Dan Dirimu

1511 Kata
09 "Daddy!" seru Mackynzie sambil jalan dari ruang tengah menuju pintu. "Hello, My boy," sahut Russel sembari menghampiri bocah berkaus merah dan berjongkok. Dia merentangkan kedua tangan. "Aku sangat merindukanmu," ungkapnya sembari mendekap Mackynzie yang balas memeluknya erat. "Me too," terang Mackynzie. "Daddy pergi beberapa hari, tapi kosakatamu sudah bertambah banyak. Anak pintar." Russel mengurai dekapan dan mengusap rambut lelaki kecil kesayangannya. "Lihat, Daddy bawa sesuatu buatmu." Dia meraih tas hitam yang tadi diletakkannya di lantai. "Apa yang harus dikatakan bila mendapatkan hadiah, Mack?" tanya Vlorin. "Terima kasih, Daddy," ucap Mackynzie. "Kembali kasih, Sayang," jawab Russel. Pria bercambang memandangi anak baptisnya yang sibuk membuka kotak mainan. Sepasang mata besar beriris cokelat milik Mackynzie terlihat berbinar-binar melihat helikopter bawaan sang Daddy. Akan tetapi, ketika Mackynzie hendak memainkannya, Alicia mengajaknya keluar untuk berbelanja. Perempuan berambut sebahu meraih tas kecilnya dari sofa, lalu menyambangi Mackynzie yang tetap memegangi mainan barunya di tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dipegangi Alicia. Russel mengamati hingga keduanya menghilang di balik pintu. Kemudian dia memutar badan untuk menyambangi Vlorin yang sedang memasak. "Kamu buat apa?" tanya Russel. "Daging bumbu," jelas Vlorin. Dia menjengit ketika satu kecupan lembut mendarat di pipi kanannya. "Harum." "Hu um." "Lebih enak dari wangi parfummu." Vlorin melirik laki-laki bercambang yang balas menatapnya seraya tersenyum. "Parfumku itu hadiah dari Nic." "Jangan sebut namanya di depanku. Dia musuh abadi!" "Kenapa kalian tidak bisa akur?" "Dia selalu menatapku tajam. Bagaimana mungkin aku bisa bersikap ramah padanya?" "Caranya memandang orang memang begitu. Dia tidak bermaksud apa-apa." "Kenapa kamu terus membelanya?" "Karena aslinya dia baik. Bahkan pada Mack pun dia sangat ramah." "Jauhkan anakku darinya!" "Kamu benar-benar over protektif!" "Itu karena aku menyayangi Mack." "Hmm." "Dan dirimu." Vlorin berdecih. "Stop merayuku. Sampai kapan pun aku tidak akan mau menikahimu." "Aku ini tampan dan sangat berkarisma. Kamu akan menyesal menolakku." "Oh, yeah! Katakan itu pada perempuan-perempuan yang selalu menemanimu tidur." "Mereka hanya selingan." "Hmm?" "Kalau kamu bersedia menikahiku, maka aku akan menghentikan kegilaan dan stop berkencan random." Vlorin memutar bola mata. "Itu salah satu alasanku menolak lamaranmu." "Si rambut aneh juga tidak sepenuhnya baik. Ingat, dia pernah mengkhianatimu hingga depresi. Dan itu yang membuatku membencinya!" Vlorin tertegun. Dia berpura-pura sibuk mengaduk makanan di wajan. Padahal sebenarnya Vlorin hanya tidak mau melanjutkan perdebatan dengan pria berkemeja hitam yang sedang bersungut-sungut sembari beranjak ke sofa. Vlorin memahami alasan Russel dan teman-temannya tidak menyukai Nicholas. Sebab mantannya itu pernah membuatnya patah hati berbulan-bulan dan mengalami depresi ringan. Selain Alicia dan Maxim, Russel, Bethany dan teman-teman di kantor, turut membantu Vlorin melewati masa-masa pemulihan hati. Mereka kembali bekerjasama menolong Vlorin saat dia tengah hamil, melahirkan, hingga Mackynzie kian membesar. Sementara itu di dalam taksi, Alicia terus mengamati mobil sedan hitam yang sejak tadi mengikutinya. Perempuan berkulit kecokelatan khawatir jika orang dalam mobil itu adalah pengintai, yang belakangan hari berkeliaran di sekitar kantor Vlorin dan kediaman Nora. Alicia bingung, bagaimana caranya penguntit bisa menemukan alamat apartemen sepupunya. Perempuan bermata besar mengingat-ingat, lalu menepuk dahi