Sabtu pagi, sekitar jam sebelas, sesuai rencana, Sam dan Fifi sudah berada di mal Taman Anggrek, di bagian gaun pesta. Fifi mengambil beberapa potong gaun dari rak lalu menarik Sam masuk ke dalam ruang ganti.
“Aku tunggu di luar. Coba pakai yang hitam, deh. Kayaknya manis,” kata Fifi meyakinkan.
Sam berganti di pakaian. Begitu selesai, ia langsung membuka pintu dan mengajak Fifi masuk.
“Wow! Kamu terlihat feminin dan seksi. Ambil saja,” usul Fifi.
Sam memandang dirinya di dalam kaca. Sosoknya yang kurus tinggi terbalut dalam gaun hitam berbelahan sangat rendah. Dadanya yang kecil hampir separuhnya terlihat. Punggungnya terbuka sampai ke pinggang. Gaun itu menutupi kakinya sampai mata kaki, namun bagian sampingnya membelah nyaris ke pangkal paha, memperlihatkan kakinya yang indah dan panjang.
“Gila, ini baju kekurangan bahan. Malu, ah,” kata Sam dengan muka memerah.
“Kenapa kamu malu? Coba lihat. Kaki kamu bagus. Potongan badan kamu bagus. Tunjukkin dong daya tarik kamu sebagai wanita,” bujuk Fifi.
“Jangan yang ini, ah. Nggak berani. Yang lain aja,” keluh Sam jengah.
“Ya, udah. Coba gaun yang lain. Aku tunggu di luar,” kata Fifi menyerah.
Sam bergegas mencoba gaun yang lain. Kali ini yang berwarna merah.
“Bagus. Kamu terlihat mewah,” kata Fifi.
“Jangan, ah. Warnanya terlalu menyolok,” ujar Sam.
“Ya, sudah. Coba yang lain,” kata Fifi.
Sekali lagi Fifi keluar dari ruang ganti dan menunggu Sam berganti baju. Ia melihat-lihat ke rak yang tidak terlalu jauh dan mengambil beberapa potong gaun untuk dicoba Sam.
Ceklek... terdengar bunyi pintu ruang ganti dibuka. Fifi bergegas kembali.
“Gimana? Kayaknya yang ini aku suka. Cukup rapi,” kata Sam tersenyum.
Fifi mengernyitkan dahi tidak setuju. “Jelek. Kayak nenek-nenek mau pergi ke pemakaman. Ganti,” tandas Fifi tanpa basa basi. Ia menyodorkan dua buah gaun yang baru saja diambilnya dari rak.
“Sini gaun-gaun yang kamu nggak mau. Aku balikin, sementara kamu coba yang lain,” kata Fifi.
Sam menyodorkan gaun yang sudah dicobanya dan menutup pintu kembali.
Fifi berjalan menghampiri pramuniaga. “Terima kasih, Mbak. Kurang cocok,” katanya sambil melempar senyum manis.
“Oh, ya. Nggak apa-apa Mbak,” sahut si pramuniaga.
Sam kembali membuka pintu.
“Fifi? Fifi kamu di mana?” bisik Sam mulai ribut.
Fifi berlari-lari kecil menghampiri Sam.
Sam mengenakan sebuah gaun hitam yang tampak manis di tubuhnya.
“Bagus sekali,” kata Fifi sungguh-sungguh.
“Iya, gue juga ngerasa begitu. Nyaman di badan. Lagian nggak terlalu kebuka,” kata Sam senang.
“Harganya udah sesuai budget?” tanya Fifi mengingatkan.
“Belum lihat,” kata Sam.
“Sini, aku lihat,” kata Fifi mendekat. “Satu juta delapan ratus enam puluh ribu,” gumam Fifi.
Sam langsung lemas. Kecewa. “Yah, Nggak kebeli, dong. Mahal banget. Gue nggak mau ngeluarin uang untuk baju semahal ini,” keluhnya.
“Ya, udah coba yang lain. Kan masih ada lagi,” hibur Fifi.
“Ya, deh,” sahut Sam.
Gaun yang dicoba berikutnya berpotongan kemben di bagian atas dan sedikit melebar di bagian bawah dengan bahan lemas. Ada belahan sampai dengkul di bagian bawah. Bagian atasnya dilengkapi dengan pasmina yang senada sehingga menutupi bagian atas yang terlalu terbuka, menurut versi Sam. Warnanya biru donker, membuat gaun itu tampil elegan.
“Manis. Berapa harganya?” tanya Fifi.
“Yang ini tujuh ratus tujuh puluh delapan ribu rupiah. Masih dalam kapasitas daya beli gue,” kata Sam.
“Ya, udah. Ambil saja. Kamu suka, kan? Aku juga suka. Pantes kok,” kata Fifi.
“Ya, sudah. Kalau begitu gue ambil yang ini,” jawab Sam lega. Ia sudah mulai putus asa mencoba gaun-gaun yang seakan berasal dari dunia lain.