“Sekarang, kita pergi beli sepatu pesta yang senada. Sekalian assesorisnya,” kata Fifi.
“Eh? Harus?” tanya Sam terkejut. Hal ini di luar perkiraannya.
“Ya, harus. Masa kamu mau pergi ke pesta pakai sepatu kets atau sepatu kerja. Yang bener aja. Feminin dikit, deh. Kita cari yang tidak terlalu mahal, ya,” kata Fifi.
“Ya, sudah. Tapi sepatunya jangan lebih dari tiga ratus ribu, ya. Udah paling mentok,” kata Sam pasrah.
“Oke, deh,” kata Fifi.
Setelah mengelilingi beberapa toko sepatu, akhirnya mereka berhasil menemukan sepasang sepatu berwarna biru donker, dengan hak yang tidak terlalu tinggi, mengingat Sam yang sudah cukup tinggi. Harganya sesuai budget. Dua ratus dua puluh ribu rupiah.
“Berikutnya tas,” kata Fifi.
“Oh, tidak,” keluh Sam tidak percaya. Belum pernah ia mengeluarkan uang sebanyak ini hanya demi tampil cantik di pesta. Boro-boro. Selama ini mana pernah ia kepikiran beli gaun? Sekarang sepatu? Terus tas? Berikutnya?
“Udah, jangan macem-macem. Masa ke pesta pake tas ransel? Aku cariin toko yang murah. Jangan protes lagi, oke?” ancam Fifi.
Sam terpaksa menurut. Mungkin sebentar lagi dunia bakal kiamat, kalau ia terus-terusan belanja seperti ini.
Fifi berhasil menemukan tas clutch dengan warna senada yang cocok dibawa ke pesta. Harganya pun cukup murah. Seratus ribu rupiah. Sekarang ia menarik Sam untuk mencari kalung imitasi yang cocok untuk leher Sam yang jenjang.
“Aduh, mewah amat. Gue mana punya uang cukup buat beli perhiasan?” keluh Sam mulai tidak senang.
“Kan imitasi. Nggak mahal-mahal, kok. Kamu tenang saja,” kata Fifi tersenyum. Mereka menuju ke bagian asesoris dan menemukan sepasang giwang jepit yang cukup manis, juga sebuah kalung imitasi.
“Coba, lihat. Manis, kan? Sayang leher dan telinga kamu nggak dikasih apa-apa. Nggak mahal-mahal, kok,” bujuk Fifi sambil mendorong Sam ke depan kaca.
Sam melihat kalung dan giwang itu bersinar cantik di telinga dan lehernya. Pantaskah ia? Rasanya aneh. Seperti itik buruk rupa mencoba-coba menjadi angsa.
“Sekarang jam berapa?” tanya Fifi.
“Jam setengah dua siang,” sahut Sam.
“Waduh, Kita harus ke salon untuk rambut dan wajah kamu. Kita harus cepet-cepet makan siang,” kata Fifi.
Mereka menuju kasir dan membayar semua asesoris yang sudah dipilih, lalu menuju foodcourt untuk makan.
“Nanti kamu nurut aja ya didandanin,” kata Fifi sambil menyuap gado-gado pesenannya.
“He-eh,” jawab Sam sambil menyeruput soto betawi.
Mereka menuju salah satu salon di mal.
“Rambutnya dikeramas dulu, Mas,” kata petugas cuci rambut.
“Mbak. Saya cewek,” kata Sam dengan suara beratnya.
“Duh, maaf...” kata petugas cuci rambut itu terkejut.
Setelah selesai keramas, Sam dibawa duduk di salah satu kursi dan menunggu hair stylist datang. Seorang pria feminin dengan rambut modis yang dicat warna pelangi datang mendekatinya.
“Halo Mas ganteng, mau diapain rambutnya?” tanya sang hair stylist dengan nada menggoda.
“Gue mau ke pesta kawinan. Rapiin yang bagus. Terserah. Pokoknya yang feminin,” kata Sam sambil menyerahkan nomornya.
“Maskulin kali maksudnya, Mas ganteng?” tanya sang hair stylist genit.
“Nggak. Gue bilang feminin. Jangan panggil-panggil gue Mas. Panggil gue Mbak,” jawab Sam tanpa basa basi.
“Aduuh, galak amat, ih. Mas sukanya yang feminin, ya sudah. Mau dipanggil Mbak juga nggak apa-apa,” kata sang hair stylist sambil bersenandung. Ia menyisir rambut Sam yang basah dan menaruh jepitan di sana-sini.
“Cowok ganteng akika punya...” senandung sang hair stylist.
“Mas, jangan macem-macem, deh. Urus aja tuh, rambut. Dan supaya jelas, gue tegaskan, gue cewek. Bukan cowok,” kata Sam ketus.
“Ya, ampyun. Cewek, toh. Saya kira laki-laki. Aduuuh, maaf, saya salah sangka,” kata sang hair stylist terkejut.
“Makanya, jangan bawel,” gerutu Sam.
Hair stylist itu tidak banyak bicara lagi. Ia mulai sibuk merapikan rambut Sam di sana sini.
Berjam-jam kemudian...
“Oke rambutnya sudah selesai. Gimana? Cantik, kan?” kata si hair stylist setelah beberpa jam kemudian, bangga dengan hasil kerjanya.
Sam melihat tatanan rambutnya yang sudah berubah. Ia tidak tahu harus berkata apa. Lumayan. Bagus. Mungkin. Entahlah. Kalau menyangkut dirinya, Sam selalu sulit menilai bagus atau tidak.
“Wah, cantik sekali, Sam. Sekarang tinggal make up,” seru Fifi yang datang mendekat.
“Nah, kan? Nanti ke kawinan pasti cantik. Nggak bakalan ketuker lagi sama cowok,” puji sang hair stylist.
Sam melotot dibuatnya. “Ap..mmhh!!!”
Belum sempat Sam berkata apa-apa, Fifi langsung membungkam mulutnya. Ia menyelipkan selembar uang dua puluh ribuan ke tangan hair stylist itu. “Makasih, ya, Mas.”
Hair stylist itu tersenyum, dan berlalu pergi.
Sam belum benar-benar memperhatikan perubahan dirinya, seorang beautician datang dan mendandani wajahnya. Ia hanya bisa diam dan pasrah. Sekitar sejam kemudian, segalanya selesai. Rambut dan wajahnya yang sudah didandani sangat tidak cocok dengan pakaiannya yang hanya berupa kemeja santai dan celana jins belel, dilengkapi sandal gunung.
Hari sudah sore ketika Sam sampai di rumah. Fifi membantunya mengganti pakaian dan memakaikan asesoris yang tadi dibeli.
“Selesai! Wah, cantik sekali,” pekik Fifi kegirangan.