“Permisi, kakak. Kamarnya masih kosong?” tanya seorang anak kecil imut-imut yang ada di hadapan Sam penuh harap.
Kalau boleh menebak, anak ini paling masih SMU kelas satu. Mungkin anak perantauan. Masih muda sekali. Hari ini hari Minggu siang. Sam hanya mengenakan kaus belel dan celana pendek. Tangannya penuh busa sabun, karena ia sedang mencuci motornya, juga mobil kijang tua peninggalan orang tuanya yang jarang sekali ia pakai karena malas terjebak macet. Adi sedang pergi belanja.
“Masih. Masih ada. Kamu mau ngekos?” tanya Sam.
“He-eh. Harganya berapa ya, Kak?” tanyanya lagi sopan.
“Lima ratus ribu. Kalau mau lihat boleh,” kata Sam mempersilakan masuk.
Anak itu dengan senang hati masuk dan melihat-lihat kamar.
“Wah, cukup luas juga. Saya boleh pasang wallpaper nggak, biar kedap suara?” tanyanya.
“Memangnya mau ngapain?” tanya Sam.
“Saya bawa piano. Kos-kosan saya yang sekarang nggak kedap suara, jadi kalau saya latihan suka kedengeran. Lagipula kamarnya sempit,” jelasnya.
“Ya, udah. Asal jangan terlalu berisik. Pasang aja wallpaper kalo kamu mau,” kata Sam.
“Wah, kalau begitu saya jadi pindah kemari. Nama saya Fifi,” jelasnya.
“Saya Samantha. Kamu boleh panggil Sam. Ngomong-ngomong kamu sekolah di mana?” tanya Sam.
“Saya? Saya nggak sekolah. Saya sudah lulus kuliah. Sekarang saya jadi guru tk. Kalau sore, saya ngajar piano di kursus musik,” katanya tersenyum. Mimik wajahnya ditambah tinggi badannya, benar-benar membuatnya tampak imut-imut, seperti anak-anak.
“Ups, sori. Saya kira kamu anak SMU,” kata Sam meringis.
“Nggak apa-apa. Udah biasa. Umur saya 27 tahun,” lanjutnya.
“Hah? Yang bener. Lebih tua dari saya dong. Kalo begitu nggak usah panggil saya kakak segala donk. Panggil nama aja,” kata Sam salah tingkah.
“Oke, deh. Kamu juga panggil aku Fifi aja,” katanya.
Adi melangkah masuk. “Kok pintu nggak dikunci?” tanyanya.
“Ada tamu. Nih, kenalin. Dia bulan depan bakal pindah kemari. Namanya Fifi,” jelas Sam.
“Oh, kenalkan. Saya Adi, ngekos di sini. Ade masih kecil, ya? Kelas berapa?” tanya Adi tersenyum.
Tawa Sam hampir meledak.
“Umur saya 27 tahun. Saya guru piano, juga guru tk. Sudah lulus kuliah,” jawabnya tersenyum.
“Buahahahahaha... ketipu lo,” seru Sam ngakak.
“Diem lo. Kenapa nggak bilang dari tadi? Maaf ya,” kata Adi tersenyum kecut.
“Dia penulis n****+. Sekaligus guru kursus pelajaran,” jelas Sam masih terbatuk-batuk menahan tawa.
“Oh, n****+ apa? Saya suka baca buku,” kata Fifi.
Wajah Adi memerah. “Belum, belum terbit kok. Masih dibuat,” katanya.
Wah, nanti Fifi boleh baca, ya?” tanya Fifi antusias.
Wajah Adi semakin memerah. Ia mengangguk-angguk seperti burung pelatuk.
“Kalau... kalau butuh bantuan, pas pindahan nanti, bilang aja. Saya mau kok, bantuin,” kata Adi.
“Wah, terima kasih. Saya mungkin memang perlu bantuan,” kata Fifi senang.
“Ya, udah. Bilang kapan aja,” kata Adi.
Jadilah pindahan besar-besaran di awal bulan berikutnya. Ternyata perkataan Fifi benar. Ia membutuhkan kamar yang benar-benar luas, karena barang bawaaannya luar biasa banyak.
Adi setengah mati membantunya mengangkat barang. Mungkin sedikit banyak ia menyesal telah mengajukan diri. Syukurin! Sok jagoan sih!
Mana saat itu Sam pulang selalu hampir tengah malam, atau malah pagi-pagi buta. Kerjaannya mulai menumpuk seperti yang sudah dikatakannya. Jadi, kalau bertemu Sam, paling-paling dalam kondisi setengah ngelindur. Sedangkan pagi-pagi kalau tidak dibangunkan, cewek barbar yang satu ini bakal keterusan sampai siang.
“Sam, lo mau pergi kan? Nih, bawa bekal buat sarapan,” kata Adi suatu pagi.
“Apaan, nih?” tanya Sam mengernyit.
“Sandwich telor dadar,” sahut Adi.
“Thanks, ya,” sahut Sam tersenyum tipis, lalu segera berlalu dengan motornya.
Fifi sudah berangkat pagi-pagi sekali. Maklum, tk kan masuknya pagi sekali. Jam tujuh. Mana boleh telat seperti Sam?
Sekarang setelah semua orang pergi, Adi sibuk berbenah rumah. Di rumah kos ini, sedikit banyak ia yang menyapu dan mengepel rumah. Setelah semuanya bersih dan rapi, barulah ia membuka laptop kesayangannya dan mulai mengetik n****+. Di saat begini, tak ada yang mengganggunya. Hanya Adi dan dunianya. Ia bisa lupa akan sekelilingnya dan terus mengetik berjam-jam kemudian, sampai rasa lapar mengingatkannya untuk makan siang.
“Permisi, halo permisi!!” seru seseorang dari luar.
Adi keluar penasaran. “Ada apa, Pak?” tanya Adi.
“Ini rumahnya Non Samantha bukan, ya?” tanya cowok yang baru datang dengan mobil sedan bmw keluaran terbaru. Jelas-jelas ia seorang sopir suruhan.
“Iya, betul. Ada perlu apa, Pak?” tanya Adi.
“Anu, saya disuruh nganter undangan nikahnya Non Sekar Mustika buat Non Samantha,” kata sopir itu sopan. Ia mengulurkan sebuah undangan putih gading.
Adi mengambil undangan itu dan melihat sekilas.
“Nanti saya sampein, Pak. Makasih,” kata Adi.
Sopir itu tersenyum. “Makasih, Mas,” balasnya, lalu berlalu dengan mobil sedan bmw yang dibawanya.