Adi dari luar kamar dengan ribut.             Sam menggeliat bangun dengan malas. Kepalanya terasa pusing. Badannya pegal sekali.             “Sam, nanti telat!!! Bangun, oi!!!” seru Adi semakin tidak sabaran.             Dengan jengkel Sam memaksa dirinya untuk duduk di ranjang. Ia berdiri dan membuka pintu sambil setengah terhuyung-huyung.             “Mandi sana!!” kata Adi.             Sam terhuyung-huyung mengambil pakaian dan handuk. Perutnya terasa nyeri. Aduh, jangan-jangan haid! Ia pergi ke kamar mandi dan memeriksa celana dalamnya. Benar.             Celaka! Saat banyak pekerjaan begini, dia malah datang bulan. Hari pertama datang bulan selalu menjadi siksaan bulanan yang tidak tertahankan baginya. Perutnya terasa nyeri sekali hingga seharian penuh biasanya keluar keringat dingin . Ia sampai jungkir balik menahan sakit.   Sam keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamar, mencari pembalut wanita. Sial, di saat begini benda itu seolah menghilang melarikan diri. Akhirnya yang berhasil diperoleh Sam setelah mengaduk-aduk lemari sekitar sepuluh menit hanyalah bungkus kosong yang tidak ada isinya.   Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Sam kembali mengaduk-aduk lemari obat dan tas yang dimilikinya. Bahkan obat penghilang nyeri haid pun tidak dimilikinya. Terpaksa. Harus pergi ke warung.             “Di... gue... ke wa... rung... bentar... ya...” kata Sam gemetaran. Keringat dingin sebesar butiran jagung mengalir deras dari permukaan wajahnya.             “Lo kenapa?” tanya Adi khawatir. Wajah Sam terlihat pucat pasi di matanya.             “Sakit perut,” jawab Sam lirih. Perutnya semakin nyeri. Ia duduk berjongkok memegangi perutnya sambil mengigit bibir, menahan sakit.             “Mau diare? Gue ada obat diare nih,” kata Adi.             Sam menggeleng. “Bukan diare,” jawabnya semakin lirih. Keringat dingin semakin membanjir dan menetesi lantai. Ia memegangi perutnya dengan satu tangan, dan berpegangan pada lantai dengan gemetar.             Adi jadi ngeri melihatnya. Belum pernah ia melihat orang sakit perut sampai sebegitu menderitanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN