Hari ini adalah hari pertama Adi mengajar kursus. Berkat Sam, ia memperoleh sepuluh murid sekaligus dalam lima kali jadwal. Dua murid perhari, seminggu sekali, dari hari Senin sampai Jumat, jam setengah lima sore sampai jam tujuh malam. Lumayan. Letak rumah murid-murid itu tidak terlalu jauh. Di bilangan bukit duri dan daerah kampung melayu.
Dengan honor lima puluh ribu rupiah per anak untuk sekali kedatangan, Adi bisa mengantongi sekitar dua juta rupiah per bulannya. Memang jauh lebih sedikit dibandingkan gajinya dahulu sebagai staf senior akuntan publik yang sudah dijalaninya selama empat tahun, tapi jumlah itu sudah cukup untuk membiayai hidupnya sekarang secara sederhana.
Adi juga punya cukup waktu untuk menulis apa saja yang disukainya. Untuk pertama kali dalam hidupnya Adi merasa b*******h. b*******h karena hidupnya tak diatur-atur lagi.
Adi turun dari mikrolet, lalu menyusuri gang demi gang dengan naik ojek. Sebelumnya, mana mau ia naik kendaraan umum? Panas, berdesak-desakan, ngantrinya lama, tidak nyaman, belum lagi banyak copet atau pengamen.
Hampir seumur hidupnya ia naik kendaraan pribadi. Yah, kadang-kadang ia naik kendaraan umum juga. Tapi itu dulu, saat tahun pertama masuk kuliah. Itu pun karena senior di kampus melarang anak baru membawa mobil sendiri atau diantar jemput.
Sebagai seorang anak pemilik perusahaan, dan juga anak semata wayang, tentu saja Adi diharapkan meneruskan bisnis keluarganya yang sudah dirintis dengan susah payah oleh ayahnya. Bukannya Adi tidak ingin menyenangkan hati kedua orang tuanya. Sama sekali bukan. Tapi, ia merasa hidupnya sejak kecil terlalu teratur. Keinginannya seringkali diabaikan. Seumur hidupnya ia menjadi anak patuh dan penurut. Hidupnya selalu sesuai kehendak orang tuanya. Seolah, hidupnya bukanlah miliknya.
Makanya satu kali saja. Satu kali saja dalam hidupnya, Adi berharap keinginannya didengarkan dan dikabulkan. Sederhana. Ia ingin menjadi penulis. Namun, bukan dukungan yang diperolehnya melainkan ejekan dan makian.
Di rumah, kalau saja sang ayah memergokinya sedang menulis, maka tulisan itu dengan segera dirobek-robek. Laptopnya juga secara berkala di periksa. Betul-betul mengerikan. Hidup Adi makin tersiksa sejak ia masuk kerja di akuntan publik. Waktu berjalan begitu cepat. Pekerjaan demi pekerjaan datang bertubi-tubi. Hari-hari dilaluinya dengan lembur. Sangat sering ia pulang pagi karena pekerjaan.
Bahkan pernah suatu hari Adi lembur nonstop sampai jam sembilan pagi keesokan harinya. Mana sempat melakukan hal lain? Ia dituntut untuk bekerja sebaik-baiknya karena pemilik akuntan publik ini adalah teman dekat ayahnya. Nama baik ayahnya dipertaruhkan di sana. Terpaksa. Dengan berat hati Adi harus berperan sekali lagi menjadi anak yang baik. Anak yang penurut.
Huh! Kapan Adi bisa memperoleh kebebasannya? Umurnya sudah dua puluh enam tahun. Namun, ia tidak punya kuasa untuk menentukan hidupnya sendiri. Hidupnya seperti robot. Salah. Mungkin, ia bahkan tidak pernah menikmati arti hidup yang sesungguhnya.
“Udah sampe, Mas,” kata si tukang ojek membuyarkan lamunan Adi.
Adi bergegas turun dari ojek dan mengeluarkan uang lima ribuan. Ia mencari nomor rumah yang dituju dan mengebel.
Seseorang membukakan pintu.
“Siapa, ya?” tanya seorang ibu paruh baya.
“Maaf, rumahnya Ibu Dori? Saya Adi, guru privat pelajaran,” balas Adi sopan.
“Oh, ya. Temannya Pak Suryanto, ya?” tanya ibu itu lagi.
“Iya, Bu,” balas Adi sambil mengingat-ingat nama temannya Sam.
Ibu itu membukakan pintu dan mempersilakan Adi masuk. Ia lalu pergi ke dalam rumah, memanggil anak-anaknya. Sepasang anak laki-laki keluar dari kamarnya sambil membawa buku pelajaran dan kertas. Keduanya anak SMU yang duduk di kelas satu dan dua.
“Ini anak-anak saya. Yang besar namanya Paulus, yang kecil namanya Petrus,” kata Ibu Dori.
Kedua anak itu mengulurkan tangan, memberikan salam. Adi tersenyum dan menjabat tangan mereka satu persatu.
“Kalau begitu saya tinggal dulu, Pak Guru. Silakan dimulai pelajarannya,” kata Ibu Dori mohon diri.
“Oh, ya Bu. Silakan,” kata Adi.
Kedua anak laki-laki itu duduk di hadapan Adi dan mulai membuka bukunya.
“Mau belajar apa hari ini?” tanya Adi.
“Kimia,” kata keduanya berbarengan.
Tak lama kemudian mereka sudah sibuk berkutat dengan soal-soal kimia. Adi sama sekali tidak mengalami kesulitan menerangkan kedua anak tersebut. Untunglah. Mulanya ia sempat khawatir kalau-kalau tidak bisa menjadi guru yang baik. Maklum, sudah bertahun-tahun yang lalu ia duduk di bangku SMU jurusan IPA. Agak takut juga kalau-kalau pelajaran SMU sudah asing baginya sekarang. Namun, ternyata kekhawatirannya sama sekali tidak terbukti.
Semuanya berjalan lancar sampai dua jam kemudian. Adi pulang dengan wajah berseri-seri. Ternyata asyik juga. Pulangnya, ia mampir ke warung pinggir jalan untuk makan malam. Ketika itu ponselnya berbunyi nyaring. Sam.
“Gimana?” tanya Sam.
“Lancar,” jawab Adi.
“Baguslah. Ya, udah. Gue cuma mau nanya itu doang. Dah, ya. Gue mau kerja lagi,” kata Sam.
“Oke. Sam, thanks ya,” jawab Adi sungguh-sungguh.
“Alah, nyantai aja. Honor pertama traktir gue, ya,” kata Sam bercanda.
“Oke, bos,” sahut Adi tertawa.
Pekerjaan pertama beres.