saat menemukan jawabannya. Alicia mengambil ponsel dari tas dan menelepon Russel. Dia menanyai pria bermata biru yang menjelaskan jika Russel langsung ke unit Vlorin menggunakan taksi dari bandara. "Kupikir, si pengintai membuntutimu," tukas Alicia. "Bagaimana mungkin begitu?" tanya Russel. "Kamu tadi bilang, naik taksi dari bandara. Mungkin dia mengikutimu dari sana." "Tapi, yang tahu kapan aku pulang hanya orang rumah." "Ya, bisa saja dia berhasil mendapatkan informasi dari sana. Pegawai rumah orang tuamu, banyak, bukan? Dan tidak semuanya pegawai tetap." "Sepertinya kamu cocok jadi detektif. Karena aku tidak berpikiran ke sana." "Jangan memujiku. Sekarang, bantu aku agar terhindar dari penguntitan." "Tunggu. Aku telepon Daniel dulu. Biar dia menjemputku ke sini." "Oh, Tuhan! Russel, itu akan sangat lama!" "Hmm. Kalau begitu, ubah arahnya ke rumahmu, atau rumah Nora. Aku dan Vlorin akan menyusul ke sana." *** Satu pesan dengan kalimat panjang masuk ke ponsel Jourell sore itu. Sang pemilik ponsel tidak menyadarinya dan meneruskan berlatih otot menggunakan alat khusus. Seorang instruktur kebugaran membantu Jourell dan Dedi agar dapat menggunakan berbagai alat sesuai kebutuhan. Dia juga terus menyemangati keduanya yang kelelahan seusai berlatih mengangkat beban berat. Puluhan menit terlewati, Jourell dan Dedi telah selesai berolahraga. Mereka duduk menyandar ke dinding kaca dan kaki diselonjorkan ke depan. Keringat yang masih mengucur menjadikan keduanya menunda keinginan untuk mandi. Mereka menghabiskan minuman dari botol masing-masing, kemudian meletakkan benda itu ke lantai. Jourell mengusap sisa keringat di wajah dan lehernya dengan handuk biru kecil. Dia memperhatikan orang-orang yang masih berlatih, kemudian mengalihkan pandangan pada tasnya di mana terdengar dering ponsel. Pria berkaus biru meraih telepon genggam dari tas. Jourell meringis saat membaca nama pemanggil. Kemudian dia memutuskan untuk mengangkat panggilan meskipun dengan separuh hati. "Malam, Pa," sapa Jourell. "Ya. Jo, kata Cornelia, kamu memintanya memundurkan acara tunangan, betul?" tanya Desmond tanpa mengucapkan kalimat basa-basi. "Ehm, ya." "Kenapa?" "Pekerjaanku di sini belum tuntas. Jadi aku nggak bisa pulang dalam waktu dekat." "Harusnya kamu bicarakan dulu dengan Papa dan Mama!" Jourell kembali meringis mendengar suara papanya yang meninggi. "Maaf, Pa. Aku memang salah, karena keputusan itu juga mendadak." Desmond mendengkus kuat hingga bisa didengar anaknya yang spontan menggaruk-garuk kepalanya. "Lalu, kapan kamu akan pulang?" tanyanya. "Paling cepat bulan depan." "Lama sekali?" "Ada tambahan proyek dari Om Timothy untuk persatuan pengusaha sukses Indonesia. Aku tidak mau kehilangan kesempatan itu." "Apa semua anggota PG ikut?" "Enggak. Hanya yang berbisnis di sini, kayak Mas Bas, Mas Tio, Mas Linggha, Levin dan Koko Dante. Plus beberapa PC binaan kami." Desmond kembali mendengkus. Dia gusar karena lagi-lagi rencana pertunangan Jourell dan Cornelia harus ditunda. Bila rencana serupa dibatalkan enam bulan lalu, karena Kakek Cornelia wafat, kali itu berbeda. Desmond memahami keinginan putra bungsunya untuk fokus mengembangkan perusahaan keluarga. Namun, dia juga menginginkan agar Jourell bisa segera menikah. Terutama karena usianya yang sudah sangat dewasa. "Papa akan bicarakan dengan orang tua Cornelia, tapi kamu nanti harus menjelaskan semuanya pada mereka, Jo," tutur Desmond setelah bisa mengendalikan diri. "Ya, Pa. Rencanaku juga begitu. Pulang dari sini, aku akan mendatangi mereka dan meminta maaf secara pribadi," terang Jourell. "Hmm, kamu sekarang di mana?" "Gym. Lagi istirahat, habis itu mau mandi dan cari makan