Waktu menunjukkan pukul sembilan malam ketika Sam sampai rumah. Ia menenteng nasi bungkus miliknya. Adi dan Fifi sedang makan malam bersama sambil duduk selonjoran di depan televisi.
“Hei, Sam, baru pulang?” sapa Adi basa-basi.
“Iyalah, gila gue capek banget,” keluh Sam sambil melempar tasnya, lalu mengambil piring dan ikut bergabung.
“Makan apa, Sam?” tanya Fifi.
“Nasi padang. Beli di depan,” sahut Sam.
“Eh, hampir lupa. Nih, buat elo. Temen lo ya?” tanya Adi sambil menyodorkan kartu undangan pernikahan.
“Temen SMU. Dulu akrab. Katanya dia ngundangin semua teman SMU,” jawab Sam datar. Ia mengambil undangan itu dan membukanya dengan segan. Di dalamnya ada foto Sekar dan calon suaminya bersanding dengan mesra. Di tatapan mata mereka ada cinta. Sam tersenyum sedih. Jika menuruti kata hati, ingin sekali ia tidak datang. Tapi, tidak boleh. Sekar teman baiknya. Ia harus datang.
Sam membalik sampul undangan. Di situ tertulis “Samantha and partner”. Ia tertawa sinis. Partner... Ia tidak punya pasangan saat ini.
“Wah, Balai Sudirman, ya? Boleh juga temen lo. Tempatnya gede banget, lho. Mewah. Acaranya kapan?” tanya Adi.
“Lusa. Malam minggu,” sahut Sam lesu.
“Kenapa? Kok lesu? Nggak bisa hadir?” tanya Fifi lembut.
Sam menggelengkan kepalanya.
“Bukan. Bukan. Gue males dateng... tapi harus dateng...” kata Sam serba salah.
“Ada apa? Katanya lumayan akrab?” tanya Adi.
“Soalnya... pasti dia ada di sana...” sahut Sam dengan suara mencicit.
“Dia... dia siapa?” tanya Fifi ingin tahu.
“Dia... Denis... mantan gue...” sahut Sam akhirnya.
“Kan udah putus. Kenapa kalian dulu putus?” tanya Fifi.
“Denis ngeduain gue, pacaran sama cewek lain. Terus dia putusin gue,” kata Sam pedih. Ia sebenarnya sudah tidak mau mengingat-ingat peristiwa itu lagi.
“Emangnya putusnya kapan?” tanya Adi prihatin.
“Enam tahun yang lalu,” sahut Sam.
“Busyet!! Cowok enam tahun lalu masih dipikirin! Buang aja ke laut. Cari yang baru. Gue kira putusnya setengah tahun yang lalu,” sembur Adi tanpa basa basi.
“Tapi... dia satu-satunya cowok yang gue sayang, Di. Bahkan... bahkan sampe sekarang...” kata Sam terisak. Tangisnya pecah. Kalau membicarakan soal Denis, pasti dirinya menjadi cengeng. Sam tahu itu. Sam benci itu. Benci sekali.
“Sorii...” kata Adi menyesal.
“Sudah... sudah... sekarang Sam mau bagaimana? Kalau nggak bisa datang ya jangan dipaksa...” saran Fifi lembut.
Sam menggelengkan kepala. “Nggak bisa. Fi. Gue harus dateng. Sekar temen baik gue. Masa gue ga dateng ke kawinan dia?” kata Sam sambil menghapus air matanya.
“Kalau begitu kamu harus siap ketemu Denis. Nggak bisa nggak,” kata Fifi lagi.
Sam mengangguk. “Gue tahu. Tapi gue nggak mungkin dateng begini. Cewek tiang listrik jelek yang nggak feminin sama sekali. Bisa-bisa jadi bahan ketawaan Denis,” kata Sam berusaha menahan tangis.
“Kata siapa lo jelek? Lo lumayan cantik, kalo lebih rapi dikit,” kilah Adi.
“Boong, lo. Jangan coba-coba nyenengin gue deh,” kata Sam sinis.
“Yah, nggak percaya,” keluh Adi pasrah.
“Adi nggak bohong, kok. Dandan sedikit feminin, yuk. Fifi temenin ke salon. Rambut kamu ditata, terus wajah kamu di make-up, lalu dengan gaun yang pas, pasti cantik,” kata Fifi.
“Tapi gue nggak punya gaun. Lagian gue nggak pernah ke salon selain potong rambut. Itu juga udah lama banget,” jawab Sam.
“Fifi temenin. Hari sabtu pagi kita beli gaun. Siangnya kita langsung dandan di salon. Malamnya pergi ke pesta, oke?” tanya Fifi membesarkan hati.
“Oke,” jawab Sam.
“Mm, tunggu. Ada yang kurang. Kayaknya disitu tertulis Samantha and partner kan? Berarti kamu harus pergi berpasangan. Biar lebih meyakinkan. Dan itu berarti...” mata Fifi tertuju pada Adi.
Sam pun melirik ke arah Adi. “Kalau dipikir-pikir, lo lumayan juga kalo rapi. Lagian kan, elo nganggur. Bener juga...” kata Sam berpikir.
“Eh, mau ngapain, lo? Gue nggak bilang mau nemenin elo, lho,” kata Adi curiga.
“Di, elo tentunya suka menolong teman kan? Apalagi yang lagi kesulitan...” kata Fifi dengan nada manis dibuat-buat.
“Nggak bisa. Gue mau kelarin n****+. Tinggal sedikit lagi,” kata Adi tanpa basa basi.
“Tentunya elo nggak keberatan kan bantuin gue? Setelah gue memungut elo di hujan deras... kalo dipikir-pikir... sebenernya elo masih utang budi sekali sama gue...” kata Sam nyengir lebar.
“Tapi... gue mau kelarin n****+ mumpung moodnya lagi bagus...” keluh Adi.
“Dan... tentunya elo nggak mau kehilangan tempat tinggal kan, Di?” kata Sam perlahan dan setengah mengancam.
“Sam... plis...” pinta Adi memelas.
“Ayolah, Di. Masa tega sih nggak bantuin temen sendiri? Lagian apa susahnya sih nemenin orang kawinan? Kamu kan bisa makan gratis di sana?” desak Fifi.
“Oke... oke... sekali ini aja...” kata Adi menyerah.
“Thanks, Di. Elo emang baik bener. Oh, ya. Dandan yang rapi. Cowok gue harus keren,” kata Sam menepuk-nepuk bahu Adi dengan puas.
“Cowok lo?” seru Adi terkejut.
“Iya, lah. Cowok gue. Pura-puranya. Awas, jangan sampe ketahuan kalo kita pacaran boongan ya, Di,” acam Sam nyengir lebar.
Oh, tidak. Lagi-lagi Adi terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan. Ya, sudah. Apa boleh buat. Daripada ditendang keluar dari kos-kosan...