sama Dedi." "Jangan keluyuran tidak jelas, Jo. Apalagi sampai mabuk-mabukan." "Ya, Pa. Aku bisa jaga diri." Langit sore kian menggelap. Hingga matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat. Rembulan perlahan merangkak naik untuk bertugas menerangi dunia, walaupun hanya sanggup mengeluarkan separuh bentuknya. Jourell dan Dedi keluar dari gym. Mereka melenggang menuju tempat parkir gedung apartemen yang disewa khusus untuk tim Indonesia, bila akan berdinas lama di Sydney. Jika hanya berkunjung selama beberapa hari, Jourell dan teman-temannya lebih senang menetap di hotel. Sebetulnya Fairel sudah menawarkan agar rumahnya diisi teman-teman PG dan PC. Namun, karena letaknya di pinggir kota, akan membutuhkan waktu lebih lama untuk berkendara ke pusat bisnis. Fairel dan Arman beserta keluarga telah kembali ke Indonesia semenjak setahun silam. Tugas mereka sebagai perwakilan PG cabang Australia dan New Zealand telah usai. Namun, sekali-sekali keduanya akan berkunjung, bergantian dengan Jourell, Alvaro, Tio, Linggha, Baskara dan Dante, serta Samudra. Sementara dari PC, Farzan Bramanty, Harry Abhimana, Olavius Aristide, Mark Dhananjaya dan tentu saja tim BPAGK dan SHEHHBY serta HWZ yang akan bergantian berdinas di dua negara tersebut. "Yes!" pekik Jourell sambil mengacungkan kepalan tangan kanan ke atas. "Ada apa, Mas?" tanya Dedi sembari terus mengemudi. "Clay sudah mendapatkan alamat Vlorin," terang Jourell. "Alhamdulillah." "Tapi, kita nggak bisa langsung berangkat. Senin ada dua meeting." "Minta tolong sama Pak Keven aja." "Mas Keven lagi di Melbourne, kan." "Ehh, ya, lupa aku." "Mas Bryan lagi ke Canberra. Mas Hansel sudah pulang ke New Zealand. Mau nggak mau, aku yang mesti menghadiri rapat." "Lalu, kita kapan berangkatnya?" "Aku telepon Wirya dulu. Dia sempat bilang mau ke sini bareng teman-teman PC. Nanti aku minta temenin Wirya ke Brisbane. Bahaya kalau cuma kita berdua aja yang berangkat " "Hu um. Bisa-bisa kita dikeroyok kayak Pak Clay tempo hari." Jourell menghubungi Wirya yang berjanji akan segera berangkat. Selanjutnya dia menelepon Alvaro untuk mengabarkan informasi terbaru. Jourell manggut-manggut ketika sahabatnya tersebut memberikan wejangan agar dirinya bersikap sopan, ketika bertemu dengan Vlorin nanti. Terutama karena Mackynzie pasti akan berada di sekitar ibunya. Setelah Jourell menutup sambungan telepon, Alvaro termangu menatap langit siang menjelang sore. Dia teringat kasus yang hampir sama beberapa tahun silam, dan menyebabkan dirinya melanggar janji pada diri, untuk membantu Trevor yang terlibat masalah kriminal. Kendatipun kasus Jourell sedikit berbeda, karena dia dan Vlorin melakukannya atas dasar suka sama suka, tetap saja Alvaro menggerutu karena tingkah sahabatnya tersebut sudah melampaui batas. Alvaro tidak bisa membayangkan reaksi keluarga Cyrus bila mengetahui kebenarannya. Alvaro juga memikirkan Cornelia dan dia prihatin dengan nasib gadis tersebut. Kendatipun tidak akrab dengan kekasih Jourell, tetapi Alvaro berteman cukup dekat dengan Kakak tertua Cornelia, yakni Rylee Maglorius Ghawani, yang juga merupakan anggota PC di bawah bimbingan Theo. Alvaro menduga jika Rylee pasti akan marah, jika Jourell membatalkan rencana pertunangan dengan Cornelia, demi bisa menikahi Vlorin dan mendapatkan Mackynzie. Pria berkulit putih menimbang-nimbang sesaat, sebelum berdiri dan jalan ke depan menuju kediaman mertuanya di seberang. Alvaro memberi kode pada Yanuar yang tengah mengasuh para bocah di ruang tengah. Keduanya meneruskan langkah menuju kediaman Yanuar dan Malanaya yang berada di belakang rumah Sultan Pramudya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN